Mustahil Taliban Putuskan Hubungan dengan Al Qaeda
Sulit membayangkan Taliban tanpa Al Qaeda. Kohesi Taliban sendiri akan terancam jika berani melawan Al Qaeda, mitra terkuat melawan NIIS dan pesaing lainnya.
Hadirnya kembali Taliban di pucuk kepemimpinan Afghanistan masih menjadi perhatian banyak pihak. Sejumlah negara, terutama Eropa dan Amerika Serikat, masih dirundung kecemasan. Mereka kini mewaspadai kemungkinan menguatnya Al Qaeda, jaringan teroris yang menyerang AS pada 11 September 2001, dan kelompok-kelompok teror lainnya yang menjadikan negara di Asia Selatan tersebut sebagai basis mereka.
Dalam laporan pada 14 September lalu, New York Times (NYT) menyebutkan, kelompok Al Qaeda berpotensi membangun lagi kekuatannya di Afghanistan dalam satu sampai dua tahun ke depan. Beberapa anggota kelompok teroris ini bahkan sudah kembali ke Afghanistan. Sejumlah media juga menambahkan, kelompok teroris lain juga sudah ada di negara itu.
Laporan NYT itu mengutip keterangan Letnan Jenderal Scott D Berrier, Direktur Badan Intelijen di Kemenhan AS, saat berbicara kepada anggota parlemen di Washington DC setelah Taliban menduduki Kabul pada 15 Agustus lalu. Dalam pertemuan tingkat tinggi keamanan nasional AS, Berrier mengatakan, Al Qaeda dapat memiliki kapasitas untuk mengancam AS pada 2023.
Intelijen AS pernah memperingatkan hal itu di awal 2021. Peringatan berdasarkan bukti-bukti lapangan. Dalam tulisan berjudul ”Taliban Tetap Bersekongkol dengan Al Qaeda”, Kompas.id pada 12 Agustus lalu—merujuk laporan sejumlah kantor berita—menyebutkan, Kementerian Pertahanan Afghanistan mengatakan, selalu ada milisi Al Qaeda di antara milisi Taliban yang tewas dalam penyerbuan pasukan dan milisi pendukung pemerintah.
Sebagian milisi Al Qeda dan kelompok teror lain diketahui sebagai warga asing. Hasil pelacakan menunjukkan, mereka adalah keluarga dari anggota Al Qaeda atau kelompok teror lain yang diburu di sejumlah negara lalu lari ke Afghanistan. Saat itu, setidaknya ada 20 kelompok teror, termasuk Al Qaeda, mengerahkan hingga 10.000 milisi untuk membantu Taliban merebut sejumlah wilayah di Afghanistan.
Baca juga: Taliban Tetap Bersekongkol dengan Al Qaeda
Meskipun memiliki banyak pasukan, Taliban diduga tidak cukup memiliki kapasitas untuk mengendalikan perbatasan Afghanistan. Fakta ini memungkinkan anggota Al Qaeda dan jaringan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) untuk mengonsolidasi posisi dan kekuatan masing-masing. Kembalinya Taliban sebagai penguasa baru Afghanistan merupakan momentum emas bagi kelompok-kelompok teror itu.
NIIS, yang berseberangan dengan Taliban dan Al Qaeda, diduga menjadikan Aghanistan basis baru perjuangan setelah melemah di Irak dan Suriah. Salah satu kelompok teror di luar Al Qaeda yang eksis di Afghanistan adalah NIIS cabang Khorasan (NIIS-K). Mereka beberapa kali mengklaim melakukan serangan bom, di antaranya terjadi di Kabul pada 26 Agustus dan di Jalalabad pada 15 September.
Dengan banyaknya catatan buruk itu, tak hanya Uni Eropa, Amerika Serikat, dan Barat saja yang layak cemas. Dunia pun layak khawatir. Menteri Pertahanan Inggris Ben Wallace mengatakan, berdasarkan beberapa asumsi Afghanistan bisa menjadi basis (lagi) bagi Al Qaeda. Oleh karena itu, dia mengancam, jika Taliban memberi tempat bagi Al Qaeda, Inggris dan sekutu akan kembali ke Afghanistan.
