Ketegangan Filipina-China di Laut China Selatan kerap berulang. Tak ada yang baru dalam polanya. Ada akar masalah belum terselesaikan. Tak heran, itu akan terus terulang.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Sudah tak terhitung lagi jumlah insiden ketegangan maritim antara kapal penjaga pantai China dan kapal negara lain yang memiliki klaim wilayah perairan di Laut China Selatan. Insiden pemblokadean dan penembakan dengan meriam air oleh tiga kapal penjaga pantai China pada kapal penyuplai logistik Filipina, seperti diberitakan harian ini, Jumat (19/11/ 2021), seolah fragmen lanjutan dalam drama sengketa di Laut China Selatan antara China dan beberapa negara kawasan.
Pola ceritanya hampir serupa. Ada gesekan dalam aktivitas maritim, dipicu sengketa dan tumpang tindih klaim atas wilayah perairan. Dalam insiden pada Selasa (16/11/2021) itu, kapal Filipina berlayar ke Atol Second Thomas untuk memasok makanan bagi tentara Filipina yang ditempatkan di pulau karang tersebut. Pulau ini terletak 105 mil laut (195 kilometer) barat laut Puerto Princesa, ibu kota Provinsi Pulau Palawan. Sesuai hukum laut internasional, wilayah itu masuk zona ekonomi eksklusif Filipina. Manila memiliki hak berdaulat atasnya.
Di tengah perjalanan, kapal Filipina itu dihadang dan ditembaki dengan meriam air oleh kapal penjaga pantai China. Manila marah. Ada kedaulatan atau hak berdaulatnya yang tidak dihormati oleh Beijing. ”Mereka (China) harus memperhatikan itu dan mundur,” kata Teodoro Locsin Jr, Menteri Luar Negeri Filipina, yang mengajukan protes keras kepada Beijing lewat Kedutaan China di Manila.
Di mana akar masalah insiden itu? Pemerintah China, seperti disampaikan juru bicara Kementerian Luar Negeri Zhao Lijian, menganggap kapal Filipina itu memasuki wilayah perairannya di dekat Ren’ai Jiao, Kepulauan Nansha, ”tanpa persetujuan” Beijing. Sementara Filipina bersikukuh kapalnya itu menuju pulau di wilayah kedaulatannya. Inilah salah satu tumpang tindih klaim dalam sengketa di Laut China Selatan.
Akar masalah dalam sengketa ini ialah klaim berdasarkan garis imajiner China yang disebut ”sembilan garis putus-putus” di laut sengketa itu. Bukan hanya dengan pihak pengklaim dalam sengketa—Brunei Darussalam, Filipina, Malaysia, Vietnam, dan Taiwan—China bersitegang. Dengan Indonesia, yang bukan pengklaim dalam sengketa, China juga terus mengusik hak berdaulat lewat pengerahan kapal nelayan atau kapal patroli penjaga pantai di Laut Natuna Utara, seperti Oktober lalu.
Jika akar masalah ini tidak terselesaikan, bisa dikata sampai kiamat pun drama ketegangan maritim di Laut China Selatan akan terus terjadi. Klaim ”sembilan garis putus-putus” China tidak diakui menurut keputusan Mahkamah Arbitrase Internasional (PCA) dalam kasus yang diajukan Filipina tahun 2016. Namun, putusan itu tak digubris China.
Entah sampai kapan ada titik temu dalam kebuntuan ini. Saat ini yang bisa dilakukan, selain tetap menunjukkan—meminjam ungkapan diplomat—sikap keberatan terus-menerus (persistent objection) atas klaim itu, mencegah supaya drama ketegangan itu tak bereskalasi menjadi konflik terbuka.