Teori Konspirasi Itu Candu dan Destruktif, Dua Kisah Radikalisasi di AS dan Pakistan
Tingkat kepuasan para penganut teori konspirasi atas keyakinan dan tindakan mereka seperti ketergantungan pada obat. Semakin lama, semakin banyak obat yang harus dikonsumsi untuk mendapatkan efeknya.
Kemarahan atas kondisi sekitar, perlakuan tidak adil, dan perasaan bahwa segala sesuatu hanya dapat diperbaiki melalui tindakan sesegera mungkin sekaligus dengan kekerasan. Hal-hal itu cenderung memotivasi orang-orang yang terseret ke arah ekstremisme, apa pun ideologinya, motif keagamaan atau politik yang mendasari, dan lingkungan geografisnya. Salah satu pemicu utamanya adalah meluasnya teori konspirasi.
Kondisi itu tergambar dalam analisis yang dilakukan The Associated Press (AP) lewat studi kasus radikalisasi di dua benua dengan konteks sosial yang berbeda: Amerika dan Asia.
Studi tersebut dilakukan terhadap seorang pria warga Iowa, AS, yang terlibat aksi penyerbuan terhadap Gedung Capitol bersama para loyalis mantan Presiden Donald Trump. Secara terpisah, studi yang sama juga dilakukan terhadap pria warga Pakistan berusia 20 tahun yang berhasil diselamatkan dari kamp pelatihan Taliban Pakistan di wilayah perbatasan Afghanistan.
”Kesamaan-kesamaan itu akan Anda temukan berulang-ulang, apakah Anda berbicara tentang milisi sayap kanan ekstrem di Oklahoma atau Anda sedang berbicara tentang cabang Taliban di barat laut Pakistan,” kata John Horgan, peneliti yang memimpin Kelompok Penelitian Ekstremisme Kekerasan di Universitas Negeri Georgia, pelaksana studi kasus itu.
Baca juga: Pandemi Covid-19 Tak Menghentikan Aktivitas Terorisme
Pria Iowa yang diteliti bernama Doug Jensen, salah satu terdakwa dalam penyerangan Gedung Capitol di Washington DC, AS, 6 Januari 2021. Satu pria lain yang dijadikan bahan studi adalah Wahab (20). Ia berasal dari keluarga kaya raya di Pakistan, bungsu dari empat bersaudara, kerap gonta-ganti mobil dan gemar bermain video, serta pernah dikirim kuliah ke Jepang. Tahun ini, dia diselamatkan dari kamp pelatihan kelompok militan Taliban.
Dua tempat, dua pria, dua cerita yang sangat berbeda tentang Jensen dan Wahab. Dari latar belakang ideologi, keduanya tidak identik. Juga tak ada satu petunjuk tunggal yang menandai perjalanan mereka menuju radikalisme. Ada perbedaan besar di antara keduanya: satu terkait bentuk ekstremis keagamaan, sementara satu lainnya ekstremis karena keterikatan politik.
Namun, menurut Horgan, jika hanya terpaku mengamati perbedaan, kesamaan-kesamaan dalam proses radikalisasi keduanya terabaikan. Padahal, ada kesamaan-kesamaannya. Tidak hanya soal bagaimana keduanya menyerap ideologi ekstrem, tetapi juga cara keduanya mengungkapkan kegusaran dan mewujudkannya lewat aksi.
Lupakan dulu ideologi-ideologi dalam kasus Jensen dan Wahab, kata Horgan. Lihatlah lebih jauh proses psikologis, jalur, akar, dan pengalaman mereka. ”Semua hal itu memperlihatkan kecenderungan sama daripada berbeda satu sama lain,” kata Horgan.
Penganut teori konspirasi
Kita simak dulu perjalanan radikalisasi yang dialami Jensen di Iowa, AS. Beberapa bulan sebelum didakwa ikut menyerbu Gedung Capitol, Jensen diketahui kerap membagikan di media sosial konten-konten teori konspirasi yang dia konsumsi secara daring. Namun, menurut saudaranya, Jensen sebenarnya tidak melulu mengunggah pesan-pesan berisi teori-teori konspirasi itu.
Baca juga: Toksisitas di Media Sosial
Ia, misalnya, juga mengunggah pula aneka foto keluarga dan liburan-liburannya, seperti yang biasa dilakukan pengguna media sosial pada umumnya. Ia juga seperti kebanyakan warga AS lainnya, hidup penuh dengan impian-impian Amerika.