China, Pakistan, dan beberapa negara Asia Tengah yang berbatasan dengan Afghanistan juga khawatir pada kemungkinan masuknya kelompok teror dari Afghanistan. Bahkan, India yang tidak berbatasan dengan Afghanistan tetap merisaukan kemungkinan rongrongan kelompok teror di Afghanistan yang masuk ke India melalui Pakistan. Sebelumnya, mereka merembes melalui perbatasan Pakistan-Afghanistan.
Keraguan
Banyak pakar dan pembuat kebijakan yakin, Taliban akan menghindari beberapa kesalahan masa lalu mereka. Rasanya mustahil Taliban mau kehilangan lagi kekuasaan yang mereka raih gara-gara melindungi Al Qaeda.
Sebagaimana diketahui, Taliban terjungkal dari kursi kepemimpinan Afghanistan pada tahun 2001. Mereka ’ditumbangkan’ koalisi pimpinan AS yang menuduh Taliban menyembunyikan Osama bin Laden, dalang serangan 11 September 2001.
Operasi militer yang dimotori AS itu memicu konflik berkepanjangan di Afghanistan. Setelah 20 tahun bercokol di Afghanistan, dan menilai bahwa operasi untuk melumpuhkan Osama dan Al Qaeda terpenuhi, AS memutuskan menarik diri. Mundurnya kekuatan asing itu membuka pintu lebih lebar bagi Taliban untuk kembali mengambil alih pemerintahan dari tangan Presiden Ashraf Ghani yang gagal mempertahankan Kabul.
Bagi para pengamat, Taliban tentu tidak akan mau kehilangan lagi kekuasaan yang mereka raih. Selain itu, untuk menyakinkan komunitas internasional, Taliban juga telah mengeluarkan pernyataan resmi bahwa tidak ada lagi anggota Al Qaeda atau NIIS-K di Afghanistan.
Meskipun NIIS-K mengklaim bertanggung jawab atas serangan di Kabul dan Jalalabad, Taliban mengatakan tidak melihat ada kelompok atau individu tertentu yang terkait Al Qaeda dalam serangan tersebut. Taliban juga tidak menjelaskan siapa yang menjadi pelaku serangan itu. Tampaknya Taliban mencoba menyampaikan, Afghanistan takkan ada serangan oleh gerakan teror dari Afghanistan terhadap negara ketiga.
”Kami tidak melihat siapa pun di Afghanistan yang ada hubungannya dengan Al Qaeda,” kata juru bicara Taliban, Zabihullah Mujahid, dalam konferensi pers di Kabul, seperti dilaporkan Reuters, Selasa (21/9/2021). ”Kami berkomitmen pada fakta bahwa Afghanistan takkan mendatangkan bahaya bagi negara mana pun.”
Baca juga: Masa Depan Hubungan Taliban dengan Al Qaeda
Pernyataan Taliban itu sebenarnya juga sudah disampaikan dalam pakta damai antara Washington dan Taliban pada 29 Februari 2020 di Doha, Qatar. Taliban menjanjikan takkan membiarkan Afghanistan menjadi basis kelompok teror untuk menyerang AS dan sekutunya. AS lalu mengimbanginya dengan penarikan penuh pasukannya dan pasukan sekutu akhir Agustus 2021.
Akan tetapi, sejumlah pihak belum bisa meyakini penuh posisi baru Taliban itu. Alasannya, antara Al Qaeda dan Taliban telah terjalin relasi atau persekutuan erat. Taliban diduga akan tetap menjadi pelindung Al Qaeda. Apalagi, hingga saat ini Taliban belum pernah mengeluarkan pengumuman resmi bahwa mereka telah memutuskan ikatan dengan Al Qaeda. Kondisi itulah yang membuat sejumlah analis meragukan janji atau komitmen Taliban.
Baca juga: Era Taliban dan Ancaman Terorisme
Hubungan Taliban dan Al Qaeda memiliki sejarah yang panjang, kompleks, dan dinamis. Taliban tak pernah memutuskan hubungan dengan Al Qaeda meski ada tekanan signifikan untuk melakukannya. Hubungan keduanya terjalin dalam relasi saling menguntungkan.
