Perusahaan Jepang, Korea Selatan, dan Singapura diklaim menanamkan 1 miliar dollar AS selepas kudeta di Myanmar. Padahal, ada desakan internasional agar pebisnis meninggalkan Myanmar
Oleh
KRIS MADA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS -Komunitas internasional diajak untuk semakin memokuskan dan mengetatkan sanksi terhadap junta Myanmar. Tekanan internasional diharapkan bisa membantu warga Myanmar menggulingkan junta yang disebut semakin brutal.
Utusan Khusus Pemerintah Persatuan Nasional (NUG) Myanmar untuk ASEAN, Bo Hla Tint, mengatakan bahwa warga Myanmar tidak menerima kudeta pada 1 Februari 2021. “Perlawanan meluas di mana-mana. Militer tidak bisa lagi menggunakan transportasi darat karena khawatir diserbu dan dicegat. Mereka memakai pesawat dan helikopter untuk transportasi atau penyerbuan,” kata dia dalam diskusi daring “The Role of ASEAN in Dealing with Myanmar Crisis: Are We Putting the Wrong Hope?” yang digelar CSIS, Kamis (27/1/2022).
NUG mengklaim sebagai wakil sah warga Myanmar. Klaim serupa dilayangkan Dewan Pemerintahan Negara (SAC) yang dibentuk militer Myanmar, Tatmadaw, selepas kudeta 1 Februari 2021.
Bo mengatakan, NUG dan berbagai elemen di dalam dan luar negeri Myanmar terus berkomunikasi dengan komunitas internasional. Salah satu tujuannya adalah mendorong sanksi terarah kepada pejabat Tatmadaw dan pihak-pihak yang terkait atau bertanggung jawab terhadap kudeta dan rangkaian kekerasan terhadap warga.
NUG juga mengajak komunitas internasional menerapkan embargo senjata untuk Myanmar. Sebab, pasokan senjata internasional menjadi salah satu perangkat Tatmadaw untuk terus melakukan kekerasan dan memburu warga. “Sampai sekarang, 1.490 orang, termasuk anak-anak, orang tua, dan perempuan dibunuh secara kejam oleh junta. Ada 11.711 orang ditahan tanpa dasar, dan 1.966 orang diburu. Ada ratusan ribu orang terusir dari tempat tinggalnya,” kata dia.
Bo menyebut, harapan warga tumbuh kala ASEAN memutuskan tidak mengundang wakil Myanmar dalam pertemuan-pertemuan ASEAN. Sayangnya, harapan itu sulit dipertahankan. Ia tidak menampik, warga Myanmar bolak-balik kecewa pada ASEAN. Warga amat kecewa kala Jenderal Senior Min Aung Hlaing diundang dalam pertemuan ASEAN di Jakarta pada April 2021. Warga juga kecewa karena ASEAN dinilai tidak cukup sigap berupaya membantu memulihkan demokrasi di Myanmar. “Warga berharap ASEAN mematuhi prinsip-prinsip dalam Piagam ASEAN yakni demokrasi, penghormatan terhadap hukum, perlindungan HAM,” kata dia.
Upaya ASEAN
Wakil Indonesia Pada Komisi Antarpemerintah ASEAN untuk HAM (AICHR) Yuyun Wahyuningrum mengatakan, ASEAN sebenarnya telah melangkah jauh soal Myanmar. ASEAN melakukan hal yang belum pernah terjadi sepanjang sejarahnya. Bentuk tindakan ASEAN adalah mengeluarkan lima butir kesepakatan dan menunda keikutsertaan pejabat Myanmar di level politik dalam pertemuan ASEAN. “Saya rasa, banyak anggota ASEAN mau melangkah lebih jauh untuk memastikan Myanmar kembali normal,” kata dia.
Sementara Menteri Luar Negeri Kamboja Kao Kim Hourn mengatakan, Perdana Menteri Kamboja Hun Sen terus berkomunikasi dengan pihak-pihak di Myanmar. Dalam telekonferensi dengan Min Aung Hlaing, Hun Sen meminta SAC memfasilitasi lawatan Utusan Khusus ASEAN untuk Myanmar. Hun Sen juga mengajak Min Aung Hlaing membuka pintu bagi penyaluran bantuan untuk warga Myanmar. “Beliau juga meminta semua pihak, termasuk pemerintah Myanmar, menghentikan kekerasan dan menyepakati gencatan senjata,” kata dia.
Kao tidak menjelaskan tanggapan Min atas permintaan Hun Sen itu. Tidak dijelaskan juga tanggapan junta atas keprihatinan Hun Sen terhadap kekerasan yang terus meningkat.