Wajah Jensen menghiasi berbagai foto dan video kerusuhan di Capitol, 6 Januari 2021. Memakai kaus hitam bertuliskan ”Trust the Plan” dengan huruf Q (simbol QAnon) mencolok dan penutup kepala warna gelap, ia berada di garis terdepan para perusuh memburu Eugene Goodman, petugas kepolisian di Capitol. Salah satu foto paling menonjol dari aksinya adalah saat ia berdiri hanya sejengkal dari petugas kepolisian, merentangkan kedua tangan, dengan mulut terbuka lebar.
Kepada petugas Biro Investigasi Federal AS (FBI), Jensen menyatakan dirinya adalah ”penganut setia” QAnon. QAnon adalah kelompok teori konspirasi yang meluas, yang percaya bahwa Presiden AS Donald Trump sedang melakukan perang rahasia melawan elite yang melakukan kejahatan internasional, paedofil, serta pemuja setan di pemerintahan, bisnis, dan media.
Akun QAnon sering mengunggah informasi tidak jelas. Mereka diduga pendengung Trump menjelang Pemilu 2020 dan sering menyerang lawan politiknya. Sejumlah politisi dan tokoh AS kerap ikut menyebarkan informasi dari akun-akun itu. BBC menulis, gerakan QAnon berawal pada Oktober 2017.
Baca juga: Sering Unggah Kabar Kibul, 150.000 Akun Terkait QAnon Dihapus Twitter
Kepada penyelidik FBI, Jensen juga mengaku pergi ke Washington karena Q dan seruan Trump kepada ”seluruh patriot”. Ia juga mengungkapkan keinginannya agar Wakil Presiden Mike Pence ditangkap. Ia mengaku memilih posisi terdepan dalam aksi amuk massa di Capitol karena ingin agar ”Q"” mendapat kredit atas peristiwa tersebut.
Namun, kepada kakaknya, Jensen menyampaikan, foto-foto terkait aksi di Capitol telah direkayasa. Polisi, kata Jensen, membiarkan dirinya dan rekan-rekannya masuk Capitol melalui pintu depan (jaksa penuntut menyebutkan, ia memanjat tembok dan masuk melalui jendela yang kacanya dipecahkan). Bahkan, lanjut Jensen, sebagian petugas berswafoto dengan massa yang masuk Capitol.
Dalam wawancara, William Routh, kakak Jensen yang tinggal di Clarksville, Arkansas, melukiskan sosok Jensen (42) sebagai pekerja keras dan ayah dari tiga anak. Ia biasa mengajak keluarganya jalan-jalan ke tempat-tempat wisata, seperti Grand Canyon dan Taman Nasional Yellowstone. Ia tak lupa menghadiri acara-acara olahraga anak-anaknya, membiayai anaknya mengenyam pendidikan kuliah, dan mengunggah pesan-pesan yang menyerang di Facebook.
”Saya punya banyak teman yang sering mengobrol dengan saya dan penganut teori konspirasi,” ujar Routh. ”Tetapi, ini benar-benar mengejutkan lebih dari apa pun juga. Saya tak pernah berpikir hal itu akan dilakukan adik saya, Doug. Sebab, ia orang yang sangat baik, pria rumahan pekerja keras, dan menganut nilai-nilai yang baik.”
Baca juga: Facebook Inc Hapus Pendukung Gerakan QAnon
Seperti apa sosok Jensen dan bagaimana ia memandang dunia itu sangat bergantung pada siapa yang berbicara. Kontras dengan keterangan Routh, memo Departemen Kehakiman AS menyebutkan, Jensen ditahan karena ia memiliki rekam jejak kriminal. Jensen, disebutkan dalam memo itu, rela menyetir lebih dari 1.000 mil untuk ”mendengar Presiden Trump menyatakan darurat perang”, dan jika tidak ada pengumuman itu, ia akan melakukannya sendiri.
Kepada petugas FBI, lanjut memo itu, Jensen mengakui pergi ke Washington karena ”Q” (simbol kelompok QAnon). Pengacara Jensen, Christopher Davis, menepis versi Departemen Kehakiman itu. Menurut Davis, Jensen terkena bujuk rayu dan menjadi ”korban dari teori-teori konspirasi”.
Davis, pengacara Jesnen, menyebut perilaku kliennya mengakses konten-konten teori konspirasi seperti orang kecanduan.
Enam bulan setelah kerusuhan di Capitol, Hakim Timothy Kelly membebaskan Jensen dan menetapkannya sebagai tahanan rumah. Kelly merujuk pada video yang menunjukkan bahwa Jensen menyebut Gedung Capitol sebagai Gedung Putih. Sang hakim tidak yakin bagaimana mungkin Jensen berencana menyerang Capitol, sementara ia tidak paham hal mendasar soal posisi dia hari itu.
