Upaya Deradikalisasi Bisa Dimulai dari Universitas
Kampus atau universitas merupakan salah satu tempat rawan paparan paham radikal. Sebab, di kampus, proses ideologisasi atau diskusi tentang berbagai isu bisa berkembang dengan baik. Upaya pencegahan penting dilakukan.
Oleh
DAHLIA IRAWATI
·4 menit baca
MALANG, KOMPAS — Malang Raya memiliki rekam jejak panjang terkait isu radikalisme. Jika bukan menjadi tempat mematangkan rencana teror, bisa jadi warga Malang justru menjadi bagian dari pelaku teror tersebut. Itu sebabnya, pemerintah daerah Malang Raya menggenjot upaya deradikalisasi dari berbagai jalur.
Wali Kota Malang Sutiaji, Rabu (26/5/2021), menyatakan bahwa Pemkot Malang serius menjalankan upaya-upaya deradikalisasi. Selain menguatkan komunikasi lintas agama dalam forum kerukunan antarumat beragama, Pemkot Malang juga menggandeng forum rektor, dewan masjid Indonesia, serta lembaga kemasyarakatan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah untuk sama-sama memberikan penguatan pemahaman antiradikalisme.
”Sebagaimana diketahui, Kota Malang cukup sering terkait dengan kasus-kasus radikalisme dan teror. Beberapa orangnya datang dari Malang. Itu sebabnya, kami menggandeng banyak pihak untuk sama-sama mencegah hal ini terus terjadi, dengan sosialisasi melalui berbagai institusi, mulai dari pendidikan, lembaga keagamaan, hingga ke masyarakat langsung,” kata Sutiaji.
Kampus atau universitas, menurut Sutiaji, merupakan salah satu tempat rawan paparan paham radikal. Sebab, di kampus, proses ideologisasi atau diskusi tentang berbagai isu bisa berkembang dengan baik. ”Di sanalah peran kampus harus masuk untuk mengawal agar diskusi itu benar dan tidak menyimpang. Di sinilah peran rektor dan semua sivitas akademika kampus untuk terus menjaganya,” kata politisi Partai Demokrat itu.
Saya sudah meminta Dinas Pendidikan mencegah hal ini dengan membangun komunikasi dan terus menyosialisasikan antiradikalisme hingga sekolah-sekolah. Institusi pendidikan harus jadi bagian penting dalam upaya deradikalisasi. (Sutiaji)
Saat ini, justru yang menurut Sutiaji harus diwaspadai adalah sekolah-sekolah seperti SMA/SMK dan SMP. Upaya ideologisasi paham-paham menyimpang sudah mulai dibangun sejak awal sekolah. ”Itu sebabnya, saya sudah meminta Dinas Pendidikan mencegah hal ini dengan membangun komunikasi dan terus menyosialisasikan antiradikalisme hingga sekolah-sekolah. Institusi pendidikan harus jadi bagian penting dalam upaya deradikalisasi,” katanya.
Sutiaji berharap, hubungan masyarakat di Kota Malang juga semakin terbina dengan baik. Peran RT/RW didorong menjadi kuat sebagai deteksi dini masuknya paham radikal ke lingkungan tinggal. ”Bisa melalui kumpulan di perumahan, kampung, dan tentu saja melalui lembaga-lembaga keagamaan. Intinya adalah deteksi dini. Jika ada pemahaman yang tidak benar, bisa langsung dideteksi dan diusahakan untuk bisa kembali kepada kebenaran,” ujarnya.
Pengamat isu-isu ekstremisme dari Universitas Brawijaya, Yusli Effendi, mengatakan, deteksi dini kewaspadaan masyarakat terhadap kelompok-kelompok radikal bisa dilakukan dengan cara sederhana dan tidak vulgar. ”Pendekatan terhadap masyarakat dengan mengampanyekan narasi positif dan menghargai keberagaman akan lebih efektif. Dan yang terpenting, kampanye berbasis nilai-nilai kultural, misalnya Jawa, juga harus dihidupkan,” katanya.
Kampanye penguatan nilai-nilai sosial masyarakat berbasis kultur itulah yang menurut Yusli saat ini hilang di masyarakat kita. ”Misalnya tradisi pager mangkok. Pager mangkok itu datang dari nilai-nilai Jawa bahwa daripada kita membangun pagar baja, lebih baik kita bangun pagar mangkok. Arti tradisi itu adalah kita menjalin kedekatan dengan tetangga dengan cara mengirim hantaran makanan. Ini akan menjadikan kita mengenal tetangga kita dengan baik sehingga saat ada anomali akan terasa,” ujarnya.
Menguatkan hubungan sosial antartetangga tersebut, menurut Yusli, akan lebih efektif menjadi upaya deteksi dini. Sebab, dengan terjalinnya keakraban, perubahan terkecil pada orang di sekitar akan terasa.
Sebagaimana diketahui, Malang Raya selama ini hampir selalu tersangkut dengan berbagai penangkapan terduga teroris di Tanah Air. Hampir setiap tahun, ada warga Malang Raya ditangkap diduga terkait terorisme, baik kegiatan teror di dalam negeri maupun di luar negeri (NIIS).
Jejak teror lawas terkait Kota Malang sudah ada sejak pengeboman Candi Borobudur pada tahun 1985, yang dilakukan Alhabsyi cs. Alhabsyi adalah warga Kota Malang. Mereka mengebom Candi Borobudur atas kekecewaan terhadap aparat pada peristiwa Tanjung Priok 1984.
Berikutnya, yang paling terkenal adalah kasus penggerebekan gembong teroris Dr Azahari cs di Kota Batu pada November 2005. Di Kota Wisata tersebut, Azahari cs berhasil ditembak mati, tetapi Noordin M Top berhasil melarikan diri sebelum kemudian tewas tertembak di Solo pada 2009. Sebelum terungkap, kelompok tersebut sempat mengadakan rapat-rapat di sejumlah titik di Kota Malang.
Kasus cukup baru adalah pada Februari 2016, lima terduga teroris ditangkap Detasemen Khusus 88 di Desa Ngijo, Kecamatan Karangploso, Kabupaten Malang. Mereka diduga terkait teror bom Thamrin, Januari 2016. Mereka adalah Achmad Ridho Widjaya dan Rudi Hadianto, warga Griya Permata Alam; Muhammad Romli, warga Kecamatan Dau; Abugar alias Badrodin, warga Cilacap yang menempati rumah di Perum Green Hills Karangploso; Handoko, warga RT 007 RW 006 Poncokusumo; serta Aidin Suryana (AS) alias Aji alias Abu Zulan (30).
AS dikenal sebagai penyokong dana kelompok teroris tersebut. AS mendapatkan uang dari hasil mencuri kendaraan bermotor. AS ditangkap sebelum lima teroris lain tertangkap. AS awalnya ditangkap hanya sebagai pelaku pencurian kendaraan bermotor. Meski tertangkapnya di Kabupaten Malang, mereka beberapa kali mengadakan pertemuan di masjid di sekitar kampus di Kota Malang.