Kudeta militer di Sudan baru-baru ini bukanlah hal mengejutkan. Negeri di Tanduk Afrika itu sepanjang sejarah berdirinya sejak tahun 1958 lebih banyak dikuasai militer yang merebut kekuasaan dari tangan pemerintah sipil.
Oleh
Musthafa Abd. Rahman, dari Kairo, Mesir
·5 menit baca
Kudeta militer yang terjadi di Sudan baru-baru ini bukanlah hal mengejutkan. Negeri di Tanduk Afrika itu sepanjang sejarah berdirinya sejak 1958 lebih banyak dikuasai militer yang merebut kekuasaan dari tangan pemerintahan sipil.
Militer Sudan, Senin (25/10/2021), membubarkan pemerintahan transisi yang dibentuk bersama secara resmi oleh militer dan sipil pada 17 Agustus 2019. Militer juga menangkap Perdana Menteri Abdalla Hamdok dan sejumlah menteri dalam pemerintahan transisi dalam kudeta atas transisi demokrasi di negara tersebut.
Jenderal Abdul Fattah Al-Burhan, yang mengumumkan pembubaran pemerintah transisi melalui siaran stasiun televisi, memang berjanji akan menggelar pemilu pada 2023. Namun, tentu tidak ada kepastian ia menepati janji tersebut.
Satu hal yang pasti di Sudan saat ini, militer memegang kekuasaan penuh tanpa tandingan. Inisiatif politik sepenuhnya dikontrol militer.
Apa yang dilakukan militer Sudan sesungguhnya bukan suatu kejutan di negara yang sejarahnya penuh dengan lumuran darah kudeta militer. Sejak Sudan merdeka dari kungkungan Inggris-Mesir tahun 1956 hingga tumbangnya rezim Presiden Omar Hassan al-Bashir tahun 2019, telah terjadi tiga kali kudeta militer atas pemerintah sipil. Penguasa militer dari hasil kudeta memerintah Sudan selama total 52 tahun.
Kudeta militer pertama dilakukan Jenderal Ibrahim Abboud (1958-1964), kudeta militer kedua dilancarkan Kolonel Gaafar al-Nimeiry (1969-1985), dan kudeta militer ketiga dilakukan Jenderal Omar Hassan al-Bashir (1989-2019).
Adapun sipil hanya memerintah delapan tahun di Sudan sejak 1956. Pertama, pemerintah sipil pimpinan PM Abdallah Khalil (1956-1958) yang dikudeta Jenderal Ibrahim Abboud pada tahun 1958. Kedua, pemerintah sipil pimpinan Presiden Ismail al-Azhari (1965-1969) yang dikudeta oleh Kolonel Gaafar al-Nimeiry pada tahun 1969. Ketiga, pemerintah sipil pimpinan PM Sadiq al-Mahdi (1986-1989) yang dikudeta oleh Jenderal Omar Hassan al-Bashir pada tahun 1989.
Karena itu, adagium militer dan kekuasaan senantiasa melekat pada sejarah negeri Sudan. Kultur campur tangan militer atas urusan politik di Sudan sudah terbangun sangat kuat sejak 1958. Hegemoni militer di pentas politik Sudan itu menjadi hambatan besar atau faktor utama gagalnya proses transisi menuju demokrasi.
Gelombang kedua
Pascatumbangnya rezim Presiden Bashir pada 11 April 2019, kekuasaan tidak serta merta jatuh ke tangan sipil, tetapi tetap berada di tangan militer. Bashir lengser akibat unjuk rasa rakyat Sudan dari Desember 2018 hingga April 2019, yang kemudian disebut Musim Semi Arab gelombang kedua di Sudan.
Militer dengan dukungan rakyat atau persisnya memanfaatkan aksi unjuk rasa rakyat, melancarkan kudeta militer terhadap rezim Presiden Bashir.
