Masa depan pemerintahan transisi di Sudan menjadi tak menentu. Pihak sipil dan militer yang seharusnya saling memperkuat kerja sama justru kehilangan kepercayaan satu sama lain. Pemerintahan transisi negara itu terancam.
Oleh
MUSTHAFA ABD RAHMAN, DARI KAIRO, MESIR
·3 menit baca
Dari kumpulan negara-negara Arab, Sudan sesungguhnya sangat diharapkan menjelma menjadi negara demokrasi. Harapan itu muncul setelah rakyat Sudan berhasil menumbangkan rezim diktator Presiden Omar Hassan al-Bashir yang berkuasa selama 30 tahun (1989-2019) pada 11 April 2019.
Sedemikian monumental peristiwa itu, keberhasilan rakyat Sudan tersebut kerap dinamai dengan gerakan Musim Semi Arab gelombang kedua. Gerakan ini juga melanda sejumlah negara Arab tahun 2019, seperti Aljazair, Irak, dan Lebanon. Nama Musim Semi Arab digunakan merujuk pada gerakan dan unjuk rasa rakyat Arab yang menuntut tumbangnya rezim diktator di sejumlah negara Arab pada tahun 2011, yakni di Tunisia, Mesir, Libya, Yaman, dan Suriah.
Namun, upaya mewujudkan harapan tersebut ternyata tidak mudah. Ada tarik-menarik antara kekuatan sipil (koalisi Kekuatan untuk Kebebasan dan Perubahan/FFC), yang ingin segera kekuasaan diserahkan kepada sipil, dan kekuatan militer yang masih ingin memegang kekuasaan karena belum percaya pada kemampuan sipil.
Akhirnya kekuatan sipil dan militer mencapai kesepakatan kompromi pada 15 Mei 2019 dengan membentuk pemerintahan transisi untuk periode selama 39 bulan. Masyarakat internasional saat itu memuji pembentukan pemerintahan transisi yang disebut sebagai jalan menuju era demokrasi di Sudan.
Pada 17 Agustus 2019, kesepakatan pembentukan pemerintahan transisi tersebut ditandatangani. Selama masa transisi itu, kekuatan militer dan sipil berbagi kekuasaan secara bergilir, yakni 21 bulan pertama kekuasaan di tangan militer dan 18 bulan sisanya kekuasaan di tangan sipil. Seharusnya pihak sipil sudah menerima giliran mendapat kekuasaan pada bulan Mei 2021.
Namun, pemerintah transisi pada 3 Oktober 2020 menandatangani kesepakatan damai dengan kelompok oposisi bersenjata yang tergabung dalam Front Revolusi Sudan (SRF) di Juba, Sudan Selatan. Dalam kesepakatan damai tersebut disepakati, masa transisi diperpanjang satu tahun lagi. Maka, masa transisi di Sudan, yang semula seharusnya berakhir pada November 2022, diperpanjang menjadi berakhir pada November 2023.
Masa kekuasaan militer dalam pemerintahan transisi juga diperpanjang enam bulan, yakni semula harus berakhir pada Mei 2021 diperpanjang ke bulan November 2021. Sesuai jadwal baru setelah masa transisi diperpanjang satu tahun itu, pihak militer harus menyerahkan kekuasaan kepada sipil pada November 2021.
Akan tetapi, hubungan sipil dan militer—mitra dalam pemerintahan sipil—memburuk, khususnya setelah ada upaya kudeta gagal di Sudan pada 21 September lalu. Pihak sipil dan militer yang seharusnya saling memperkuat kerja sama justru kehilangan kepercayaan satu sama lain. Hubungan buruk sipil-militer dalam pemerintahan sipil itu mengancam kelangsungan pemerintahan transisi di Sudan.
Bahkan, pihak sipil menuduh militer ingin menggagalkan masa transisi dan tidak mau menyerahkan kekuasaan kepada sipil sesuai jadwal, November depan. Pihak sipil juga menuduh kudeta militer yang gagal pada 21 September lalu hanya sandiwara yang diskenariokan oleh militer sebagai dalih untuk tidak menyerahkan kekuasaan kepada sipil.
Pihak sipil pada Kamis (21/10/2021) menggerakkan massanya berunjuk rasa di ibu kota Khartoum dan kota-kota lain di Sudan. Mereka menuntut militer menyerahkan kekuasaan kepada sipil sesuai jadwal pada November nanti.
Sebaliknya militer menuduh pemerintah sipil yang dipimpin PM Abdalla Hamdok gagal mengelola negara sehingga terjadi pembangkangan rakyat Sudan Timur, yang menutup jalan utama antara kota Khartoum dan kota Port Sudan. Militer juga menyebut, kudeta militer yang gagal pada 21 September lalu akibat pemerintahan sipil yang dipimpin PM Abdalla Hamdok gagal mengelola negara. Pihak militer pun mengerahkan massa sipil tandingan yang mendukungnya berunjuk rasa di Khartoum.
Masa depan pemerintahan transisi di Sudan menjadi tidak menentu. Apakah akan terjadi penyerahan kekuasaan dari militer ke sipil pada bulan November nanti, juga tidak jelas.
Di tengah krisis politik akut di Sudan saat ini, Utusan Khusus AS untuk Afrika Jeffrey Feltman dijadwalkan berkunjung ke Khartoum pekan ini. Ia menjadi mediator konflik sipil-militer di Sudan dan meminta agar penyerahan kekuasan dari militer ke sipil berlangsung sesuai jadwal agar transisi demokrasi di Sudan berjalan mulus. Hasil mediasi AS ini akan menentukan masa depan demokrasi di Sudan.