Sekutu dekat yang solid
Merujuk sejarah sebelum mereka ditumbangkan oleh AS, sebenarnya Washington telah menekan Taliban untuk mengekstradisi pemimpin Al Qaeda, Osama bin Laden, terutama setelah serangan teror Al Qaeda di Kedutaan AS di Kenya dan Tanzania tahun 1998. Para pemimpin Taliban mengeluarkan janji palsu bahwa mereka telah mengendalikan Al Qaeda dan bahwa tidak akan ada ancaman terhadap AS.
Namun, intelijen AS berulang kali mengeluarkan peringatan sebaliknya. Pesan Washington kepada Taliban dan Pakistan menjadi lebih tajam. ”Jika kami diserang, kami akan meminta Taliban bertanggung jawab langsung atas tindakan Bin Laden,” kata Washington kala itu sebagaimana dikutip Foreign Policy, 21 September 2021.
Dengan alasan demi mempertahankan kekuasaan, sebenarnya masuk akal bagi Taliban untuk menyerahkan Bin Laden, tetapi mereka memilih sebaliknya. Kondisi di lapangan memberi Taliban alasan yang kuat untuk menerima risiko dan tidak menyerahkan Osama. Salah satu faktor pembentuk alasan itu adalah politik lokal yang kompleks membuat kemitraan Taliban-Al Qaeda sulit diputus karena saling menguntungkan.
Al Qaeda, selain mampu merancang serangan ke jantung AS, mereka juga mengoperasikan sejumlah kamp pelatihan di Afghanistan. Kamp-kamp itu menjadi tempat berlatih bagi banyak militan asing yang mengalir masuk ke Afghanistan. Tata kelola kepegawaian dan standardisasi kurikulum adalah prestasi Al Qaeda dalam mengelola kamp-kamp tersebut. Kapasitas birokrasi yang mewujud dalam tata kelola itulah yang turut membantu Taliban membangun organisasi yang kuat.
”Secara keseluruhan, kemampuan birokrasi Al Qaeda adalah bukti profesionalisme, daya tahan, dan nilai kelompok tersebut sebagai sekutu Taliban sebelum invasi AS,” kata Barbara Elias, pakar hukum dan pemerintahan di Bowdoin College, Maine, AS, dalam tulisannya bertajuk ”Taliban Takkan Singkirkan Al Qaeda” di Foreign Policy, 21 September 2021.
Elias adalah penulis buku Why Allies Rebel: Defiant Local Partners in Counterinsurgency Wars. Dia juga adalah mantan direktur proyek Afghanistan, Pakistan, dan Taliban di National Security Archive, Washington DC, AS. Menurut dia, operasi kontraterorisme AS di Afghanistan memang melemahkan Al Qaeda, tetapi kelompok itu tetap bertahan dan berkembang.
Al Qaeda, menurut dia, tidak pernah keluar dari Afghanistan dan terus meningkatkan kemampuan dalam penyerangan. Menurut Elias, pertempuran melawan pasukan AS dan Afghanistan selama 20 tahun terakhir menciptakan ikatan kemitraan yang kuat, yang tidak mudah pecah, dan bersifat sangat lokal, antara elemen Al Qaeda dan Taliban.
Baca juga: Kabinet Taliban Kembali Diisi Tokoh-tokoh Daftar Hitam AS dan PBB
Di sisi lain, Taliban sendiri adalah organisasi atau kelompok yang terdiri dari banyak faksi atau subkelompok yang memiliki peraturan masing-masing. Salah satu yang paling terkenal adalah jaringan Haqqani, faksi yang dikenal karena koneksi terorisnya yang kuat dengan Al Qaeda dan juga sudah lama eksis.
Salah satu orang berpengaruh dari jaringan Haqqani adalah Sirajuddin Haqqani, yang kini menjadi penjabat menteri dalam negeri kabibet interim Taliban. Ayah Sirajuddin Haqqani dan Mullah Yaqoob, pemimpin senior di Taliban modern, memiliki hubungan sejarah masa lalu yang kuat dengan Osama bin Laden.
