Jejaring JAD di Papua dan Dinamika Radikalisasi Daring
Gangguan keamanan di Papua kini tak hanya datang dari KKB, tetapi juga dari Jamaah Ansharut Daulah yang umumnya simpatisan NIIS. Perkembangan jaringan ini tidak terlepas dari radikalisasi melalui dunia maya.
Penangkapan 12 anggota Jamaah Ansharut Daulah di Merauke, Papua, pada akhir Mei 2021 mengungkap perluasan jaringan terorisme hingga ujung timur Indonesia. Jejaring JAD yang diduga ”tidur” selama tahun 2020 itu rupanya tetap hidup, bahkan menjangkau wilayah yang tidak diduga, dengan memanfaatkan teknologi digital.
Akhir Mei 2021, Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri menangkap 11 teroris di empat distrik atau kecamatan, yaitu Merauke, Jagebob, Kurik, dan Tanah Miring, di Kabupaten Merauke, Papua. Mereka yang bekerja sebagai pengantar barang, tukang las, dan pekerja serabutan itu diketahui memiliki senjata dan cairan peledak. Senjata dan bahan peledak akan digunakan untuk menyerang beberapa gereja dan menargetkan Uskup Merauke Petrus Canisius Mandagi.
Jejaring JAD yang diduga ”tidur” selama tahun 2020 itu rupanya tetap hidup, bahkan menjangkau wilayah yang tidak diduga, dengan memanfaatkan teknologi digital.
Baca juga: Keluarga Mencari Keberadaan Terduga Teroris yang Ditangkap di Balikpapan
Selain di Merauke, Densus 88 menangkap satu orang di Balikpapan, Kalimantan Timur, yang juga bagian dari kelompok ini. Dari 12 anggota itu, ada 2 orang yang telah disiapkan sebagai ”pengantin” bom bunuh diri. Pada 1 Januari dan 30 Mei 2021, mereka diduga akan menyerang rumah Keuskupan Merauke dan Gereja Katedral Merauke. Namun, aksi itu gagal karena Uskup tak muncul di tempat. Jejak mereka pun terlacak.
”Mereka termasuk jaringan Jamaah Ansharut Daulah Papua,” kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal Rusdi Hartono, Kamis (3/6/2021). JAD merupakan kelompok pengusung ideologi takfiri yang menentang demokrasi Pancasila. Anggota kelompok itu umumnya simpatisan atau telah menyatakan baiat kepada Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS).
Baca juga: Memahami Katalisator Kebencian dalam Islamofobia
Meski tergabung dalam jaringan Papua, kelompok itu diisi oleh warga pendatang. Mereka sudah menetap di Merauke selama beberapa tahun terakhir. Diduga, proses radikalisasi terjadi di sana.
Rusdi mengatakan, JAD Papua terkoneksi dengan kelompok kajian Villa Mutiara, Makassar, Sulawesi Selatan. Koneksi yang dimaksud terjadi secara daring dan luring. Mereka saling mengenal, bahkan pernah bertemu untuk melakukan kajian bersama.
Kelompok kajian Villa Mutiara merupakan dalang dari pengeboman oleh pasangan suami-istri di depan pagar Gereja Katedral Makassar, Maret 2021. Kelompok itu juga mempersiapkan anggotanya untuk bergabung dengan kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) pimpinan Ali Kalora di Poso, Sulawesi Tengah.
Kelompok ini sebenarnya dibubarkan Januari 2021. Sebanyak 18 anggotanya ditangkap, sedangkan dua anggota lain tewas dalam kontak senjata dengan aparat saat penggerebekan markas mereka.
Baca juga: 10 Terduga Teroris di Merauke Akan Dipindahkan ke Jayapura
Sekalipun telah dibubarkan, hubungan antaranggota tetap berlangsung. Selain terhubung dengan JAD Papua, mereka berhubungan dengan anggota JAD di Balikpapan. Menurut Rusdi, mereka tergabung dalam satu grup di aplikasi percakapan daring sehingga selalu berkomunikasi.
Jejaring terorisme selalu mengadopsi hal-hal yang sudah diterima masyarakat umum untuk digunakan secara spesifik dalam konteks mereka. Tidak terkecuali perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. (Noor Huda Ismail)
Digitalisasi
Noor Huda Ismail, peneliti terorisme yang juga Visiting Fellow S Rajaratnam School of International Studies, Nanyang Technological University, Singapura, saat dihubungi dari Jakarta, Jumat (11/6), mengatakan, jejaring terorisme selalu mengadopsi hal-hal yang sudah diterima masyarakat umum untuk digunakan secara spesifik dalam konteks mereka. Tidak terkecuali perkembangan teknologi informasi dan komunikasi.
Ia melanjutkan, sebagian besar proses radikalisasi saat ini dilakukan secara daring, memanfaatkan media sosial. Interaksi daring itu kemudian dibawa dalam pertemuan langsung, lalu disebarkan kembali ke dunia maya. Saat pandemi Covid-19, cara tersebut mendapatkan keuntungan karena aktivitas masyarakat umumnya berlangsung di ruang maya.
Baca juga: Terduga Teroris yang Ditangkap di Merauke Bertambah
Arif Budi Setyawan, eks narapidana terorisme, dalam bukunya Internetistan: Jihad Zaman Now, menjelaskan, pemanfaatan internet untuk propaganda jihad di Indonesia pertama kali dilakukan Imam Samudra pada 2002. Terpidana mati kasus Bom Bali 12 Oktober 2002 itu menggunakan situs web untuk memaparkan sikap dan alasan di balik serangan bom yang ia rancang.
