Masa Depan Sudan Pascakudeta Militer
Proses reformasi ekonomi yang dilakukan pemerintah PM Hamdok selama dua tahun terakhir ini akan segera ambruk dan sia-sia bila tidak segera ada kesepakatan baru yang bisa diterima semua pihak yang bertikai di Sudan.
Negeri Sudan dengan penduduk hampir 45 juta jiwa dan pendapatan per kapita hanya sekitar 808 dollar AS, tentu menghadapi tantangan sangat berat pascakudeta militer di negara itu pada hari Senin lalu (15/10/2021). Sudan merupakan salah satu dari deretan negara paling miskin di Afrika.
Pihak militer yang melancarkan aksi kudeta sudah pasti menghadapi posisi sulit, di tengah negara sedang berjuang untuk keluar dari situasi keterpurukan ekonomi saat ini.
Aksi kudeta militer tersebut telah membawa perpecahan, antara pihak yang pro dan kontra terhadap kudeta, di dalam negeri Sudan. Bahkan, gerakan kontra kudeta di Sudan tampak lebih besar dan dipimpin kelas menengah kota yang diwakili oleh asosiasi pekerja profesional Sudan (SPA).
Baca Juga: Transisi Demokrasi Sudan di Ujung Tanduk
Asosiasi dokter, pilot dan guru/dosen menyerukan pembangkangan sipil di Sudan. Ada 12 duta besar Sudan di luar negeri juga menyatakan menolak tindakan militer yang disebutnya sebagai kudeta.
SPA yang menolak keras aksi kudeta, membuat posisi militer menjadi sangat berat. Ekonomi Sudan pasti lumpuh jika kaum profesional di Sudan mogok kerja.
Menurut laporan berbagai media dari Khartoum, ibu kota Sudan tersebut mengalami kelumpuhan. Toko-toko dan pusat perbelanjaan masih tutup. Berbagai rumah sakit menghentikan pelayanan kesehatan, kecuali untuk pasien darurat.
Banyak jalanan kota Khartoum ditutup atau tidak bisa dilewati karena massa kontra kudeta memasang barikade penghalang di banyak jalanan di ibu kota Sudan itu.
Posisi militer semakin berat menyusul negara-negara Barat mengecam aksi kudeta dan meminta proses transisi demokrasi di Sudan kembali berjalan sesuai jadwal seperti yang termaktub dalam deklarasi konstitusi tahun 2019 dan kesepakatan damai Juba tahun 2020.
Selama ini sebagian besar bantuan ekonomi ke Sudan datang dari negara-negara barat, khususnya Amerika Serikat (AS). AS sudah mengumumkan membekukan bantuan sebanyak 700 juta dollar AS kepada Sudan menyusul aksi kudeta militer itu. Uni Eropa mengancam akan segera membekukan bantuan kepada Sudan.
Baca: Militer Kudeta Lagi, Transisi Demokrasi Sudan Terhenti
Jika AS, Uni Eropa dan bank Dunia membekukan bantuan kepada Sudan, sudah pasti perekonomian Sudan akan lumpuh dan reformasi ekonomi yang sedang berjalan di negara itu akan gagal.
Dengan demikian, Sudan terancam menghadapi isolasi internasional lagi, seperti era rezim Presiden Omar Hassan al-Basir (1989-2019), jika militer Sudan tidak melakukan kebijakan baru yang bisa diterima masyarakat internasional.
Barangkali Sudan masih mendapat bantuan ekonomi dari sejumlah negara Arab kaya yang mendukungnya selama ini, seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA), tapi tidak akan sebesar bantuan yang diperoleh dari negara-negara Barat.
Padahal, Sudan saat ini sangat membutuhkan bantuan ekonomi dari masyarakat internasional untuk pemulihan ekonominya yang sekarat akibat isolasi internasional pada era Presiden Omar Hassan al-Bashir.
Artinya, pemerintahan transisi yang dibentuk bersama sipil dan militer pada Agustus 2019, mewarisi beban berat dari dampak isolasi masyarakat internasional selama 30 tahun Presiden Omar Hassan al-Bashir berkuasa. Rezim Presiden Omar Hassan al-Bashir meninggalkan utang sebanyak 60 miliar dollar AS.
Rezim Presiden al-Bashir juga meninggalkan warisan negeri Sudan masuk dalam daftar negara pendukung teroris. Hal itu akibat Presiden Al-Bashir pernah melindungi Pemimpin Tanzim Al-Qaeda, Osama bin Laden pada awal tahun 1990-an.
Pemerintah transisi Sudan yang memegang kekuasaan setelah ambruknya rezim Presiden Al-Bashir, sudah cukup berhasil melakukan langkah terobosan untuk membebaskan Sudan dari isolasi internasional.