Kecanduan
Kurang dari dua bulan setelah pembebasannya, Jensen ditahan lagi. Ia ketahuan melanggar syarat pembebasannya, yakni tidak boleh mengakses telepon seluler. Jensen ketahuan menyaksikan simposium yang disponsori CEO MyPillow, Mike Lindell, yang kerap menyebarkan teori-teori kebohongan. Salah satu teori kebohongannya, misalnya, hasil pemilu presiden tahun 2020 telah diubah oleh para peretas China.
Baca juga: Media Sosial Bersih bagi Demokrasi
Dalam inspeksi mendadak (sidak) ke rumah Jensen, petugas menemukan Jensen berada di garasi menyaksikan berita dari Rumble, platform berita yang populer di kalangan kelompok konservatif. Davis, pengacaranya, menyebut perilaku kliennya mengakses konten-konten teori konspirasi seperti orang kecanduan.
”Sudah jelas saat ini, ia tidak berubah dan ia terus mencari teori-teori konspirasi yang memicunya berperilaku berbahaya pada 6 Januari lalu,” kata Hakim Kelly.
Sejak kapan dan bagaimana Jensen mulai mengonsumsi teori-teori konspirasi? Saat diperiksa FBI, menurut salah satu agen, Jensen mengaku bahwa dalam beberapa tahun terakhir, selepas pulang dari bekerja delapan jam sehari, dirinya biasa mengonsumsi informasi dari QAnon. Empat bulan sebelum kerusuhan di Capitol, Jensen dan kakaknya, Routh, berkomunikasi soal QAnon. Jensen mengirimi video dan pesan-pesan berisi teori-teori konspirasi kepada Routh.
Radikalisasi lewat teman
Jauh dari belahan bumi Amerika, di Pakistan, Wahab (20) mempunyai pengalaman lain dalam perjalanan menuju radikalisasi. Ia pada awalnya sebenarnya tidak selalu menghabiskan hari-harinya tenggelam dalam ajaran jihad.
Besar di sebuah keluarga kelas menengah atas Pakistan, ia adalah seorang anak bungsu dari empat bersaudara. Wahab adalah remaja yang menyukai mobil dan video game, memiliki sepeda motor sendiri, bahkan pernah bersekolah di Jepang.
Orangtua Wahab berasal dari keluarga yang mengelola bisnis di sejumlah negara. Kamal, pamannya, adalah salah satu dari lima bersaudara laki-laki yang menjalankan perusahaan ekspor-impor milik keluarga. Setiap dari mereka menyiapkan anak-anak lakinya untuk meneruskan bisnis keluarga masing-masing. Kakak-kakak Wahab sudah menjalankan cabang bisnis keluarga di luar negeri.
Baca juga: Jejaring JAD di Papua dan Dinamika Radikalisasi Daring
Wahab juga digadang-gadang meneruskan bisnis keluarga. Ia kembali ke Pakistan dari luar negeri dalam usia awal remaja belasan tahun. Menurut pamannya, ia hanya diberi uang sedikit oleh kakak-kakaknya. Selain bersekolah, Wahab tak banyak diberi tanggung jawab.
Pamannya menyebut radikalisasi yang dialami Wabah berasal dari teman-teman tetangganya. Teman-teman Wahab memperkenalkannya kepada puluhan situs yang menceritakan tentang warga Muslim diserang, perempuan diperkosa, dan bayi dibunuh secara brutal. Kekejaman itu mengerikan meskipun tidak diketahui apakah gambar-gambar yang dibagikan itu benar terjadi atau masuk kategori hoaks karena ditambahi teks-teks yang salah.
Akan tetapi, bagi Wahab, gambar-gambar itu sangat mengganggu. ”Ia (Wahab) merasa selama ini dirinya tidak tahu apa-apa peristiwa yang terjadi. Ia merasa hidup dalam kegelapan dan ini saatnya dia harus terlibat. Teman-temannya mendorong dia harus berbuat. Apalagi, kata teman-temannya, dia kaya dan harus membantu orang-orang kami,” tutur Kamal, pamannya.
Menurut Kamal, Wahab tiba-tiba menjadi lebih agresif dan sering terpaku berjam-jam bermain video game yang diwarnai kekerasan.
Muncul dugaan kuat, proses awal radikalisasi Wahab dialami lewat teman-temannya itu.
Tiba-tiba, awal tahun ini, Wahab menghilang. Orangtuanya mencari ke sana kemari. Di keluarganya, Wahab bukan orang pertama yang terseret pada ekstremisme. Sepupunya, Salman, pernah bergabung dengan Taliban Pakistan beberapa tahun sebelumnya. Namun, Salman berbeda dengan Wahab. Salman tak pernah berminat bersekolah, belajar di madrasah untuk memenuhi pendidikan. Keluarganya juga sudah pasrah dengan apa yang akan terjadi pada Salman.