Dalam kapasitas sebagai Ketua ASEAN 2022, Hun Sen didesak untuk lebih tegas kepada junta dan Tatmadaw. Desakan terutama terkait pemenuhan lima butir kesepakatan yang disetujui para pemimpin ASEAN di Jakarta pada April 2021.
Sanksi
Sanksi dari komunitas internasional sebenarnya sudah bolak-balik dijatuhkan. Amerika Serikat termasuk paling rajin melakukannya. Terbaru, sejumlah lembaga AS secara terbuka mendorong badan usaha menghindari berhubungan dengan Tatmadaw atau berbisnis di Myanmar. Jika tidak, mereka akan jadi sasaran sanksi AS.
Dalam pernyataan pada 26 Januari 2022, Departemen Keuangan AS mendorong pelaku usaha dan lembaga keuangan untuk menimbang ulang risiko berbisnis dengan Tatmadaw. “Kembalinya kekuasaan militer di Myanmar menghadirkan risiko tinggi korupsi dan pemerintahan yang terlibat pencucian uang. Komunitas bisnis internasional bertanggung jawab memastikan tidak terlibat dalam korupsi, kegiatan keuangan tidak sah, atau pelanggaran HAM, hal yang meningkat sejak kudeta,” kata Direktur Intelijen Finansial dan Terorisme Depkeu AS Brian Nelson.
Pernyataan itu dikeluarkan setelah sejumlah perusahaan energi memutuskan keluar dari Myanmar. Perusahaan Australia, Woodside, akan melepaskan saham di sejumlah lapangan pengeboran minyak dan gas bumi Myanmar. Pengumuman itu menindaklanjuti pernyataan pada 2021. Kala itu, Woodside menyatakan tengah mempertimbangkan ulang usaha di Myanmar selepas kudeta.
Pemimpin Woodside, Meg O’Neill, mengatakan bahwa sudah tidak mungkin bagi Woodsite terus berbisnis di Myanmar dalam kondisi sekarang. Sebab, perusahaan menilai tidak bisa menerapkan prinsip penghormatan pada HAM dan berbagai prinsip terkait yang diacu selama beberapa tahun terakhir. “Mempertimbangkan situasi di Myanmar, kami tidak bisa lagi meneruskan partisipasi Woodside di Myanmar,” kata dia.
Perusahaan Inggris-Belanda, Royal Dutch Shell, juga mengumumkan seluruh kegiatannya berhenti sejak akhir 2021. Ada pun perusahaan Perancis, TotalEnergies, dan perusahaan AS, Chevron, mengumumkan persiapan keluar dari Myanmar. TotalEnergies dan Chevron berkongsi menggarap lapangan migas Yadana.
Berbagai tekanan dan protes telah dilayangkan kepada perusahaan-perusahaan yang masih berbisnis di Myanmar atau terkait dengan Tatmadaw. Mereka dituding serakah karena mau berbisnis dengan pihak yang dituding tega secara terang-terangan melakukan kekerasan kepada warga.Dalam pernyataan resminya, TotalEnergies menyangkal memikirkan aspek keuangan terkait operasi di Myanmar. Pada 2021, proyek Myanmar hanya menyumbangkan 105 juta dollar AS pada kas TotalEnergies. Nilai itu tidak sampai 1 persen dari keseluruhan pendapatan perusahaan asal Perancis tersebut.
TotalEnergies menyatakan, perusahaan mempertimbangkan aspek lain, termasuk keselamatan para pekerjanya, dalam proyek di Myanmar. Sayangnya, faktor-faktor yang dipertimbangkan perusahaan dinilai semakin tidak bisa didapatkan dari Myanmar. Karena itu, perusahaan telah memberitahu mitranya soal rencana keluar dari proyek di Myanmar.Perusahaan Perancis itu juga menyangkal tidak memenuhi tuntutan soal penghentian pasokan dana ke junta. PTT Thailand, pembeli gas dari Yadana, disebut membayar langsung ke junta. Selain tambang giok dan hasil hutan, hasil penjualan migas menjadi andalan utama pendapatan junta.
Dalam pernyataan pada Kamis (27/1/2022), junta mengaku investasi asing tetap masuk ke Myanmar. Perusahaan Jepang dilaporkan menanamkan 516 juta dollar AS. Sementara sejumlah perusahaan Singapura menanamkan 442 juta dollar AS dan 66 juta dollar AS dari Korea Utara. Perusahaan dari negara lain juga menanamkan uang di Myanmar. Sepanjang 2021, junta mengklaim ada investasi asing senilai 3,8 miliar dollar AS. (AFP/REUTERS)