Pilih Kasih, Hajatan Demokrasi AS Berisiko Membelah Dunia
Konferensi Tingkat Tinggi untuk Demokrasi, 9-10 Desember 2021, yang diinisiasi Amerika Serikat menuai kritik dari berbagai pihak. Forum diskriminatif itu berisiko menimbulkan perpecahan dan memprovokasi negara-negara.
Oleh
kris mada
·4 menit baca
Pemerintahan Amerika Serikat di bawah Joe Biden akan memenuhi salah satu janji kampanye, menyelenggarakan forum demokrasi internasional. Sejumlah pihak menyebut acara bernama Summit for Democracy pada 9-10 Desember 2021 itu berpeluang melenceng dari tujuan promosi demokrasi.
Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat (AS) telah mengumumkan daftar negara undangan pada Summit for Democracy (SfD). Jumlahnya 110 negara. Kemenlu AS menyebut daftar itu memastikan bahwa SfD mencerminkan keragaman sosial dan ekonomi kawasan serta negara berdemokrasi berkembang dan stabil.
”Tujuan kami seinklusif mungkin di tengah keterbatasan logistik. Kami berusaha memastikan semua suara dan sudut pandang relevan dikemukakan di pertemuan. Dalam jangka panjang, kami akan mencoba berhubungan dengan semua negara yang benar-benar berkomitmen pada tujuan pertemuan.” Demikian pernyataan Kemenlu AS.
Pendiri lembaga konsultan Dezan Shira and Associates, Chris Devonshire-Ellis, menyebut bahwa daftar undangan SfD menimbulkan pertanyaan serius. Konsultan senior dengan pengalaman puluhan tahun di Asia itu mengaku bingung dengan kriteria undangan.
Jika dasarnya adalah negara berdaulat yang diakui AS, Taiwan tidak memenuhi kriteria itu. Meski demikian, Washington mengundang Taiwan. China marah besar dengan fakta itu dan menyebut AS berusaha memprovokasi ketegangan di Selat Taiwan.
Kebingungan berlanjut dengan fakta sebagian kerajaan diundang dan sebagian lagi tidak. Bahrain dan Uni Emirat Arab tidak diundang. Sementara Inggris, Belgia, Belanda, hingga Malaysia diundang.
Dari 10 anggota ASEAN, hanya Indonesia, Malaysia, dan Filipina diundang. Singapura dan Vietnam, yang bolak-balik disambangi pejabat tinggi AS, malah tidak masuk daftar undangan. Di kawasan lain, daftar undangan juga memicu pertanyaan. Di antara Armenia dan Azerbaijan yang tengah berkonflik, AS memilih Armenia.
Sementara di antara Bosnia dan Kosovo yang sama-sama mencari pengakuan internasional, AS mengundang Kosovo ke SfD. Kosovo diketahui mengikuti AS dengan menempatkan Kedutaan Besar untuk Israel di Jerusalem. Israel tentu saja diundang dan Palestina tidak.
”Daftar seperti ini membahayakan dan melemahkan lembaga global seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Bank Dunia. Daftar itu menciptakan kesan pihak sini dan pihak sana, hal yang bolak-balik diperingatkan China dan Rusia karena membangkitkan mental perang dingin yang melemahkan kerja sama dan lembaga global. Daftar undangan AS jelas mencoba membangkitkan mental itu,” tutur Devonshire-Ellis.
Ia juga memperingatkan bahaya lain. ”Jika bangsa terkaya dan terkuat secara militer mulai menyusun daftar mana yang di pihak mereka dan mana yang di pihak lain, ada pertanyaan besar harus segera diajukan,” katanya.
Salah satu yang paling mengkhawatirkan adalah demokrasi di AS sekalipun terbukti terancam. International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA), lembaga di Swedia, dalam laporan pada pertengahan November 2021 menyebut AS cenderung mendekat ke otoritarian.
Masyarakatnya sangat terbelah dan sampai sekarang banyak yang menolak hasil pemilu. Padahal, AS selalu meminta negara lain menghormati hasil pemilu.
Sementara peneliti senior Center for East Asia Policy Studies, Thomas Pepinsky, berharap SfD tidak membuat dikotomi antara negara demokrasi dan otoritarian. ”Summit for Democracy akan mangkus bila fokus memperkuat dan mempertahankan demokrasi,” tulisnya di laman Brookings Institute.
SfD juga salah jika melebar ke soal korupsi, ekonomi, dan kesejahteraan. Sebab, pemerintahan yang dicap otoriter ternyata bisa menawarkan kondisi yang lebih baik untuk tiga isu itu. China, Singapura, Brunei Darussalam, hingga Monaco yang tidak diundang di SfD jauh lebih sukses dibandingkan AS jika menyangkut tiga isu itu. Bahkan, di negara-negara demokrasi, ada kegetiran bahwa korupsi melonjak justru kala transisi demokrasi dilakukan.
”Rekam jejak pemerintahan otoriter pada peningkatan kesejahteraan menyulitkan pembela demokrasi bahwa demokrasi bisa membawa kesejahteraan lebih baik. Menjadikan demokrasi sebagai solusi pada ketimpangan, korupsi, dan tata kelola ekonomi buruk tidak akan menarik bagi banyak orang,” lanjut Pepinsky.
Pepinsky menyebut, memang SfD tidak semata soal demokrasi. Aspek geopolitik malah lebih kental dan hal itu lagi-lagi kesalahan. Sebab, SfD merefleksikan pendapat pemerintahan Biden bahwa China dan Rusia berusaha menyebarkan model sistem politiknya ke negara lain.
Tidak ditampik bahwa China memang tidak demokratis jika menurut standar AS dan banyak sekutunya. Namun, tujuan politik luar negeri Beijing sama-sama sekali tidak ideologis. China tidak berminat menyebarkan sistem politiknya ke negara lain.
Promosi demokrasi versi AS juga mendapat tantangan serius dari fakta di Afghanistan, Libya, hingga Irak. Negara-negara itu lebih makmur kala berbentuk kerajaan atau semasa dipimpin sosok yang menurut AS dan sekutunya sebagai tokoh otoriter. Kala AS masuk atas nama mempertahankan demokrasi, negara-negara itu malah dilanda konflik tanpa henti. (AFP/REUTERS/RAZ)