Meluaskan Aliansi Atlantik ke Pasifik
NATO dibentuk untuk menghadapi Uni Soviet. Setelah Uni Soviet bubar, seharusnya NATO ikut bubar. Namun, aliansi ini justru berupaya memperluas pengaruh ke negara lain, terutama Asia Pasifik.
Setelah 1,5 tahun membahas secara intensif, Pakta Pertahanan Atlantik Utara akhirnya secara terbuka mengidentifikasi China sebagai tantangan bagi aliansi itu. Pernyataan itu memicu kekhawatiran pakta pertahanan yang dibentuk untuk menghadang Uni Soviet tersebut akan memperluas jangkauannya ke Asia-Pasifik.
NATO menyebut Beijing menghadirkan tantangan sistematis bagi aliansi itu. Tantangan itu dihadirkan lewat perluasan pengaruh China di sejumlah negara, termasuk di sebagian anggota Uni Eropa. China juga berbahaya karena memodernisasi militer dan meningkatkan kemampuan senjata nuklir.
Baca juga: Empat Negara Quad Satukan Tekad di Kawasan Indo-Pasifik
NATO tidak menyinggung fakta, sebagaimana diungkap Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), belanja militer anggota NATO jauh di atas China. Pada 2020, SIPRI mencatat belanja militer AS mencapai 776 miliar dollar AS, Inggris 59 miliar dollar AS, Jerman 52 miliar dollar AS. Bahkan, NATO menyebut total belanja militer anggotanya mencapai 1,1 triliun dollar AS.
Sementara belanja militer China dan Rusia, menurut SIPRI, masing-masing 252 miliar dollar AS dan 61 miliar dollar AS. Dengan kata lain, gabungan belanja militer kedua pengancam utama NATO itu setara 28 persen dari total belanja militer NATO.
Selama puluhan tahun, praktis NATO menghadapi Uni Soviet dilanjut Rusia di berbagai palagan Eropa, Timur Tengah, Asia Tengah, dan Afrika. Sejak dibentuk pada 1949, NATO tidak pernah beroperasi terbuka di Asia-Pasifik.
Keadaan mulai berubah kala Amerika Serikat dipimpin Donald Trump dan Joe Biden. Trump dan Biden sama-sama secara terbuka menyatakan China sebagai lawan utama AS dan sekutunya. Bahkan, Biden menyebut bahwa mencegah China menguasai dunia akan menjadi kunci keberlangsungan hidup AS.
Para pakar AS seperti David Miller dan Richard Sokolsky dari Carnegie Endowment for International Peace sekali pun terkejut dengan retorika Biden. Mereka menyebut Biden masih menunjukkan mental Perang Dingin. Tudingan serupa bolak-balik dilontarkan China kepada AS dan sekutunya.
Kecemasan
Bagi Asia Timur dan Asia Tenggara, peralihan kekuasaan dari Biden ke Trump diwarnai dengan kecemasan upaya AS menggalang aliansi militer di Asia Pasifik untuk mengadang China. ASEAN dengan cemas mengikuti fakta pemerintahan Biden mendorong aliansi India-Jepang-Korea Selatan-Australia atau Quad dengan tujuan menghadapi China.
Baca juga: Meski Tidak Terlibat Perang Dingin, NATO Terancam Kebangkitan China
Diplomat senior Singapura, Kishore Mahbubani, secara terbuka mengungkap kecemasannya selepas konferensi tingkat tinggi NATO di Brussels pada Juni 2021. Dalam komunike setelah KTT Juni 2021 itu, NATO secara jelas menyebut China menghadirkan ancaman pada mereka. Bagi Kishore, sebagaimana dilansir dalam artikel di The Straits Times, isi komunike itu mempertegas keinginan NATO memperluas jangkauannya ke Asia Pasifik.
Sebelum komunike, Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg berkali-kali mengatakan bahwa NATO ingin memperluas kemitraan di Asia Pasifik. ”NATO juga ingin mencari teman baru di Amerika Latin, Afrika, dan Asia,” katanya selepas pertemuan NATO pada Desember 2019.
Sebelum KTT NATO pada Juni 2021, Kepala Kebijakan Luar Negeri dan Keamanan Uni Eropa Josep Borrell menyebutkan, armada UE akan lebih sering hadir di Asia Tenggara. Brussels merasa, selama ini kurang hadir di Asia Tenggara yang diidentifikasi sebagai salah satu bagian terpenting dalam dinamika perekonomian global.
Pernyataan Stoltenberg, Borrell, lalu NATO menegaskan keinginan NATO untuk memperluas jangkauannya ke Asia Pasifik, termasuk Asia Tenggara. Bagi Kishore, keinginan itu berbahaya. NATO dipandang sebagai organisasi ekspansif dan tidak menghargai itikad baik pihak lain.