Setelah itu muncul beberapa situs lain yang memuat berbagai artikel. Tak hanya soal dasar ideologi jihad. Situs-situs itu juga memuat materi pengenalan senjata, bahan peledak, bahkan tutorial skenario serangan teror.
Memasuki tahun 2003, perkembangan jaringan terorisme dilakukan melalui forum berbasis surat elektronik (mailing list). Simpatisan jejaring teror juga berkomunikasi lewat aplikasi percakapan mIRC.
Pada periode 2008-2011, propaganda jihad dilakukan melalui berbagai forum percakapan di internet. Forum ini memuat aneka informasi perkembangan terorisme, baik di dalam maupun luar negeri. Pada masa ini pula disebarkan tulisan-tulisan provokatif untuk menggentarkan negara sekaligus memikat para simpatisan.
Baca juga: Antisipasi Masuknya Teroris, Pemkab Merauke Tingkatkan Operasi Yustisi
Adapun penggunaan media sosial untuk menyebarkan propaganda terorisme setidaknya mulai dilakukan pada 2013. Ketika konflik Suriah semakin meluas, simpatisan dari beberapa negara, termasuk Indonesia, berdatangan ke sana. ”Mereka lalu mengunggah foto suasana pertempuran, foto keren mereka, dan foto hasil rampasan perang yang mereka peroleh di akun media sosial masing-masing. Kemudian juga mengirimnya melalui layanan messenger kepada teman- teman di negeri asal. Bukan lagi merilis atau melaporkan lewat forum,” kata Arif.
Sejak saat itu pula, jenis media sosial semakin banyak seiring dengan perkembangan teknologi. Jejaring teror memanfaatkan hampir semua jenis yang umum digunakan. Bukan hanya untuk menyebarkan propaganda, melainkan juga sebagai wadah radikalisasi, perekrutan, dan penggalangan dana.
Untuk menjadi bagian dari terorisme, seseorang hanya perlu terhubung dengan jejaring tertentu melalui media sosial, mendapatkan informasi yang mendukung, kemudian melakukan amaliyah secara individu atau dalam kelompok kecil yang berdiri sendiri. Radikalisasi dan perekrutan pun menjadi lebih instan.
Pergeseran
Menurut Huda, kecenderungan radikalisasi secara daring menggunakan media sosial sejalan dengan pergeseran pola aksi terorisme. Dari aksi kolektif (collective action) menjadi aksi terhubung (connective action). Artinya, seseorang tidak perlu bergabung dalam sebuah kolektif yang ideologis, menerapkan proses seleksi ketat, dan memiliki perencanaan yang panjang untuk melakukan aksi teror.
Untuk menjadi bagian dari terorisme, seseorang hanya perlu terhubung dengan jejaring tertentu melalui media sosial, mendapatkan informasi yang mendukung, lalu melakukan teror secara individu atau dalam kelompok kecil yang berdiri sendiri. Radikalisasi dan perekrutan jadi lebih instan.
Praktik aksi terhubung di Indonesia setidaknya dilakukan sejak JAD berdiri pada 2014. Pembentukan JAD tidak terlepas dari berdirinya NIIS di Timur Tengah pada tahun yang sama. Dalam deklarasinya, pemimpin NIIS memerintahkan para pengikut yang terhalang untuk berhijrah ke Suriah agar melakukan serangan teror di negerinya sesuai kemampuan masing-masing.
Baca juga: Upaya Deradikalisasi Bisa Dimulai dari Universitas
Fleksibilitas aksi teror dan kemudahan penyebaran ide radikal melalui media sosial memengaruhi penyebaran simpatisan JAD di mana-mana. Tidak terkecuali di Papua.
Huda membenarkan, keberadaan JAD di Papua merupakan upaya untuk memperburuk konflik yang sudah terjadi di sana. Mereka memanfaatkan kesempatan untuk beraksi sekaligus membangun jaringan di sebuah wilayah. Hal ini pernah dilakukan di Poso, Sulawesi Tengah.
Di Papua, keberadaan JAD terkuak sejak 2019. Saat itu, polisi menangkap delapan pelarian yang terkait dengan JAD Lampung. Setelah itu, mereka tak lagi muncul hingga terungkap pada 2021.
Menurut Huda, untuk mencegah radikalisasi secara daring, diperlukan peningkatan literasi digital. Masyarakat perlu memahami bahwa kenyataan yang ada di dunia maya bukan realitas nyata. Literasi beragama juga perlu ditingkatkan. Sebab, kelompok teroris menyebarkan narasi Pemerintah Indonesia sebagai pemerintahan sekuler yang harus diperangi.
Baca juga: Polisi di Palembang Ditusuk Orang yang Mengaku Teroris
Kembangkan dialog
Dihubungi Jumat (11/6), Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Boy Rafli Amar mengatakan sedang berada di Timika, Kabupaten Mimika, Papua. Pihaknya tengah menggelar dialog kebangsaan bersama tokoh adat, masyarakat, agama, dan pemerintah setempat. Ini termasuk upaya kontraradikalisme di masyarakat.
Boy menambahkan, ada dua jenis radikalisme yang berkembang di Papua, yaitu terkait jaringan simpatisan NIIS dan kelompok kriminal bersenjata (KKB). Keduanya harus ditangani dengan penguatan nilai kebangsaan. Masyarakat secara kolektif juga harus terus mawas diri.
”Kami ingin mengajak semua komponen masyarakat untuk cinta damai dan sepakat untuk mewujudkannya bersama-sama di Papua. Kedamaian itu kebutuhan bersama. Dengan upaya tersebut, pembangunan nasional akan semakin efektif dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat sehingga ideologi terorisme yang mengusung kekerasan tidak akan mendapatkan tempat di masyarakat,” tutur Boy.