Melalui politik luar negeri bebas dan aktif, Indonesia sebagai salah satu kekuatan menengah berupaya mencari teman sebanyak-banyaknya. Namun, di atas semua itu, kepentingan nasional berada di atas segala-galanya.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·3 menit baca
Pekan lalu, setidaknya ada dua peristiwa yang menyangkut kedaulatan dan geopolitik kita. Pertama, seperti dilaporkan nelayan di Natuna, soal kehadiran sejumlah kapal China, salah satunya kapal perusak Kunming-172, di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia di Laut Natuna Utara. Kedua, tentang pembentukan pakta keamanan atau aliansi militer AUKUS, terdiri dari Australia, Inggris, dan Amerika Serikat. Pergerakan kapal-kapal China di Laut Natuna Utara terlihat pada Senin (13/9/2021), sementara AUKUS diumumkan pada Kamis (16/9).
Perilaku kapal tempur China itu dilaporkan terlihat intimidatif sehingga dinilai sebagai ancaman terhadap hak berdaulat RI. Kehadiran mereka secara langsung telah membuat resah nelayan Natuna. Dalam video yang beredar, terdengar komentar para nelayan Natuna tentang helikopter yang terbang rendah dekat kapal di posisi paling depan.
Adapun pembentukan AUKUS dikhawatirkan menimbulkan ketegangan di kawasan terdekat kita. Pakta keamanan itu mengindikasikan masuknya nuklir ke kawasan Asia Tenggara. Salah satu program AUKUS adalah membantu Australia dalam pengadaan delapan kapal selam bertenaga nuklir. Canberra menetapkan masa konsultasi hingga 18 bulan untuk pengadaan kapal-kapal selam itu. AUKUS juga akan meningkatkan kerja sama intelijen dan teknologi pertahanan di antara Canberra-London-Washington.
Publik di Indonesia langsung bereaksi atas dua peristiwa tersebut. Sejumlah pihak di dalam negeri mendesak pemerintah kita segera meminta penjelasan dari China atas keberadaan dan perilaku kapal militernya itu. Sehari setelah AUKUS ditandatangani, Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI mengeluarkan pernyataan pers berisi tanggapan atas kesepakatan pakta pertahanan tersebut. Pernyataan itu bertajuk Pernyataan mengenai Kapal Selam Nuklir Australia.
Indonesia juga sangat prihatin atas berlanjutnya perlombaan senjata dan proyeksi kekuatan militer di kawasan.
Disebutkan bahwa Indonesia mencermati dengan hati-hati atas keputusan Canberra untuk memiliki kapal selam bertenaga nuklir. Indonesia juga sangat prihatin atas berlanjutnya perlombaan senjata dan proyeksi kekuatan militer di kawasan. Indonesia menekankan pentingnya komitmen Australia untuk terus memenuhi kewajibannya mengenai nonproliferasi nuklir. Disebutkan juga soal keberadaan Perjanjian Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut 1982 sebagai landasan untuk menjaga perdamaian dan keamanan di kawasan.
Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi dalam beberapa kesempatan menekankan tentang dinamika geopolitik di kawasan hingga global dan sekaligus respons RI atas dinamika itu. Dalam Dialog Nasional Arah Kebijakan Luar Negeri Indonesia yang digelar oleh Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia secara daring, pekan lalu, Retno mengutip analisis PricewaterhouseCoopers. Lembaga itu memproyeksikan keberadaan empat negara Asia dalam tujuh negara di dunia yang akan mendominasi ekonomi dunia tahun 2050. Empat negara Asia itu adalah China, India, Indonesia, dan Jepang.
Kebangkitan Asia, atau yang sering dilihat sebagai kebangkitan China, dinilai memiliki implikasi besar terhadap kawasan dan dunia. Pergeseran kekuatan dunia itu berpotensi meningkatkan ancaman konflik, apalagi ketika kebangkitan kekuatan satu atau beberapa pihak dinilai mengancam kekuatan lain yang ada. Proyeksi menyebutkan ekonomi China akan melampaui AS pada 2035 atau mungkin saja bisa lebih cepat. Aktivitas kapal China di Laut Natuna Utara dan juga kesepakatan AUKUS adalah bagian dari dinamika ”jalinan” rivalitas dua negara adidaya itu.
Indonesia sebagai negara kekuatan menengah, prinsip politik luar negeri bebas aktifnya—dalam pandangan Retno—masih sangat relevan saat ini. Ia mengatakan, tidak benar pendapat yang menilai bahwa politik bebas aktif adalah manifestasi ketakutan memilih posisi yang tegas. Dalam politik luar negeri, kita dapat dapat mengatakan ”ya” ataupun ”tidak” dalam merespons isu atau satu kejadian.
”Dalam dinamika politik luar negeri, aneka tekanan yang bergantian adalah hal yang normal,” kata Retno. ”Di satu titik, saat saya harus bilang tidak, maka hal itu bukan tentang melawan Anda atau negara Anda, tetapi ini tentang prinsip saya atau negara saya.”
Di Asia Tenggara, kawasan tempat Indonesia dan menjadi ajang ”pertunjukan” rivalitas AS-China, politik bebas aktif harus mampu memperkuat sentralitas ASEAN. Tantangan mempertahankan sentralitas, lokomotif perdamaian, dan kesejahteraan ASEAN menjadi lebih besar saat ini dan berikutnya. ASEAN harus menjadi organisasi yang relevan bagi warganya ataupun warga dunia.
Retno menyatakan, RI berkomitmen tinggi memperkuat ASEAN. Salah satu bentuknya adalah dukungan RI terhadap pandangan ASEAN tentang Indo-Pasifik sebagai kawasan damai dan sejahtera. Konsep itu merupakan konsep ASEAN yang terbuka untuk kerja sama dengan semua mitra ASEAN.
Melalui politik luar negeri bebas dan aktif, RI berupaya mencari teman sebanyak-banyaknya. Prinsip bebas aktif juga mengandung prinsip-prinsip yang harus dihormati semua negara. Namun, di atas semua itu, kepentingan nasional berada di atas segala-galanya.