Lahan Digital ”Booming” di ”Metaverse”, Barbados Segera Bangun Kedubes Virtual
Saat masih banyak warga kesulitan mengakses tanah dan mendapat sertifikatnya, pemilik modal mulai mengapling lokasi premium lahan digital. Barbados dan Kota Seoul tak ketinggalan membangun kedubes dan balai kota virtual.
Oleh
Mahdi Muhammad
·6 menit baca
Republic Realm, sebuah perusahaan yang berbasis di New York, Amerika Serikat, pada pekan ini membuat kejutan. Perusahaan itu merogoh kasnya sebesar 4,3 juta dollar AS atau sekitar Rp 624,6 miliar untuk membeli lahan digital melalui The Sandbox, perusahaan real estat di dunia digital. Dari angka transaksinya, itu tercatat sebagai rekor pembelian lahan digital saat ini.
Ya, disebut ”lahan digital” karena lahan itu sebenarnya tidak berwujud nyata. Lahan tersebut ada di dunia maya. Seolah seperti nyata, di lahan itu orang bisa bersosialisasi, bermain gim, dan bahkan juga melakukan aktivitas-aktivitas lain, misalnya menonton konser, seperti yang diperagakan Justin Bieber November lalu, serta konser-konser lainnya oleh Ariana Grande, the Weeknd, dan Travis Scott.
Sebelum Republic Realm mengumumkan pembelian lahan digital, langkah serupa telah dilakukan perusahaan kripto asal Kanada, Tokens.com. Perusahaan ini membeli lahan digital senilai 2,4 juta dollar AS dari rivalnya, Decentraland.
Perburuan lahan digital itu bahkan juga telah dilakukan oleh institusi pemerintahan. Belum lama ini, Menteri Luar Negeri Barbados, Jerome Walcott, mengumumkan akan membuka kantor kedutaan besar di jagat metaverse di Decentraland. Barbados, negara kecil di kawasan Karibia yang baru saja ”bercerai” dari Ratu Inggris Elizabeth II, bakal menjadi negara pertama yang memiliki ”lahan” di dunia digital.
Walcott tidak menjelaskan kapan Kedubes Barbados di metaverse itu akan dibangun dan beroperasi secara penuh. Tidak dijelaskan juga, melalui perusahaan real estat digital mana mereka akan bertransaksi mengakusisi lahannya.
”Kami negara pulau yang kecil. (Pembukaan kedubes virtual) ini memberi kami jalan untuk memperluas jejak diplomatik kami tanpa harus menambah puluhan kedubes fisik, yang bagi kami tidak terjangkau,” tutur Gabriel Abed, yang memimpin strategi metaverse Barbados, seperti dikutip Reuters.
”(Pembukaan kedubes virtual) ini memberi kami keberimbangan diplomatik dengan negara-negara besar, dan memberi kami jalan secara penuh untuk menampilkan kebudayaan kami dan kesempatan bisnis, yang sepenuhnya berada di bawah kendali lingkungan kami,” tambah Abed, yang kini juga menjabat Dubes Barbados untuk Uni Emirat Arab.
Selain Barbados, Seoul juga bakal menjadi kota besar pertama yang bakal masuk ke jagat metaverse. Pemerintah Metropolitan Seoul atau Seoul Metropolitan Government (SMG) tengan membangun ”ekosistem metaverse untuk seluruh layanan administrasi di bidang ekonomi, kebudayaan, pariwisata, pendidikan, dan semua keluhan warga”.
Metaverse Seoul, platform untuk layanan publik, dijadwalkan akan selesai dibangun pada akhir tahun depan. Gedung balai kota virtual, tempat warga bisa bertemu dengan avatar pejabat publik dan menyampaikan keluhan, bakal didirikan pada tahun 2023.
Gebrakan Facebook
The Sandbox dan Decentraland adalah dua perusahaan real estat digital yang memfokuskan diri mengembangkan berbagai prototipe metaverse. Istilah metaverse akhir-akhir ini mencuat setelah Mark Zuckerberg memutuskan mengganti nama perusahaan yang dibangunnya, Facebook Inc menjadi Meta Platform Inc.
Metaverse telah menjadi kata kunci bagi para pekerja Lembah Silikon selama berbulan-bulan. Minat publik dunia pada metaverse semakin melonjak pada Oktober lalu setelah perusahaan induk Facebook mengganti nama menjadi Meta.
”Perubahan citra Facebook dan memperkenalkan istilah metaverse kepada jutaan orang jauh lebih cepat daripada yang pernah saya bayangkan,” kata Cathy Hackl, seorang konsultan teknologi.
Meski minat pada metaverse baru melonjak belakangan ini, lahan digital telah menjadi incaran banyak perusahaan dan individu. Menurut sebuah situs mata uang digital, Dapp, dalam sepekan terakhir, ”tanah digital” telah terjual senilai 100 juta dollar AS melalui empat situs metaverse besar, yaitu CryptoVoxels, Somnium Space, The Sandbox, dan Decentraland.
