Rivalitas AS-China memberikan tantangan bagi diplomasi RI di kawasan dan global. Indonesia perlu strategi konkret agar tidak terseret dalam persaingan tersebut.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dinamika geopolitik global, khususnya meningkatnya rivalitas Amerika Serikat dan China, memerlukan komitmen politik lebih besar dari Pemerintah Indonesia. Tujuannya agar implementasi politik luar negeri bebas aktif lebih kuat. Diharapkan, makna bebas aktif bisa mewujud dalam bentuk respons yang lebih konkret.
Hal tersebut mengemuka dalam acara Dialog Nasional Arah Kebijakan Luar Negeri Indonesia yang digelar Centre for Strategic and International Studies (CSIS) secara daring, Selasa (14/9/2021). Dialog digelar dalam rangkaian ulang tahun ke-50 CSIS. Hadir para pembicara, yakni dua mantan menteri luar negeri, Hassan Wirajuda dan Marty Natalegawa; profesor riset Pusat Penelitian Politik LIPI Dewi Fortuna Anwar; serta peneliti senior CSIS, Rizal Sukma. Menlu Retno LP Marsudi menyampaikan paparan lewat rekaman video.
Hassan mengatakan, masyarakat Indonesia menghargai konsistensi prinsip politik luar negeri bebas aktif yang mulai diterapkan sejak zaman pasca-kemerdekaan tahun 1945 hingga kini di tengah dinamika perubahan dalam negeri ataupun global. Wujudnya, antara lain, Konferensi Tingkat Tinggi Asia Afrika di Bandung tahun 1955. Di zaman reformasi, politik luar negeri bebas aktif memiliki dasar hukum Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri.
Namun, dalam penilaian Hassan, masih ada kelemahan pada ujung tombak diplomasi RI di tataran regional dan global. Ini tidak menguntungkan Indonesia dalam menghadapi permasalahan global. ”Kelemahan bukan pada prinsip, melainkan pada jabaran-jabarannya. Kata ’bebas’ sudah teruji, yakni bebas menentukan sikap dengan semata mengacu pada kepentingan nasional kita. Kita harus lebih aktif menyumbang konsep dan ide dalam diplomasi,” kata Hassan.
Rivalitas AS-China yang makin meruncing menjadi tantangan terbesar yang harus dihadapi negara-negara di dunia, termasuk negara dengan kekuatan menengah, seperti RI.
Menurut Hassan, pandemi Covid-19 memang menghambat semua kegiatan dalam hubungan antarbangsa. Terlebih di tengah makin meruncingnya rivalitas AS-China, tantangan yang dihadapi negara-negara di dunia, termasuk negara dengan kekuatan menengah, seperti Indonesia, semakin besar.
Menlu Retno, dalam paparannya, juga mengungkapkan tentang memuncaknya rivalitas AS-China. Produk domestik bruto China disebutkan akan melampaui AS pada 2035 atau lebih cepat, sebagaimana diproyeksikan sejumlah pihak. Mengutip hasil penelitian Pew Research, sentimen anti-China menguat di AS. Di sisi lain, China kerap menuding AS tidak ingin ada kekuatan baru yang muncul di tataran global.
Sebagai bagian dari proses untuk penyeimbangan dinamika geopolitik, anggaran pertahanan kedua negara juga terus ditingkatkan. Kenaikan anggaran pertahanan terus dilakukan sehingga total anggaran kedua negara menyumbang sekitar dua pertiga dari keseluruhan anggaran pertahanan global.
Marty menyebut perlunya menggarisbawahi makna kata ”aktif” dalam politik luar negeri bebas aktif. Kata itu tidak netral dan sifatnya tidak untuk memilih. KTT Asia Afrika, misalnya, adalah wujud dari kata aktif melalui keberanian para bapak bangsa untuk tampil dengan gagasan-gagasan besar. Di tengah persaingan geopolitik AS-China, menurut Marty, Pemerintah RI harus mewujudkan kata aktif itu dalam bentuk respons secara konkret. Inilah yang dia nilai masih sulit ditemukan dalam kebijakan-kebijakan luar negeri RI.
”ASEAN Outlook on Indo-Pacific kerap dibaca sebagai respons atas hal itu. Saya lihat semangat ambisius di bagian pembuka, tetapi di bagian kedua lebih banyak dimasukkan gagasn proyek masing-masing negara. Itu belum menjawab persoalan persaingan AS-China,” katanya.
Dewi Fortuna menyebutkan, hal yang patut dikritisi dalam penerapan politik luar negeri RI adalah kesenjangan antara ide dan kemampuan implementasinya. Akibatnya, pelaksanaan politik bebas aktif tidak konsisten. ”Pada masa pemerintahan sebelumnya disebutkan kala itu, bagus di ide, tetapi mana hasilnya. Di masa pemerintahan saat ini, lebih terlihat ekonomi sebagai bagian dari tantangan diplomasi. Maka, yang terlihat adalah politik luar negeri kita yang sifatnya transaksional,” katanya.
Dia menegaskan agar aneka pekerjaan rumah seperti itu harus segera diselesaikan Pemerintah Indonesia supaya manfaat politik luar negeri bebas aktif lebih memadai.
Hal senada dikatakan Hassan. Dia mendorong agar formulasi kebijakan luar negeri tidak semata dari pemerintah, tetapi juga pemangku kepentingan dalam negeri. Staf khusus bidang hubungan luar negeri atau ahli kebijakan luar negeri bisa membantu mekanisme tersebut. Ini memang membutuhkan akuntabilitas lebih besar, upaya pembenahan diri, serta reformasi manajemen dan budaya kerja dari pengampu kebijakan di Indonesia.
Rizal menyatakan, posisi, respons, dan cara Indonesia mengatur diri dalam rivalitas AS-China sangat krusial. Ini tergambar setidaknya di sektor kemaritiman. Indonesia didesak memastikan ketaatan atas aturan hukum internasional melalui Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS). Indonesia juga didorong ikut mengangkat nilai dan arti penting ASEAN yang dinilainya merosot. Relevansi ASEAN bisa dipertanyakan secara global, misalnya, jika persoalan perang saudara di Myanmar tidak bisa segera diselesaikan.
Hal itu tidak dapat diselesaikan hanya dengan sekadar melontarkan harapan-harapan. ”Kita harus secara aktif menciptakan jaminan bagi strategi ekonomi kita dan mencegah kita ditarik ke rivalitas itu,” katanya.