Ekspansionisme China dan Matinya Diplomasi di Laut China Selatan
Pembangunan ”kota pulau” di Laut China Selatan menandai fase ekspansi baru dalam mengisi fitur jarak jauh China. Hal itu membedakannya dengan klaim AS yang hadir di sana atas nama kebebasan navigasi.
Oleh
Pascal S Bin Saju
·3 menit baca
Judul catatan ini menyoroti kehadiran China yang terus memperkuat klaimnya di Laut China Selatan atau LCS. Aktivitas China tak pernah surut meski para negara tetangga yang bersengketa dengannya di sana telah mengajukan protes diplomatik. Bahkan, Beijing pada Juli 2016 juga menolak putusan Mahkamah Arbitrase Internasional (PCA) yang menetapkan klaim China tidak berdasarkan hukum internasional.
Kehadiran China di LCS semakin ekspansif, agresif, intensif, dan progresif. Reklamasi karang dan pulau serta pembangunan kantor, pangkalan militer, radar, pelabuhan, desalinasi air laut, fasilitas pengolahan limbah, perumahan rakyat, sistem peradilan, jaringan 5G, sekolah, penerbangan reguler ke dan dari daratan, serta infrastruktur lain dilakukan untuk terus memperkuat klaimnya.
Situs Bloomberg, Jumat (19/2/2021), melaporkan, China telah memiliki kota terluas di dunia di LCS, yakni kota Sansha. Merujuk laporan US Naval War College, kota yang didirikan di Pulau Woody pada 2012 itu telah memiliki luas total 800.000 mil persegi atau 2.072.000 kilometer persegi dalam nine-dash line atau sembilan garis putus-putus hasil imajinasi China.
Beijing melipatgandakan klaim ekspansifnya di LCS setelah membuat kemajuan lain, yakni membentuk dua distrik pertama dalam sejarah kota itu, yakni Distrik Xisha dan Nansha, April 2020.
Sebagian besar kota Sansha terdiri dari laut dan daratan Kepulauan Paracel—yang juga diklaim Vietnam dan Taiwan—serta Kepulauan Spratly yang diklaim bersama oleh Vietnam, Taiwan, Filipina, Malaysia, dan Brunei Darussalam.
Otoritas China di Sansha kini sedang bersiap membangun perumahan rakyat yang bisa menampung 400 keluarga. Menurut situs Radio Free Asia (RFA), Kamis (28/1/2021), rencana pembangunannya ditetapkan pada pertengahan 2020.
Kota Sansha dulunya adalah sebuah pos terdepan paling terpencil. ”Namun, kini Pulau Woody telah menjadi pusat aktivitas yang ramai,” demikian laporan US Naval War College yang ditulis pakar China, Zachary Haver.
Pembangunan ”kota pulau” itu menandai fase ekspansi baru dalam mengisi fitur jarak jauh China. Skema ini diyakini sebagai langkah lanjutan rencana multifase China untuk mendeklarasikan zona pengecualian LCS, termasuk zona identifikasi pertahanan udara (ADIZ), yang secara efektif akan mengubah perairan internasional menjadi perairan internal China.
Itulah yang membedakannya dengan klaim Amerika Serikat yang hadir di LCS atas nama ”kebebasan navigasi di jalur perdagangan internasional”.
Harian South China Morning Post melihat kemajuan yang dibuat China itu sebagai sinyal matinya diplomasi di LCS. Kemajuan yang dibuat China menjadi bukti bahwa semua kerja diplomasi dan hukum internasional, tentang siapa berhak memiliki apa di salah satu wilayah teritorial yang paling diperebutkan di Asia itu, telah gagal total atau mati.
Muhammad Rum dari Departemen Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada membenarkan bawah klaim sepihak berdasarkan nine-dash line, pengabaian keputusan pengadilan arbitrase dan mekanisme multilateral lainnya oleh China, menjadikan banyak pihak berpendapat, Beijing menjalankan kebijakan luar negeri yang ekspansionis.
Sejak awal, Pemerintah China mendasarkan klaim atas kepemilikan LCS sebagai bagian dari sejarah yang disebutnya sebagai daerah penangkapan ikan tradisional. Sebenarnya, dalam pergaulan internasional, klaim ini sulit mendapatkan justfikasi dan itu terbukti dengan penolakan atas prinsip itu oleh PCA di Den Haag, Belanda, pada Juli 2016.
”Apa yang dilakukan China dengan pembangunan kota Shansa akhir-akhir ini adalah salah satu upaya untuk menunjukkan bahwa Pemerintah China secara efektif mengelola kawasan tersebut,” katanya.
Tidak diindahkannya keputusan PCA dan mekanisme multilateral lainnya oleh Pemerintah China menjadikan banyak kalangan berpendapat Pemerintah China menjalankan kebijakan luar negeri yang ekspansionis.
Apa yang terjadi di LCS menunjukkan bahwa realisme politik masih dipraktikkan dalam politik antarbangsa. Realisme menilai bahwa kekuatan suatu negara, baik ekonomi maupun militer, sangat menentukan apakah negara tersebut mampu melindungi kepentingan-kepentingannya.
Sementara ini memang tampak ada kebuntuan dalam upaya-upaya diplomasi. Mekanisme multilateral yang telah diupayakan oleh komunitas internasional tampaknya belum mampu menghadirkan penyelesaian yang tuntas.
Misalnya saja, meski PCA telah memberi keputusan yang menyatakan bahwa China tidak memiliki dasar hukum atas penguasaan LCS dan menolak klaim landasan sejarahnya, keputusan ini tidak dapat diimplementasikan karena penolakan Pemerintah China.
Selain itu, Pemerintah China juga menolak usulan untuk memberikan sifat legally binding pada code of conduct di LCS yang didiskusikan dengan ASEAN. Sikap dan kebijakan luar negeri di antara negara-negara ASEAN dalam menghadapi masalah LCS juga ternyata belum solid, berbeda-beda sesuai kepentingan bilateral masing-masing terhadap Pemerintah China.
Artinya, kata Muhammad Rum, di tengah kebuntuan diplomasi ini, harus ada upaya diplomasi yang lebih inovatif, konsisten, dan secara kolaboratif melibatkan lebih banyak pemangku kepentingan di kawasan.