Rakyat Sudan yang menggelar aksi unjuk rasa, diwakili Koalisi Kekuatan untuk Kebebasan dan Perubahan (Force of Freedom and Change Allliance/FFC), saat itu sudah menuntut militer yang mengudeta rezim Presiden Bashir untuk menyerahkan kekuasaan kepada FFC. Namun, militer menolak menyerahkan kekuasaan kepada FFC.
Militer Sudan malah membentuk Dewan Transisi Militer (Transitional Military Council/TMC) yang dipimpin Abdul Fattah al-Burhan. Pimpinan FFC saat itu sudah melihat gelagat militer tidak mau menyerahkan kekuasaan kepada sipil dengan membentuk TMC.
Inilah yang memaksa rakyat Sudan kembali menggelar aksi unjuk rasa besar-besaran pada 16 April 2019 menuntut pembubaran TMC. Mereka menuntut militer segera menyerahkan kekuasaan kepada sipil. Pertarungan segera beralih dari rezim Presiden Bashir versus FFC menjadi TMC versus FFC.
Setelah menggerakkan aksi unjuk selama satu bulan, FFC kemudian memilih jalan kompromi. FFC membuka perundingan dengan TMC untuk membahas transisi demokrasi di Sudan pasca-lengsernya Bashir. Akhirnya, FFC dan TMC mencapai kesepakatan pada 15 Mei 2019 dengan membentuk pemerintahan transisi untuk periode 39 bulan yang ditandatangani pada 17 Agustus 2019.
Selama 39 bulan masa tugas pemerintah transisi itu, kekuasaan dipegang secara bergiliran antara militer dan sipil. Disepakati militer memegang kekuasaan terlebih dahulu selama 21 bulan, setelah itu sipil memegang kekuasaan selama 18 bulan.
Sejumlah pengamat politik di Sudan saat itu mengkritik FFC yang bersedia berbagi kekuasaan dengan TMC dan membentuk pemerintah transisi. Mereka menyebutkan, pembentukan pemerintah transisi hanya cara militer memperpanjang kekuasaan di Sudan. FFC tetap memilih jalan kompromi.
Seharusnya pihak sipil sudah menerima giliran mendapat kekuasaan pada Mei 2021. Akan tetapi, pemerintah transisi pada 3 Oktober 2020 menandatangani kesepakatan damai dengan kelompok oposisi bersenjata yang tergabung Front Revolusi Sudan (SRF) di Juba, Sudan Selatan. Dalam kesepakatan damai tersebut disetujui, masa transisi diperpanjang satu tahun lagi.
Dengan demikian, masa transisi di Sudan yang seharusnya berakhir pada November 2022 diperpanjang hingga awal 2024. Masa kekuasaan militer dalam pemerintahan transisi juga diperpanjang enam bulan, yang semula harus berakhir pada Mei 2021 menjadi November 2021.
Sesuai jadwal baru setelah masa transisi diperpanjang satu tahun itu, militer harus menyerahkan kekuasaan kepada sipil pada November 2021. Akan tetapi, dalam menjalankan pemerintahan transisi tersebut, militer dan sipil yang bermitra dalam pemerintahan bukannya membangun keharmonisan. Mereka sering terlibat perbedaan pendapat dalam mengelola negara.
Konflik sipil-militer dalam tubuh pemerintah transisi mencapai puncaknya saat terjadi kudeta yang gagal pada 21 September lalu. Sipil dan militer saling menyalahkan atas terjadinya kudeta gagal itu.
FFC menyebut kudeta militer yang gagal itu hanya sandiwara militer sebagai kedok untuk tidak menyerahkan kekuasan kepada FFC pada November nanti. Sebaliknya, militer menyebut terjadinya kudeta militer yang gagal itu akibat sipil tidak becus mengelola negara sehingga ada upaya percobaan kudeta.
Akhirnya, krisis hubungan sipil-militer tersebut mengalami jalan buntu hingga kemudian militer membubarkan pemerintah transisi pada Senin lalu. Karena itu, semakin panjanglah sejarah kekuasaan militer di Sudan.