Mendinginkan Teater Asia yang Panas
Sebagai kekuatan menengah, Indonesia dan ASEAN memiliki modal sosial dan politik yang memadai untuk meredakan kompetisi kekuatan besar di kawasan. Ada beragam platform yang bisa digunakan untuk menegaskan relasi inklusif
Dalam waktu relatif pendek, kawasan Asia, khususnya Asia Tenggara dan Timur, menjadi ”arena” adu kedigdayaan. Seiring dengan kebangkitan China, Amerika Serikat memperkuat kehadiran mereka di kawasan. Untuk menjaga keseimbangan dan kebebasan berlayar, itulah alasan-alasan yang mereka kemukakan, untuk tidak secara langsung merujuk pada agresivitas militerisasi China di Laut China Selatan.
Sebagai mitra dekat, Inggris pun mengikuti langkah AS dengan turut menghadirkan—secara permanen—kapal perang mereka. Australia yang merupakan sekutu dekat AS di wilayah Asia tidak mau ketinggalan.
Baca Juga: Kekuatan Menengah yang Bebas dan Aktif
Pertengahan tahun lalu, Perdana Menteri Australia Scott Morrison mengumumkan peningkatan anggaran belanja militer negeri itu hingga 190 miliar dollar AS. Salah satu alutsista yang diincar adalah rudal jarak jauh, di antaranya AGM-158C. Rudal yang mampu melesat sejauh 560 kilometer itu dapat ditembakkan dari sayap-sayap pesawat tempur F/A-18F Super Hornet yang dimiliki Angkatan Udara Australia. Tak hanya itu, Australia pun menargetkan pengembangan rudal jarak jauh, termasuk rudal hipersonik.
Perkuatan itu, oleh Morrison, diarahkan untuk mengantisipasi situasi global pascapandemi Covid-19 yang disebutnya lebih miskin, lebih berbahaya, dan lebih tidak teratur. Australia pun tidak menampik ada ketegangan teritorial di kawasan, baik di Laut China Selatan, Laut China Timur, maupun antara India dan China. Selain itu—yang tak bisa dianggap ringan—kompetisi dua raksasa dunia, AS dan China.
”Hubungan antara China dan Amerika Serikat paling buruk karena mereka bersaing untuk supremasi politik, ekonomi, dan teknologi,” kata Morrison. Dengan terbuka, Morrison menegaskan, AS menjadi rujukan bagi dasar kebijakan pertahanan Australia.
Baca Juga: Laut China Selatan, dari Kepentingan Kawasan Menjadi Global
Rory Medcalf, Kepala National Security College Universitas Nasional Australia, mengatakan, pengumuman itu menunjukkan Australia semakin serius dalam upaya pencegahan prospek konflik bersenjata di kawasan Indo-Pasifik.
Benar saja, selang setahun, Australia bersama Inggris dan AS menjalin kesepakatan yang dikenal dengan AUKUS. Kesepakatan itu, antara lain, ditandai dengan kerja sama pembangunan kapal selam bertenaga nuklir untuk Australia.
Dalam waktu yang berdekatan, kekuatan regional, seperti Korea Utara dan Korea Selatan, juga meramaikannya dengan ”unjuk kekuatan” otot setiap negara. Setelah Seoul menguji coba Hyunmoo 4-4, rudal jelajah yang diluncurkan dari kapal selam (SLBM) Dosan Ahn Chang-ho, Pyongyang menguji coba rudal hipersonik mereka, Hwasong-8. China, siapa pun tahu, telah memiliki beragam arsenal canggih, termasuk rudal antarbenua berkemampuan nuklir DF-41, SLBM Ju Lang-2, DF-26 yang mampu menenggelamkan kapal induk, dan rudal hipersonik DF-17.
Semua alutsista canggih itu didukung dengan peranti perang elektronik dan pesawat-pesawat nirawak yang kian mematikan. Kini, siapa pun tidak bisa menyangkal atau menutup mata, kawasan Asia semakin sesak oleh alutsista berdaya hancur besar. Bila terjadi salah perhitungan saat ketegangan meningkat, tak terbayangkan apa yang mungkin bisa terjadi.
Baca Juga: Indonesia dan China Ingin Jadi Pemain Besar di Dunia
Indonesia yang diapit Samudra Hindia dan Pasifik serta berada di sisi Laut China Selatan yang ”hangat” tentu sangat berkepentingan pada stabilitas keamanan di kawasan.
Ketika mengunjungi Sekolah Staf dan Komando TNI Angkatan Udara di Lembang beberapa waktu lalu, hangatnya situasi kawasan juga menjadi atensi para perwira siswa. Tak hanya dalam simulasi operasi strategis, perkembangan terkini di kawasan turut menjadi bahan diskusi di dalam kelas. Selain pendekatan militer, mereka juga melirik pendekatan-pendekatan diplomatik.
Dibandingkan dengan kekuatan militer negara-negara tetangga, Indonesia terbilang cukup memadai meskipun harus jujur diakui perlu penambahan. Saat ini, mengacu pada laman TNI Angkatan Udara, pesawat tempur Indonesia telah memiliki kemampuan membawa rudal jarak jauh.
