Pemerintah Filipina mengirimkan nota protes ke Kedutaan Besar China di Manila, yang berisi kemarahan dan kecaman atas insiden penghadangan dan penembakan dengan meriam air oleh kapal China pada kapal logistik Filipina.
Oleh
Mahdi Muhammad
·3 menit baca
MANILA, KAMIS — Pemerintah Filipina, Kamis (18/11/2021), melayangkan protes keras kepada Pemerintah China. Hal ini terkait dengan tindakan tiga kapal penjaga pantai China yang memblokade dan menembaki dengan meriam air kapal logistik Filipina. Kapal itu tengah menuju atol, yang dikuasai Filipina, di Laut China Selatan. Tidak ada korban luka dalam insiden pada Selasa (16/11/2021) itu.
Akibat insiden tersebut, Filipina terpaksa membatalkan perjalanan dua kapal pemasok logistik bagi tentaranya yang berjaga-jaga di pulau itu. Manila mengingatkan, kapal-kapal logistiknya dilindungi oleh sebuah perjanjian pertahanan bersama dengan Amerika Serikat.
”China tidak memiliki hak penegakan hukum di dalam dan di sekitar wilayah ini. Mereka harus memperhatikan itu dan mundur,” kata Teodoro Locsin Jr, Menteri Luar Negeri Filipina, dalam pernyataan tertulis.
Ia menambahkan, Pemerintah Filipina telah mengirimkan nota protes, yang berisi kemarahan dan kecaman atas insiden itu, ke Kedutaan Besar China di Manila.
Insiden tersebut berlangsung di sekitar Atol Second Thomas. Pulau karang ini terletak sekitar 195 kilometer barat laut Puerto Princesa, ibu kota Provinsi Palawan. Lokasinya masih berada di dalam zona ekonomi eksklusif (ZEE) Filipina dan secara de facto Angkatan Laut (AL) Filipina telah menguasai pulau tersebut sejak tahun 1999.
Pada saat itu, AL Filipina melabuhkan kapalnya, BRP Sierra Madre, di pulau tersebut. Sierra Madre sekarang secara efektif merupakan kapal karam yang berkarat. Meski demikian, militer Filipina belum menonaktifkannya.
Kapal dengan panjang sekitar 100 meter itu dianggap sebagai perpanjangan dari pemerintah. Artinya, setiap serangan terhadap kapal itu sama saja dengan serangan terhadap Filipina.
Atol Second Thomas berlokasi di kawasan perairan Kepulauan Spratly yang disengketakan. China, Filipina, Vietnam, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Taiwan memiliki klaim yang tumpang tindih di kawasan itu. China mengklaim hampir seluruh kawasan Laut China Selatan dan telah mengubah tujuh beting menjadi pangkalan militer, lengkap dengan rudal-rudal sistem pertahanan.
Kantor Presiden Filipina Rodrigo Duterte telah mengetahui insiden tersebut. Penjabat juru bicara kepresidenan, Karlo Nograles, mengatakan, Filipina tidak akan mundur dari wilayah yang disengketakan.
”Kami akan terus menegaskan kedaulatan, hak berdaulat, dan yurisdiksi kami,” kata Nograles.
Sangat agresif
Sebelum insiden itu terjadi, Penasihat Keamanan Nasional Hermogenes Esperon mengatakan, pihak berwenang telah melihat kehadiran sejumlah kapal yang diduga milik milisi maritim China di dekat lokasi insiden dan Pulau Thitu, yang juga telah dihuni militer Filipina.
Menurut laporan, 19 kapal berlayar di dekat Atol Second Thomas pekan lalu dan 45 kapal berlayar di dekat Pulau Thitu. Esperon menggambarkan, aksi puluhan kapal itu sangat agresif.
Di Beijing, juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Zhao Lijian, mengatakan, para personel penjaga pantai China telah menegakkan kedaulatan China setelah kapal-kapal Filipina memasuki perairan China pada malam hari tanpa izin.
China menganggap beting itu sebagai bagian dari wilayahnya karena berada dalam ”sembilan garis putus-putus” yang digunakannya pada peta sejarah, yang dijadikan dasar klaimnya atas hampir seluruh Laut China Selatan. Namun, putusan Mahkamah Arbitrase Internasional (PCA) tahun 2016 mengatakan bahwa klaim China tersebut tidak memiliki dasar hukum.
Insiden itu tidak menyurutkan militer Filipina untuk mengirimkan pasokan kepada militernya di lokasi yang disengketakan. Meski demikian, alih-alih mengerahkan kapal milik AL untuk mengawal kapal logistiknya, Malacanang berencana untuk mengerahkan kapal-kapal penjaga pantai dan kapal Biro Perikanan dalam penegakan Undang-Undang Penangkapan Ikan di sekitar lokasi insiden tersebut.
”Kami akan melanjutkan pasokan dan kami tidak perlu meminta izin kepada siapa pun karena itu dalam wilayah kami,” ujar Esperon. (AP/REUTERS)