Mendayung di Antara Lebih Banyak Karang
Periode AS sebagai penguasa tunggal sudah berakhir. AS memang masih menjadi negara kuat dan penting. Walakin, negara lain juga sudah kuat dan penting pula.
Meski Perang Dingin berakhir 32 tahun lalu, persaingan kekuatan besar di masa kini justru semakin meningkat. Para pihak yang terlibat semakin banyak dan lokasinya semakin mendekat dengan Indonesia. Suka atau tidak, Indonesia bisa terdampak dan bahkan menjadi pelanduk yang terinjak di antara perkelahian para gajah.
Dalam berbagai kesempatan Presiden Joko Widodo dan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi tidak menutupi kecemasan atas persaingan kekuatan besar di Asia Tenggara. Menjadi korban perkelahian kekuatan besar memang bukan hal baru bagi Indonesia.
Baca juga : Perang Dingin di Halaman ASEAN
Seperti dicatat dalam dokumen-dokumen Badan Pusat Intelijen Amerika Serikat (CIA), Washington dan sekutunya melancarkan berbagai operasi untuk mencegah Jakarta mendekati lawan-lawan AS. Sokongan pada PRRI/Permesta hingga proganda yang dilancarkan Inggris dari Singapura menjelang September 1965 adalah sebagian dari operasi intelijen AS dan sekutunya untuk mencapai tujuan itu.
Penyokongan atau penggulingan pemerintah di negara lain memang bukan hal baru dalam politik antarbangsa. Dalam buku Regime Covert Change yang diterbitkan Cornell University, Lindsey O’Rourke mendata puluhan upaya penggulingan pemerintahan asing oleh AS selama perang dingin.
Rangkaian upaya ironis apabila mengingat Presiden ke-5 AS, James Monroe, pada 1823 pernah memperingatkan kerajaan-kerajaan Eropa agar tidak berusaha mengubah pemerintahan di negara lain.
Selain dalam buku O’Rourke, ada banyak data para penerus Monroe bolak-bolak menyetujui operasi penggulingan pemerintahan di negara asing. Bahkan, operasi itu berlanjut selepas perang dingin berakhir seiring keruntuhan Uni Soviet pada 1989. Bill Clinton hingga Barack Obama menyetujui operasi yang menyebabkan perubahan pemerintahan atau sistem politik di negara asing. Operasi-operasi itu atas nama mendorong demokrasi.
Tidak hanya militer, Washington juga mengucurkan miliaran dollar AS untuk mendorong perubahan sistem politik di negara lain. Dana itu, antara lain, dikucurkan lewat National Endowment for Democracy (NED). Di laman NED tercantum kucuran hampir 60 juta dollar AS untuk promosi demokrasi di China dan Rusia pada periode 2016-2019 saja.
Baca juga : AS-China Tidak Ingin Perang Dingin Baru
Lembaga yang mengandalkan pendanaan dari APBN AS juga mengucurkan ratusan juta dollar AS setiap tahun di negara-negara untuk mendorong demokrasi. Indonesia tentu saja mendapat kucuran jutaan dollar AS dari lembaga itu.
Pakar hubungan internasional Perancis, Bertrand Badie, pernah menyebut bahwa ada ironi dari promosi yang dilakukan negara yang mengaku pembela demokrasi. Intervensi negara lain dengan alasan mendorong demokrasi adalah tindakan yang tidak demokratis. Meski demikian, hal itu dilakukan oleh negara-negara yang mengaku sebagai pembela demokrasi dalam operasi yang diklaim mendorong demokrasi.
O’Rourke menyebut, motif utama Washington mengintervensi negara lain selama perang dingin adalah mencegah suatu negara mendekati Mokswa. Selepas perang dingin, motif utamanya adalah keamanan. Lebih spesifik lagi, AS mencegah negara lain menjadi sarang teroris atau mampu membuat dan memiliki bom nuklir. Motif itu konsisten ditunjukkan pada Iran, Suriah, Afghanistan, Libya, dan tentu saja Korea Utara.
Intervensi negara lain memang terus disokong di AS. Beberapa bulan selepas keruntuhan Uni Soviet, Charles Krauthammer, mengenalkan istilah Unipolar Moment. Komentator politik terkemuka AS itu menyebut, Washington harus kuat dan menjadi pemimpin dunia serta menetapkan dan menegakkan aturan. Sementara Penasihat Keamanan Nasional AS di masa Bill Clinton, Anthony Lake, malah secara terbuka menyebut AS harus mengubah pemerintahan dan sistem politik di negara lain yang bisa menjadi masalah.
