Presiden AS Joe Biden mengumpulkan lebih dari 100 kepala negara atau perwakilannya pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) untuk Demokrasi. Namun, tidak jelas apa tujuan yang ingin dicapai Biden melalui KTT itu.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
WASHINGTON, JUMAT — Presiden Amerika Serikat Joe Biden membuka Konferensi Tingkat Tinggi untuk Demokrasi atau Summit for Democracy pada hari Kamis (9/12/2021) waktu setempat. Acara yang berlangsung hingga Jumat (10/12/2021) ini mengumpulkan 111 kepala negara untuk membicarakan situasi demokrasi dunia. Akan tetapi, para pakar demokrasi di dalam dan luar negeri bingung pada tujuan yang ingin dicapai oleh Biden melalui SfD.
Ajang ini berlangsung secara daring. Mayoritas kepala negara menyampaikan pidato sambutan yang telah direkam sebelumnya. Biden sendiri menyampaikan sambutan secara langsung. ”Demokrasi di tataran global terancam tergerus dan kita semua harus bertindak. Demokrasi bukanlah teori ataupun keadaan, melainkan aksi nyata,” katanya.
Biden mengungkapkan bahwa AS akan menyumbang dana 424,4 juta dollar kepada negara-negara maupun lembaga di dunia. Uang ini akan dipakai, antara lain, untuk memperkuat media independen, menggencarkan gerakan antikorupsi, dan investasi di sektor teknologi yang bisa mendukung perkembangan serta akses demokrasi global.
Ia mengakui bahwa di AS sendiri keadaan demokrasi tidak ideal. Terutama di masa pemerintahan Presiden Donald Trump (2017-2021) dan pemilihan presiden tahun 2020. Masyarakat AS terbelah dan terjadi kecurigaan serta berbagai kekerasan berbasis perbedaan pandangan politik serta kelompok etnis. Oleh sebab itu, Biden mengatakan akan menggelontorkan dana 3 triliun dollar AS untuk membangun kembali persatuan rakyat AS.
Dikritik tidak jelas
SfD sejak diumumkan akan digelar telah memancing berbagai kritik, baik di dalam maupun di luar AS. Pasalnya, kriteria negara yang diundang mengikuti KTT ini tidak jelas. Misalnya, dari seluruh anggota Uni Eropa, Hongaria tidak diundang dengan alasan pemerintahannya tidak mempraktikkan demokrasi murni. Sementara Polandia, yang memiliki sistem pemerintahan mirip Hongaria, diajak mengikuti SfD. Dugannya karena Polandia saat ini bersitegang dengan Rusia.
Turki yang sama-sama anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) tidak diundang karena dinilai AS menjalankan pola pemerintahan yang represif. Sebaliknya, India yang anggota Pakta Pertahanan Quadrilateral dan memiliki 70 persen persenjataan militer dari Rusia diundang. Adapun China dan Rusia tidak diundang.
Lebih membingungkan, AS mengundang Taiwan, meskipun tidak memiliki hubungan diplomatik. Hal ini membuat China berang. Kedutaan Besar China dan Kedutaan Besar Rusia di Washington mengeluarkan pernyataan bersama. ”Kami tidak setuju diperlakukan dengan cara dan mental sama seperti masa Perang Dingin,” demikian bunyinya.
Indonesia termasuk negara yang diundang. Dari kawasan ASEAN, menurut Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi, selain Indonesia, Malaysia dan Filipina juga diundang dalam KTT tersebut. KTT berlangsung dalam dua sesi. Sesi pertama pada Kamis malam, berupa dialog interaktif, sedangkan sesi kedua berupa pernyataan nasional yang sudah direkam.
Negara-negara dari berbagai kawasan itu diundang untuk menyampaikan pandangan melalui pernyataan yang sudah direkam sebelumnya. Dalam kesempatan tersebut, Presiden RI Joko Widodo menyampaikan komitmen Indonesia untuk terus memajukan demokrasi dan hak asasi manusia (HAM), baik pada level kawasan maupun global.
Untuk memajukan demokrasi, HAM, dan tata kelola pemerintahan yang baik, menurut Presiden Jokowi, kerja sama dan dukungan semua pemangku kepentingan sangat penting. ”Indonesia meyakini, pemajuan demokrasi, HAM, dan good governance bisa tumbuh dan berkembang jika kerja sama dikedepankan. Dukungan semua pihak dibutuhkan. Aspirasi seluruh elemen perlu didengar. Tidak boleh ada yang ditinggalkan,” tutur Presiden Jokowi.
Pakar politik dari Harvard Kennedy School, Fakultas Ilmu Kebijakan Publik Universitas Harvard, Stephen Walt, di majalah Foreign Policy mengkritisi SfD. Menurut dia, tujuan diadakannya KTT ini tidak jelas. Sejauh ini, pandangan global terhadap SfD ialah berisiko memecah belah dunia karena dikhawatirkan ada kubu-kubu yang muncul dari KTT ini.
”Apakah Biden menginginkan hasil berupa perjanjian atau pakta yang nanti diturunkan menjadi program atau ini hanya ajang bicara? Satu-satunya cara untuk menjual demokrasi ialah menunjukkan fakta bahwa negara demokratis memang lebih baik di segala bidang dari negara otokratis,” papar Walt.
Ironisnya, masyarakat global tidak melihat AS sebagai teladan demokrasi. Hal ini tecermin dari survei daring yang diadakan oleh lembaga penelitian Pew Research. Mereka melakukan survei daring pada periode 12 Maret hingga 26 Mei 2021 terhadap 16.254 penduduk berusia 18 tahun ke atas di 16 negara maju. Responden berasal dari Uni Eropa, Korea Selatan, Jepang, Selandia Baru, dan Taiwan. Selain itu, juga disurvei 2.596 orang dewasa dari AS sehingga total responden berasal dari 17 negara.
Hasilnya, secara keseluruhan, 53 persen responden menganggap AS tidak memiliki sistem demokrasi yang baik. Contohnya ialah sistem pemilu yang membingungkan karena suara terbanyak dari rakyat tetap bisa dikalahkan oleh hasil suara dari Dewan Elektoral (Electoral College). Demikian pula dengan sistem pemilihan anggota Mahkamah Agung yang didominasi oleh kepentingan politik, bukan rekam jejak hakim.
Segregasi masyarakat dan rasialisme sistematis juga aspek yang disorot oleh responden. Mereka berpendapat, baik Partai Demokrat maupun Partai Republik sama-sama gagal mengembangkan narasi persatuan dan kemajemukan di masyarakat. Justru, kedua partai mengeksploitasi berbagai prasangka publik sehingga memunculkan kubu-kubu politik.
Sementara itu, pegiat demokrasi Rusia, Lilian Shevtsova mengatakan kepada Politico bahwa Biden harus mempraktikkan omongannya. ”Benahi dan pulihkan demokrasi di dalam negeri sendiri. Jangan kuliahi negara lain tentang demokrasi karena adaptasi demokrasi di setiap negara berbeda, tetapi takarannya tetap pada kebebasan berpendapat dan kerukunan masyarakat,” tuturnya. (AFP/INA)