Kishore mencatat, NATO tidak menghargai Rusia yang setuju menandatangani perjanjian pengendalian senjata dan mau berteman dengan NATO. Aliansi itu malah mencoba menambah anggota ke negara-negara dekat perbatasan Rusia.
Bahkan, NATO secara terbuka mencoba terlibat dalam kekacauan politik Ukraina pada 2014. Sikap NATO memicu Rusia menduduki Semenanjung Krimea, wilayah Ukraina yang diberikan Uni Soviet pada 1954.
NATO pun semakin aktif menyerbu negara lain selepas Perang Dingin. NATO menyerbu Balkan, Irak, Afghanistan, Suriah, hingga Libya. Negara-negara yang diserbu NATO ditinggalkan dalam keadaan kacau seperti terjadi pada Libya, Irak, Afghanistan.
Sikap Kawasan
Kekhawatiran Kishore soal ketidakmampuan NATO menghargai pihak lain tecermin dari pemimpin faktual organisasi itu, yakni AS. Di Asia Pasifik, Washington terus menerus menawarkan narasi soal bahaya China dan mengajak kawasan menentangnya.
Baca juga: Armada Eropa Hadir di Asia Tenggara
Padahal, ASEAN berulang kali menyatakan tidak akan berpihak pada kekuatan besar. Hal itu berlaku untuk AS, China, Jepang, hingga Rusia. Bagi ASEAN, siapa pun yang masuk kawasan maka harus harus ikut mekanisme ASEAN dan menjunjung sentralitas ASEAN.
ASEAN tidak ingin melihat persaingan AS-China di Asia Tenggara. Setiap anggota ASEAN berkepentingan untuk berhubungan baik dengan AS, China, dan negara lain. ASEAN sangat tidak mengharapkan pemerintahan Biden mengulangi retorika pemerintahan Trump.
Memang, sebagian anggota ASEAN cemas dengan perilaku China di Laut China Selatan. Indonesia bolak-balik secara terbuka menunjukkan ketegasan pada China soal Laut China Selatan.
Di sisi lain, ASEAN tidak menampik bahwa China juga penting bagi pertumbuhan perekonomian kawasan di masa depan. Apa pun pendapat banyak pihak, China terbukti sebagai mitra dagang penting bagi mayoritas anggota ASEAN.
Prinsip tidak mencampuri urusan dalam negeri di Piagam ASEAN juga membuat ASEAN relatif tidak menanggapi narasi AS soal bahaya sistem politik China. Bagi ASEAN, apa pun yang terjadi di China adalah urusan dalam negeri Beijing dan ASEAN tidak ikut campur.
Di sisi lain, AS terbukti tidak mau berbaur dengan dengan kawasan. AS tidak bergabung dengan dua inisiatif ekonomi penting di kawasan, Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP) serta Kesepakatan Komprehensif dan Progresif untuk Kemitraan Trans-Pasifik (CPATPP).
AS tidak kunjung menunjuk duta besar untuk Singapura, Brunei Darussalam, Thailand, dan Filipina. Sementara Duta Besar AS untuk Indonesia Sung Kim merangkap sejumlah jabatan lain. Kala China, UE, Inggris, dan Jepang punya duta besar untuk ASEAN, AS tidak punya.
Baca juga: NATO Lebarkan Fokus ke China
Di tengah pandemi Covid-19, Washington bisa disebut tertinggal jauh dibanding Beijing di Asia Tenggara. China telah mengirimkan puluhan juta dosis ke kawasan, sementara AS baru menjanjikan sumbangan vaksin.
Awalnya, Biden menjanjikan Pfizer untuk 92 negara di Covax AMC. Hal itu berarti, sebagian anggota ASEAN bisa mendapatkan sumbangan itu. Belakangan, Kemlu AS mengungkap Washington akan mengirimkan vaksin Moderna untuk Indonesia dan Johnson&Johnson untuk Filipina.
Sejumlah lembaga kajian di AS pun bolak-balik menyarankan, cara terbaik terlibat di Asia Pasifik adalah meningkatkan kerja sama ekonomi. Asia Pasifik yang relatif damai dan mampu mengelola ketegangan kawasan lebih membutuhkan kerja sama pembangunan dan ekonomi demi kesejahteraan bersama. Oleh karena itu, tawaran pembentukan aliansi politik dan militer untuk melawan pihak tertentu tidak tepat bagi kawasan.
Baca juga: 9 Juta Dosis Vaksin Sumbangan Siap Masuk Indonesia
Alasan lain, menurut Kishore, aliansi militer seperti NATO sudah tidak punya dasar untuk terus ada. NATO dibentuk untuk menghadapi Uni Soviet. Setelah Uni Soviet bubar, seharusnya NATO ikut bubar, bukan malah terus diperluas dan terus menyerbu berbagai negara lain. Serbuan itu pun sebagian tanpa restu resmi komunitas internasional seperti resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa. (AFP/REUTERS/RAZ)