Baca juga: Mustahil Taliban Putuskan Hubungan dengan Al Qaeda
Salman bersumpah, dirinya tidak bertemu dan tidak tahu di mana posisinya, ataukah dia sudah ikut dalam gerakan jihad. Muncul dugaan kuat, proses awal radikalisasi Wahab dialami lewat teman-temannya itu. Wahab terbujuk untuk melawan serangan, yang diyakini Wahab dan teman-temannya, dialami warga Muslim hanya karena soal agama.
Setelah keluarganya mengerahkan semua pengaruh dan uang untuk mencari posisinya, Wahab ditemukan berada di sebuah kamp latihan Taliban Pakistan. Saat ditemukan, kata Kamal, Wahab sedang dilatih menggunakan senjata ringan. Kamp tempat Wahab dilatih juga kerap dikenal menjadi arena latihan para pengebom bunuh diri.
Baca juga: Ribuan Anggota Taliban Pakistan Bersembunyi di Afghanistan
Kelompok Taliban Pakistan tercatat pernah melancarkan serangan mengerikan. Tahun 2014, mereka menyerang sekolah, menewaskan lebih dari 150 orang, sebagian besar adalah anak-anak. Sebagian dari anak-anak itu baru berusia 5 tahun.
Ayah Wahab marah besar saat mengetahui anaknya ikut kamp pelatihan Taliban. ”Dia (ayah Wahab) berkata, ’Biarkan saja dia di sana. Saya tak mengakui lagi dia sebagai anak’,” tutur Kamal.
Namun, Kamal tetap menjemput Wahab dari kamp pelatihan. Ia tidak menanyai Wahab soal kamp pelatihan atau mengapa ia pergi ke sana. ”Saya tak mau menyinggung soal itu sama sekali. Saya tak ingin tahu mengapa ia pergi ke sana karena saya tahu, pertanyaan itu bisa membuat dia bersemangat dan berpikir akan kembali ke sana,” kata Kamal.
Kini, Wahab telah kembali ke keluarganya. Khawatir kejadian Wahab terulang, keluarganya mengawasi secara ketat dan mulai membatasi anggota kerabat lebih muda.
Seperti obat
Dari studi dua kasus itu, menurut Ziv Cohen, psikiater forensik dan pakar keyakinan ekstremis di Weill Cornell Medical College of Cornell University, terlihat bahwa ketika teori konspirasi ekstremis diperkuat, tingkat kecemasan mereka meningkat. Tingkat kepuasan atau kenyamanan atas tindakan-tindakan orang, seperti Jensen dan Wahab itu, menurut Cohen, layaknya seperti ketergantungan obat.
Obat itu harus terus dikonsumsi. Semakin lama, semakin banyak pula volume obat yang harus dikonsumsi untuk mendapatkan efeknya. Ketika hal itu terus berulang, siklus (ketergantungan pada teori konspirasi) pun akan langgeng. ”Orang-orang tampaknya tidak bisa mendapatkan cukup teori konspirasi, tetapi mereka tidak pernah cukup puas atau benar-benar diyakinkan,” kata Cohen.
Baca juga: Infodemik Covid-19 Berkembang hingga Teori Konspirasi
Para peneliti menyatakan, pandangan-pandangan yang mendorong kelompok-kelompok ekstremis mungkin terasa tidak umum, fantastis, dan dianggap keterlaluan bagi masyarakat luas. Namun, kelompok orang-orang yang percaya atas aneka propaganda itu berpikiran lain. Mereka merasa memiliki pengetahuan yang tidak dilihat orang lain.
Hasil studi tersebut juga menunjukkan, orang yang mendukung teori konspirasi cenderung lebih buruk dalam berpikir kritis. Menurut Cohen, mereka cenderung menyederhanakan aneka masalah di dunia yang kompleks. Alih-alih mengaitkan hilangnya lapangan pekerjaan dengan efek globalisasi, misalnya, para penganut teori konspirasi akan melihat masalah itu sebagai hasil konspirasi yang telah direkayasa secara khusus oleh seseorang.
Di situlah kisah Jensen dan Wahab bersinggungan secara tidak langsung. Keduanya mencari sesuatu, tujuan, atau cita-cita tertentu. Keduanya kemudian menemukan suatu jawaban yang memikat, menarik hati, dengan versi realitas yang terdistorsi. Menjadi berbahaya ketika mereka berupaya mencapai apa yang mereka percayai itu, mereka melakukannya dengan cara atau tindakan yang membahayakan atau melukai pihak lain yang dalam skala besar serta melanggar aneka norma dan aturan hukum. (AP)