China Janji Utamakan Kestabilan ASEAN, Isu Laut China Selatan Masih Mengganjal
China menganggap ASEAN sebagai tetangga, sahabat, dan mitra. Namun, pada saat yang sama, terdapat sengketa klaim wilayah perairan, seperti di Laut China Selatan. Perlu kesepakatan tegas guna mencegah eskalasi konflik.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — China menekankan, pihaknya tidak menginginkan hegemoni terjadi di Asia Tenggara. Oleh sebab itu, kepada Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara atau ASEAN, China berjanji mengedepankan dialog dan mencegah pertentangan yang berisiko memicu unjuk kekuatan militer di kawasan, termasuk soal Laut China Selatan dan AUKUS.
Demikian dikemukakan Duta Besar China untuk ASEAN Deng Xijun dalam jumpa pers secara virtual di Jakarta, Rabu (24/11/2021). Ia memberi penjelasan lebih mendalam terkait Konferensi Tingkat Tinggi Ke-30 ASEAN dan China, 22 November lalu, yang dipandu Sultan Brunei Hasanah Bolkiah selaku Ketua ASEAN dan Presiden China Xi Jinping.
”Presiden Xi mengajukan lima proposal yang semuanya mengutamakan keamanan dan kestabilan kawasan karena ASEAN tidak hanya mitra dagang nomor satu bagi China, tetapi juga sebagai tetangga dan sahabat baik,” kata Deng.
Ia mengungkapkan, di sektor kerja sama ekonomi, dalam lima tahun ke depan China akan mengimpor produk-produk pertanian dari ASEAN senilai 150 juta dollar AS. Ini juga akan dikelola lewat Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP) yang mengedepankan kebebasan perdagangan serta investasi antara ASEAN dan para negara mitra seperti China, Australia, dan Selandia Baru.
Terdapat pula bantuan 1,5 miliar dollar AS untuk tiga tahun ke depan untuk pemulihan ekonomi pascapandemi Covid-19. Jumlah ini di luar bantuan untuk kesehatan sebesar 15 juta dollar AS dan penambahan 150 juta dosis vaksin Covid-19. Di sektor kesehatan, akan ada kerja sama penelitian dan pengembangan vaksin dan obat-obatan serta peningkatan akses layanan kesehatan dasar.
”Litbang ini juga harus kita kembangkan di luar sektor kesehatan karena ASEAN-China akan menjadi jaringan ilmu pengetahuan dan inovasi untuk pengembangan ekonomi digital, ekonomi hijau, pertanian berkelanjutan, dan energi bersih,” papar Deng.
Menurut Deng, tengah dibahas strategi pengiriman 300 ilmuwan muda dari China untuk bekerja sama dengan berbagai perguruan tinggi dan lembaga riset di ASEAN. Selain itu, ada peningkatan pemberian beasiswa, pelatihan vokasi, kemah anak muda, serta pengakuan ijazah dari ASEAN dan China.
Isu Laut China Selatan
Terkait Laut China Selatan (LCS), Deng mengemukakan, tujuan utama tetap keamanan dan kestabilan di perairan tersebut. China tetap menunggu selesainya negosiasi penyusunan kode tata berperilaku (CoC), yang mengatur penanganan konflik di LCS, antara China dan ASEAN.
Selama menunggu naskah kesepakatan itu selesai, sejumlah anggota ASEAN mengeluhkan kehadiran China di LCS. Filipina merupakan negara yang paling gusar dengan hal ini. Pekan lalu, kapal patroli China dan Filipina gontok-gontokan di LCS. Meski eskalasi konflik bisa dicegah, saat itu kapal China dilaporkan menghadang dan menembakkan meriam air ke kapal Filipina.
Menteri Luar Negeri Filipina Teodoro Locsin menyebut hal itu tindakan pelanggaran kedaulatan Filipina. Kehadiran China di LCS mendorong Filipina memberi dukungan kepada pakta pertahanan AS, Inggris, dan Australia (AUKUS).
”China menentang AUKUS karena ini juga mendiskreditkan kewibawaan ASEAN yang telah menetapkan komitmen sebagai kawasan bebas nuklir,” kata Deng.
Menanggapi hal tersebut, dalam kesempatan terpisah, anggota Tim Kajian ASEAN Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Faudzan Farhana, menjelaskan, sejak 20 tahun lalu, ASEAN dan China menandatangani perjanjian untuk menjaga perdamaian dan menghindari penggunaan senjata di LCS. Secara teoretis, naskah kesepakatan terbaru yang tengah disusun tidak memiliki perbedaan signifikan dengan 20 tahun lalu.
”Padahal, ada perubahan dalam cara kepemimpinan China mengingat Xi Jinping berambisi untuk unjuk kekuatan kepada dunia,” ujarnya. Hal ini ditambah bahwa China bersikeras tidak mengikuti keputusan Mahkamah Arbitrase Internasional (PCA) terkait penolakan terhadap klaim garis batas imajiner ”sembilan garis putus-putus” mengenai pembagian wilayah LCS.
Dengan klaim itu, China mendaku berhak atas 85 persen wilayah LCS.
Faudzan menerangkan, sejak negosiasi mengenai LCS, ASEAN sejatinya telah kalah dari China. Alasannya karena ASEAN tidak menghadapi China sebagai satu kesatuan. Sebaliknya, China melakukan pendekatan bilateral dengan negara-negara anggota ASEAN sehingga kesepakatan yang terjadi bersifat antarnegara.
”Sebenarnya, sekarang momen ASEAN bisa bersatu dan meminta China segera menyelesaikan kesepakatan mengenai LCS. ASEAN memang masih dihormati di kawasan maupun tataran global, tetapi ini juga berarti ASEAN harus tegas bersikap sebagai sebuah kesatuan,” katanya.