Menurut Hackl, tidak mengherankan bahwa saat ini komunitas digital dunia tengah mengalami boomingmetaverse dengan menelurkan ekosistem bisnis real estat virtual, mulai dari penyewaan lahan digital hingga pengembangan lahan. Ia sendiri mengaku tengah mencoba mengalibrasi ulang pemahaman tentang barang fisik ke dunia maya atau digital.
”Meski perlu waktu untuk memahami cara kerja metaverse ini, lahan digital sudah berfungsi sebagai aset seperti di dunia nyata. Mereka bisa membangun, menyewakan, hingga menjualnya,” ujar Hackl.
Posisi strategis
Sebut saja Tokens.com yang berani merogoh kas perusahaan hingga lebih dari 2,4 juta dollar AS untuk membeli lahan digital di sebuah lokasi premium melalui Decentraland. Andrew Kiguel, CEO Tokens.com, menuturkan bahwa membeli lahan dengan lokasi yang sangat strategis di dunia digital bukan hal yang mudah.
”Jika saya tidak melakukan penelitian dan memahami bahwa ini adalah aset properti yang berharga, itu akan tampak sangat gila,” kata Kiguel.
Dengan dana 2,4 juta dollar AS, dia membeli lokasi premium di distrik Fashion Street Decentraland. Dengan memilih lokasi premium yang strategis itu, ia berharap, lahan digital perusahannya akan berkembang menjadi lokasi toko virtual berbagai merek ternama.
Kiguel telah kenyang dengan pengalaman di dunia real estat dan bankir investasi selama dua dekade terakhir. Ia yakin betul bahwa di masa depan, lokasi yang ditawarkan Decentraland akan memiliki arti bisnis yang sama persis di dunia nyata: lokasi strategis, premium dengan tingkat kunjungan calon konsumen sangat tinggi.
”Lokasi itu adalah ruang untuk beriklan sekaligus menjadi ruang untuk berbagai acara di mana orang-orang akan berkumpul,” kata Kiguel, merujuk pada sebuah festival musik virtual dengan pengunjung lebih dari 50.000 orang.
”Fashion” di ”metaverse”
Penilaian Kiguel sejalan dengan keputusan merek-merek ternama yang sudah merambah ke dunia metaverse. Gucci, misalnya, sudah mulai melakukan penjualan produknya melalui platform Roblox hingga Nike. Kiguel berharap, tren ini terus berlanjut dan distrik Fashion Street yang dimilikinya di Decentraland akan menjadi tujuan belanja yang mirip dengan 5thAvenue di Big Apple, sebutan Kota New York.
Lahan digital, dalam pandangan Kiguel, bisa dimanfaatkan untuk menghasilkan cuan. Sederhana saja caranya, seperti memiliki papan reklame atau seperti memajang produk di etalase dengan karyawan yang sebenarnya. ”Anda bisa masuk dengan avatar Anda ke dalam toko dan bahkan bisa memegang sepatu 3D (tiga dimensi) sambil mengajukan pertanyaan kepada pegawai toko,” kata Kiguel.
Jauh sebelum Roblox, Decentraland, dan Somnium Space mengembangkan lahan digital, para pengembang digital telah mengenal nama Second Life sebagai salah satu pionir. Kala itu, pada tahun 2006, banyak orang tercengang saat seorang pengembang real estate menghasilkan 1 juta dollar AS atau setara Rp 14 miliar setelah menjual lahan digitalnya di platform Second Life.
Di Decentraland, segala sesuatu mulai dari tanah hingga karya seni virtual hadir dalam bentuk token yang tak dapat dipertukarkan (non-fungible token/NFT). Banyak orang, para penjelajah metaverse, berani merogoh koceknya hingga ribuan dollar AS untuk membeli barang-barang digital tersebut.
Kiguel memprediksi, bentuk kepemilikan lahan digital akan meluas di tahun-tahun mendatang. Hal ini dikarenakan teknologi blockchain, yang berada di balik gegap-gempita metaverse ini, telah menciptakan kepercayaan dan transparansi saat melakukan transaksi. ”Saya bisa melihat sejarah kepemilikannya, apa yang telah dibayarkan untuk itu, dan bagaimana aset serta properti itu dialihkan,” jelasnya.
Meski demikian, investasi pada lahan digital bukannya tanpa risiko, terutama karena kerentanan nilai mata uang kripto yang digunakan untuk membeli NFT. Faktor lainnya adalah masih tertinggalnya jumlah lalu lintas kunjungan pengguna di situs-situs metaverse dibandingkan Facebook atau Instagram.
Kiguel menilai, pada akhirnya nilai investasi lahan digital itu tergantung pada apakah orang mulai berbondong-bondong ke situs-situs metaverse itu. ”Saya tahu, itu semua terdengar sangat menggelikan. Tetapi, ada visi di balik itu,” ujarnya. (AFP/REUTERS)