Selasa (6/10/2020), Facebook dan Instagram menghapus akun di media sosial itu yang terkait kelompok konspirasi QAnon. Juli lalu, Twitter juga melakukannya.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Dokumentasi DPD PDI-P Jawa Barat
PDI-P Jabar mengumpulkan bukti berita hoaks yang menyudutkan PDI-P yang diposting di akun Facebook, Jumat (22/12) di Bandung, Jawa Barat. Salah satu temuan yang diungkapkan adalah foto baliho berisi fitnah yang disebar di media sosial. Belum lama ini Facebook menghapus akun QAnon, sebagai bagian dari upaya mencegah penyebaran hoaks dan fake news.
Langkah jaringan media sosial itu menghapus akun QAnon adalah bagian dari upaya mencegah penyebaran kabar bohong (hoaks) atau berita palsu (fake news) menjelang pemilihan presiden Amerika Serikat, 3 November 2020.
Twitter menghapus sekitar 150.000 akun pendukung QAnon. Agustus lalu, 35 akun Facebook dan 88 akun Instagram, dengan ribuan akun pendukungnya, yang beroperasi dari Romania dan berpotensi merusak demokrasi di AS juga dihapus.
Ketiga jaringan media sosial itu menghindari agar tak dipakai untuk menyesatkan pemilih, seperti pada Pemilu AS tahun 2016. Facebook Inc, induk perusahaan Facebook dan Instagram, menyebutkan, mereka menghapus akun yang terkait QAnon meski tidak bermuatan kekerasan (Kompas.id, 7/10/2020).
Freedom House, akhir 2017, melaporkan, manipulasi daring dan taktik disinformasi, terutama melalui media sosial, memainkan peran penting dalam pemilu di setidaknya 18 negara beberapa tahun terakhir, termasuk AS.
SANDY HUFFAKER/AFP
Dalam foto yang diambil 1 Meii 2020 ini, terlihat demonstran di San Diego, California, Amerika Serikat, yang memprotes kelompok QAnon, penggagas teori konspirasi di AS. Twitter ketika itu mengeluarkan lebih dari 7.000 akun yang terhubung dengan "QAnon", guna membatasi sebaran teori konpirasi.
QAnon adalah kelompok teori konspirasi yang meluas, yang percaya Presiden AS Donald Trump sedang melakukan perang rahasia melawan elite yang melakukan kejahatan internasional, paedofil, serta pemuja setan di pemerintahan, bisnis, dan media.
Akun QAnon sering mengunggah informasi tidak jelas. Mereka diduga pendengung Trump menjelang Pemilu 2020 dan sering menyerang lawan politiknya. Sejumlah politisi dan tokoh AS kerap ikut menyebarkan informasi dari akun-akun itu (Kompas.id, 22/7/2020).
BBC menulis, gerakan QAnon berawal Oktober 2017 saat seorang pengguna anonim meletakkan serangkaian unggahan di papan pesan 4chan. Pengguna menandatangani sebagai ”Q” dan mengklaim memiliki persetujuan dari otoritas keamanan AS, yang dikenal sebagai ”izin Q”. Pesan itu dikenal sebagai ”Q drop” atau breadcrumbs, sering ditulis dalam bahasa samar yang dibumbui dengan slogan, janji, dan tema pro-Trump.
Kompas
Jumlah Daerah Berdasar Tingkat Kerawanan di Aspek Penggunaan Media Sosial
Langkah jaringan media sosial menutup akun yang berpotensi menimbulkan perpecahan dalam masyarakat, khususnya di AS, itu pantas diapresiasi, apa pun latar belakangnya. Juli lalu, sekitar 400 merek memboikot Facebook dengan tak bersedia beriklan di media sosial itu, yang dinilai mendukung rasisme dan ujaran kebencian. Unggahan pendukung QAnon mengarah pada ujaran kebencian, rasisme, kekerasan, bahkan berpotensi menjadi aksi terorisme.
Saat ini jumlah pengguna media sosial di dunia, sesuai data Hootsuite (Juli 2020), tak kurang dari 3,96 miliar, dengan ting- kat penetrasi di masyarakat mencapai 51 persen. Media sosial efektif memengaruhi khalayak, tetapi juga berpotensi memecah belah masyarakat.
Tak hanya di AS, penggunaan media sosial untuk memengaruhi pemilu juga terjadi di banyak negara, termasuk Indonesia. Lebih baik jika jaringan media sosial pun membantu negara lain membuat demokrasi yang lebih sehat, seperti upayanya di AS.