Keberanian pemerintah transisi Sudan melakukan normalisasi hubungan dengan Israel pada Oktober 2020, telah mengantarkan AS mencabut nama Sudan dari daftar negeri pendukung teroris. Setelah nama Sudan dicoret dari daftar negara pendukung teroris itu, bantuan internasional terus mengalir ke Sudan.
Baca juga: Masa Depan Hubungan Israel-Sudan Setelah Kudeta Militer
Bahkan, perundingan Sudan dengan berbagai negara donor terakhir ini cukup mencapai kemajuan, dalam bentuk janji penghapusan utang 14 miliar dollar AS dari 60 miliar AS utang luar negeri Sudan.
Akan tetapi, pascaaksi kudeta militer di Sudan pada hari Senin lalu (25/10), jarum jam, seperti bergerak ke belakang lagi di Sudan. Masa depan bantuan internasional kepada Sudan menjadi tidak menentu. Junta militer di Sudan sampai saat ini menghadapi perlawanan kuat dari berbagai elemen masyarakat di dalam negeri, khususnya SPA, dan masyarakat internasional.
Junta militer yang dipimpin Letjen Abdul Fattah al-Burhan, masih berusaha melakukan manuver untuk berusaha meyakinkan kubu kontra kudeta di dalam negeri dan masyarakat internasional agar bisa menerima dan memahami apa yang dilakukan militer di Sudan.
Salah satu usaha junta militer agar masyarakat internasional bersikap lebih lunak atas aksi kudeta di Sudan, adalah mantan PM Sudan Abdallah Hamdok hari Selasa lalu (26/10) dibebaskan.
Pemimpin junta militer, Abdul Fattah al-Burhan, dalam konferensi pers di Khartoum hari Selasa (26/10) membantah menahan Abdallah Hamdok. Ia menyebut. mantan PM Sudan dan istrinya itu berada di rumahnya dan sekarang sudah pulang ke rumah mereka.
Al-Burhan juga berjanji akan segera membentuk pemerintah teknokrat sipil yang mewakili semua elemen rakyat Sudan. Ia juga menyatakan, akan segera membuka hubungan diplomatik Sudan-Israel.
Baca: Warga Sudan Turun ke Jalan Menentang Kudeta Militer
Tindakan junta militer membebaskan Hamdok dan berjanji membuka hubungan diplomatik Israel-Sudan adalah sebagai jalan kompromi dalam upaya agar negara-negara barat memahami dan menerima apa yang dilakukan militer di Sudan.
Abdallah Hamdok dikenal figur yang diterima negara-negara Barat di Sudan dan bahkan disebut figur andalan Barat di negara itu. Negara-negara Barat tampak sangat marah ketika bergulir berita bahwa Abdallah Hamdok ditahan junta militer.
Menlu AS, Antony Blinken, langsung menghubungi Hamdok lewat telepon segera setelah ia dibebaskan dan kembali ke rumahnya.
Sejauh ini, masih terjadi pertarungan sengit antara junta militer dan kubu kontra kudeta di Sudan, baik di jalanan kota Khartoum dan dikancah internasional. Wajah Sudan pasca-kudeta militer masih belum jelas. Jika situasi Sudan semakin karut-marut akibat pertarungan antara kubu kontrak dan pro kudeta, hal itu merugikan semua pihak karena ekonomi Sudan akan semakin terpuruk.
Proses reformasi ekonomi yang dilakukan pemerintah PM Hamdok selama dua tahun terakhir ini akan segera ambruk dan sia-sia bila tidak segera ada kesepakatan baru yang bisa diterima semua pihak yang bertikai di Sudan saat ini serta masyarakat internasional.
Tidak tertutup kemungkinan junta militer di Sudan akan mengambil langkah kompromi tambahan dalam upaya mengembalikan stabilitas politik, ekonomi dan keamanan.
Ada beberapa skenario yang mungkin dilakukan junta militer mendatang. Di antara skenario itu pertama, Abdallah Hamdok ditawari menjadi perdana menteri (PM) lagi dalam pemerintah teknokrat sipil dari berbagai elemen masyarakat di Sudan yang akan dibentuk junta militer. Ini akan tergantung sikap Hamdok mau menerima atau menolak tawaran junta militer itu.
Kedua, junta militer akan melibatkan lagi Koalisi Kekuatan untuk Kebebasan dan Perubahan (FFC) dalam pemerintahan mendatang, tetapi dengan memperluas ada unsur-unsur baru dari sipil yang ikut serta dalam pemerintahan mendatang. Unsur-unsur baru dari sipil tersebut adalah mereka yang mendukung junta militer saat ini.
Partai Uni Demokrasi di Sudan menyerukan segera digelar dialog nasional yang melibatkan semua partai politik dan kekuatan sipil dalam upaya menghidupkan lagi transisi demokrasi yang melibatkan semua elemen kekuatan politik sipil dan militer agar krisis politik di Sudan saat ini segera berakhir dan negara kembali normal.*
Baca Juga: Sejarah Panjang Kekuasaan Militer di Sudan