Saat ini, bagi Taliban, Al Qaeda adalah mitra lama yang bisa diandalkan untuk mengelola tugas-tugas birokrasi yang kompleks saat ini. Al Qaeda, misalnya, masih bisa dipercaya untuk mengorganisasi lagi para pejuang asing dari Timur Tengah, Asia Tengah, dan Asia Selatan yang dilaporkan berbondong-bondong lagi memasuki Afghanistan. Jean-Pierre Filiu, spesialis jihad di Institut Ilmu Politik, Paris, Perancis, mengatakan, Taliban menawarkan dukungan kepada Al Qaeda secara diam-diam.
Filiu mengatakan, dukungan Taliban untuk Al Qaeda tidak akan diberikan secara terbuka dengan merangkulnya seperti pada pemerintahan Taliban jilid I. Hubungan lama yang kuat tetap berlanjut, tetapi akan dilakukan secara senyap.
Melihat relasi dekat yang terpupuk sejak lama itu, Michael Rubin, mantan pejabat Pentagon dan analis di lembaga pemikir American Enterprise Institute, menyakini Taliban tidak pernah tulus memutuskan hubungan dengan Al Qaeda.
”Kita juga seharusnya tidak mengharapkan hal itu terjadi. Bagaimanapun, ini bukan masalah diakhirnya hubungan dua kelompok politik atau militer, melainkan saudara dengan saudara dan sepupu dengan sepupu,” kata Rubin kepada AFP.
Edmund Fitton-Brown, Kepala Misi PBB untuk memantau kelompok teror NIIS, Al Qaeda, dan Taliban, sampai pada kesimpulan yang sama. ”Kami percaya bahwa kepemimpinan puncak Al Qaeda masih di bawah perlindungan Taliban,” katanya kepada jaringan berita NBC, Februari lalu, sebagaimana dilaporkan AFP.
Aymenn Jawad Al-Tamimi, seorang pakar keamanan di Universitas George Washington, meramalkan bahwa hubungan antara Taliban dan Al Qaeda akan berbeda kali ini. ”Hubungan mereka akan lebih terselubung. Tidak akan ada kehadiran yang terbuka,” kata Tamini.
Meskipun nantinya tampilan relasi mereka berbeda, dukungan Al Qaeda bagi Taliban sangat nyata. Rita Katz, pakar Kebijakan Luar Negeri dari SITE Intelligence Group, organisasi kontraterorisme swasta, menulis di Foreign Policy, 13 September 2021, dengan judul ”Kemenangan Taliban adalah Kemenangan Al Qaeda”. Dalam tulisan itu, Katz mengatakan, Al Qaeda telah mendapat kembali momentumnya. Mereka mampu dengan cepat membangun kembali kekuatannya.
Oleh karena itu, tak heran, kemenangan Taliban dianggap sebagai kemenangan bagi kelompok-kelompok jihadis lain dari berbagai belahan dunia. Al Qaeda di Jazirah Arab (AQAP) yang berbasis di Yaman juga merayakan kemenangan Taliban dengan menyalakan kembang api pada 15 Agustus lalu.
Baca juga: Isu Taliban dan Indonesia
Kelompok jihadis di Somalia merayakan dengan membagikan permen. Di internet, kelompok-kelompok jihad di Asia Selatan menyambut penarikan pasukan Barat dari negara itu sebagai kemenangan atas kekuatan militer Barat.
Para pemimpin Taliban pasti menyadari, memaksa Al Qaeda keluar dari Afghanistan bisa mengancam kohesi Taliban sendiri. Mungkin situasinya menjadi lebih buruk jika Taliban menghindari kelompok itu. Al Qaeda dapat meningkatkan keahlian militer, kapasitas kekerasan, kemampuan organisasi, dan jaringan internasionalnya melawan Taliban, atau setidaknya melawan faksi Taliban lain.
Singkatnya, menantang Al Qaeda sangat berisiko bagi Taliban. Apalagi, Taliban membutuhkan mitra untuk meminimalkan ancaman NIIS-K dan kelompok-kelompok saingan lainnya. Taliban harus berkoordinasi dengan mitra lamanya, Al Qaeda, untuk meningkatkan kapasitas militer dan dukungan politik. Taliban membutuhkan sekutu dan Al Qaeda adalah sahabat karibnya.