Kemampuan itu dimiliki oleh pesawat-pesawat F-16 OCU yang telah dimodernisasi melalui program Falcon Star dan eMLU. Peningkatan tersebut membuat pesawat-pesawat itu mampu menggotong rudal AIM-120 AMRAAM. Rudal itu dapat merontokkan lawan yang berada di jarak lebih dari 100 kilometer.
Baca Juga: Indonesia Diminta Lebih Tegas soal Aliansi Militer AUKUS
Akan tetapi, merujuk biografi KSAU Marsekal TNI Agus Supriyatna, efek deteren itu perlu diperkuat karena hanya baru sebagian pesawat tempur TNI AU memiliki kemampuan serupa. Sementara itu, di matra laut, kemampuan kapal-kapal perang juga tengah ditingkatkan. Perkuatan itu penting karena diplomasi juga membutuhkan dukungan postur pertahanan yang memadai.
Diplomasi
Sebagai negara dengan kekuatan menengah, Indonesia perlu mengambil langkah lain ketika situasi kawasan tengah bergolak. Peneliti senior CSIS, Lina Alexandra, menegaskan, Indonesia harus bersikap terhadap rivalitas yang muncul di kawasan ini karena akan sangat berdampak pada keamanan Indonesia dan kawasan.
Baca Juga: Dubes Perancis untuk RI: AUKUS Jadi Ancaman Nyata bagi Kawasan ASEAN
Menurut Lina, ada sejumlah platform yang dapat dimanfaatkan Indonesia sebagai arena berdiplomasi, di antaranya ASEAN+3 (mekanisme kerja sama ASEAN dengan China, Jepang, dan Korea Selatan). Melalui kepemimpinannya—termasuk memitigasi perpecahan di ASEAN—Indonesia, menurut Lina, perlu mendorong kembali bekerjanya mekanisme-mekanisme dalam ASEAN+3 serta mengoperasionalisasikan ASEAN Outlook of Indo-Pacific.
Lina menegaskan, Indonesia harus bersikap tegas, termasuk mendorong ASEAN bisa mengembalikan sentralitasnya. Selain itu, Indonesia pun harus bisa bersikap terhadap intrusi China di Natuna, misalnya. ”Yang paling konkret, misalnya, merumuskan bagaimana Indonesia punya kejelasan apa yang mau dilakukan kalau terus-menerus diganggu China di kawasan,” kata Lina.
Baca Juga: Kita dan AUKUS
Merujuk laman Sekretariat Nasional ASEAN-Indonesia, ASEAN Outlook on the Indo-Pacific (AOIP) adalah platform yang dapat digunakan untuk meningkatkan rasa saling percaya melalui kultur dialog dan kerja sama hingga terbentuknya strategic trust. Duta Besar Jose Tavares, yang kala itu menjabat Dirjen Kerja Sama ASEAN, mengatakan, AOIP menampilkan perspektif ASEAN dalam menciptakan kerja sama yang inklusif, bukan kompetisi dan rivalitas. ”AOIP menunjukkan ASEAN tidak akan berpihak kepada negara besar mana pun dan menjaga perdamaian kawasan Indo-Pasifik,” kata Jose Tavares.
Dalam laman resmi Sekretariat Nasional ASEAN-Indonesia dengan artikel berjudul ”Indonesia Dorong ASEAN Outlook On The Indo-Pacific Hadapi Ketidakpastian Regional” itu disebutkan, AOIP merupakan penegasan posisi ASEAN dan perannya menjaga perdamaian, keamanan, stabilitas, dan kemakmuran di kawasan Indo-Pasifik. AOIP mengedepankan pendekatan dialog dan kerja sama yang terbuka dan inklusif di bidang yang menjadi prioritas ASEAN, yaitu maritim, ekonomi, konektivitas, dan pencapaian SDGs.
Dari penjelasan itu, setidaknya ada tiga hal utama yang dikedepankan AOIP, yaitu inklusif, sentralitas ASEAN, serta kebutuhan untuk saling melengkapi. AOIP memberi ruang kepada semua negara untuk berdialog dan membangun kerja sama di kawasan.
Terkait dengan itu, dosen Hubungan Internasional pada Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Muhadi Sugiono, mendorong agar Indonesia berani membangun jembatan di antara kekuatan-kekuatan besar di kawasan. Seperti Lina, Muhadi berpendapat, Indonesia sebagai kekuatan menengah memiliki kapasitas untuk menegaskan kembali aneka mekanisme yang dapat menjadi standar perilaku bersama.
Selain ASEAN+3, Muhadi menyebut Zopfan yang dideklarasikan di Kuala Lumpur pada November 1971. Deklarasi Zone of Peace, Freedom, and Neutrality atau kawasan damai, bebas, dan netral itu, menurut Muhadi, dapat menjadi kerangka kerja untuk membangun hubungan di kawasan Asia Tenggara. Dengan modal sosial dan politik itu, Indonesia dapat berperan lebih aktif membangun relasi yang inklusif di kawasan. Target dari misi diplomasi itu adalah memperkuat kepercayaan serta menghindari kompetisi dan pendekatan politik kekuatan di kawasan. (AP)