Banyak Layar
Kondisi global kala Krauthammer mengeluarkan gagasan itu memang relatif tepat karena AS praktis menjadi satu-satunya kekuatan global. Pecahan Uni Soviet sedang sibuk menata diri selepas induknya runtuh. China masih dalam proses transformasi dan kepemimpinan beralih dari Deng Xiaoping ke Jiang Zemin. Ada pun Eropa Barat praktis selalu menyokong AS.
Baca juga : Meluaskan Aliansi Atlantik ke Pasifik
Dalam tiga dekade, upaya konsolidasi di sejumlah negara membuat AS tidak lagi menjadi satu-satunya kekuatan besar. Meski tetap menjadi negara dengan perekonomian dan persenjataan terkuat, bukan berarti AS tidak punya tandingan. China dan Rusia kini menjadi penantang serius AS. Sementara Uni Eropa semakin kerap menggaungkan otonomi dari AS. Selain itu, ada negara-negara kekuatan menengah, seperti Turki dan Jepang, yang juga mencoba membangun jalur sendiri di kancah internasional.
Presiden dan berbagai pejabat AS tidak menutupi bahwa China-Rusia adalah penantang utama negaranya. Bahkan, Presiden AS Joe Biden menyebut kelangsungan hidup AS di abad 21 akan ditentukan dari persaingan dengan China.
Persaingan itu terjadi di berbagai tempat, termasuk Asia Tenggara. Menlu Retno menyebut tantangan paling serius dalam upaya Indonesia menjaga keamanan dan kestabilan kawasan adalah rivalitas kekuatan besar. Dampaknya terasa sampai ke Asia Tenggara. ”Tantangan tidak semakin mudah dan ternyata kalau kita lihat rivalitas itu tidak menurun pada saat kita (mengalami) pandemi,” ujarnya
Biden dan para pejabat AS memang bolak-bolak mengklaim, Washington tidak pernah meminta negara lain berpihak pada AS dan sekutunya atau China-Rusia. Walakin, berbagai tindakan Washington menunjukkan sebaliknya.
Peneliti senior Center for East Asia Policy Studies, Thomas Pepinsky, menyebut AS mendorong minilateralisme, antara lain lewat QUAD dan AUKUS. Pemerintahan Biden juga dinilai salah menilai manuver Beijing-Moskwa. Kesalahan itu, antara lain, dicerminkan lewat penyelenggaraan Summit for Democracy pada 9-10 Desember 2021.
Alih-alih fokus pada isu mendasar demokrasi, Pepinsky menilai aspek geopolitik malah lebih kental di SfD dan hal itu lagi-lagi kesalahan. Sebab, SfD merefleksikan pendapat pemerintahan Biden bahwa China dan Rusia berusaha menyebarkan model sistem politiknya ke negara lain. Tidak ditampik bahwa China memang tidak demokratis jika menurut standar AS dan banyak sekutunya. Namun, tujuan politik luar negeri Beijing sama-sama sekali tidak ideologis. China tidak berminat menyebarkan sistem politiknya ke negara lain.
Baca juga : Putin Minta Jaminan NATO Tak Merangsek ke Eropa Timur
Berlawanan dari Krauthammer dan Lake serta berkaca pada perkembangan 32 tahun terakhir, pakar hubungan internasional pada American University, Amitav Acharya, menyebut masa AS sebagai penguasa tunggal sudah berakhir. AS memang masih menjadi negara kuat dan penting. Akan tetapi, negara lain juga sudah kuat dan penting pula.
Oleh karena itu, sudah tidak bisa lagi memakai penjelasan bipolar, apalagi unipolar untuk menjelaskan relasi negara-negara. Dalam analogi Archarya, dunia masa kini seperti bioskop dengan banyak studio atau layar. Setiap studio bisa menayangkan film berbeda. Penonton bebas memilih akan memasuki studio mana sesuai minat dan kepentingan masing-masing.
Jika memakai analogi Bung Hatta, kini perahu politik luar negeri Indonesia tidak hanya harus didayung di antara dua karang. Perahu politik luar negeri Indonesia harus didayung melewati berbagai kekuatan besar yang bisa menjadi sumber masalah atau bisa juga tempat mencapai kepentingan nasional.
Seperti disampaikan Retno, Indonesia konsisten menerapkan politik luar negeri bebas aktif. Penerapan politik luar negeri Indonesia itu selalu tetap mengedepankan kepentingan nasional. Namun, dalam tataran operasional diplomasi, Indonesia bisa terkesan dekat pada pihak tertentu, tetapi secara prinsip tetap konsisten dengan prinsip bebas aktif.
”Tidak mungkin terus di tengah. Sebab, kepentingan nasional kita kadang harus membawa kita kolaborasi dengan negara A, untuk kepentingan lain dengan negara B, untuk kepentingan lain harus berkolaborasi dengan negara C. Itu terus berusaha kita mainkan,” papar Retno. (AFP/REUTERS)