Kelompok aktivis dan penentang kudeta menyerukan agar rakyat terlibat dalam pawai massal, mogok massal, dan pembangkangan sipil. Sudan berisiko kembali ke pemerintahan otokrasi akibat kudeta militer.
Oleh
Pascal S Bin Saju
·4 menit baca
KHARTOUM, SELASA — Demonstrasi besar warga Sudan untuk menentang kudeta militer memasuki hari kedua, Selasa (26/10/2021). Massa prodemokrasi yang marah menuntut pemulihan pemerintahan sipil dengan memblokade sejumlah ruas jalan utama di Khartoum dan kota kembarnya, Omdurman.
Massa memasang barikade dan membakar ban di jalan-jalan di dua kota itu. Mereka meneriakkan slogan-slogan, seperti ”Tidak untuk aturan militer”, ”Revolusi akan terus berlanjut”, dan ”Kembali ke masa lalu bukanlah pilihan”.
Krisis di Sudan memburuk setelah Angkatan Bersenjata Sudan yang dipimpin Jenderal Abdel-Fattah Burhan merebut kekuasaan pemerintah transisi demokrasi pada Senin (25/10/2021). Para pengunjuk rasa menyerukan pawai massal pada Sabtu (30/10/2021) untuk menuntut militer agar mengembalikan kekuasaan transisi sipil demokratis. Asosiasi Profesional Sudan, organisasi induk serikat pekerja Sudan, mendesak orang-orang untuk mogok massal dan terlibat pembangkangan sipil.
Secara terpisah, Gerakan Pembebasan Populer Sudan-Utara, kelompok pemberontak utama negara itu, mengecam kudeta dan menyerukan orang-orang untuk turun ke jalan. Mereka menyerukan perlawanan tiada henti terhadap militer.
Komite Dokter Sudan melaporkan empat orang tewas dan lebih dari 80 terluka akibat tindakan keras militer terhadap pengunjuk rasa di Khartoum, Senin. Kementerian Informasi mengatakan, tentara menembakkan peluru tajam ke arah pengunjuk rasa di luar markas besar militer.
Pasukan tentara dan Pasukan Dukungan Cepat yang amat ditakuti di Sudan berpatroli di sejumlah tempat di Khartoum pada Senin malam untuk memburu para pengunjuk rasa. Kelompok aktivis internasional, Human Rights Watch, mengatakan, pasukan telah menggunakan peluru tajam saat menghadapi pengunjuk rasa pada Senin pagi hingga malam.
Perdana Menteri Abdalla Hamdok dan pejabat senior pemerintahan transisi yang ditangkap oleh militer masih ditahan di luar Khartoum. Semula mereka dikenai tahanan rumah. Belakangan dilaporkan para pemimpin pemerintahan transisi ditahan di kamp militer.
Dalam konferensi pers di Khartoum, Selasa, Burhan mengatakan, ”Hamdok berada di rumah saya. Kami menangkap menteri dan politisi, tetapi tidak semua dari mereka. Hamdok dalam keadaan sehat dan akan kembali ke rumah ketika krisis berakhir.”
Kudeta itu telah menggagalkan transisi Sudan menuju negara demokrasi yang telah berjalan selama 2,5 tahun terakhir. Pemerintahan transisi merupakan benih yang disiapkan Sudan untuk bergerak ke pemerintahan sipil demokratis penuh tak lama setelah penggulingan pemerintahan otokratis Presiden Omar al-Bashir pada 2019.
Kecaman bergulir
Pemberlakuan keadaan darurat dan pembubaran Dewan Kedaulatan Transisi Sudan memicu reaksi internasional. Kecaman internasional terus mengalir menjelang pertemuan darurat tertutup Dewan Keamanan PBB untuk membahas krisis Sudan pada Selasa malam waktu New York atau Rabu (26/10/2021) pagi WIB.
AS, pendukung utama transisi demokrasi Sudan, mengecam keras kudeta militer dan memutuskan untuk menangguhkan bantuan sekitar 700 juta dollar AS untuk Sudan. Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken menyerukan penghentian segera kekerasan terhadap pengunjuk rasa, pemulihan kekuasaan sipil, dan pemulihan layanan internet.
Blinken mengatakan, AS sedang berkoordinasi dengan mitra-mitranya untuk memetakan pendekatan diplomatik bersama untuk mengatasi kudeta dan mencegah situasi di Sudan agar mengguncang stabilitas negara dan kawasan. Juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Ned Price, mengatakan, para pejabat AS belum dapat menghubungi perdana menteri yang ditahan.
Sebuah troika negara-negara yang sebelumnya terlibat dalam mediasi konflik Sudan, yakni AS, Inggris, dan Norwegia, mengatakan bahwa tindakan militer merupakan pengkhianatan terhadap revolusi, transisi, dan permintaan sah rakyat Sudan untuk perdamaian, keadilan, dan pembangunan ekonomi.
PBB menuntut pembebasan segera Hamdok dan pemulihan pemerintahan sipil. Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan, penahanan para pemimpin sipil itu melanggar hukum dan mengecam kudeta militer yang sedang berlangsung.
Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia Michelle Bachelet memperingatkan, Sudan berisiko kembali ke penindasan. ”Akan menjadi bencana jika Sudan mundur setelah sukses mengakhiri dekade kediktatoran represif,” katanya, merujuk pemerintahan Bashir selama tiga dekade.
Uni Eropa, Uni Afrika, Liga Arab, dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) juga terus menyuarakan keprihatinan dan menuntut militer Sudan mengembalikan kekuasaan sipil pemerintahan transisi demokrasi.
Burhan masih tetap membela kudeta militer dengan mengatakan tentara telah mengambil tindakan yang tepat untuk memperbaiki arah revolusi di Sudan dan mengakhiri kebuntuan politk. Dia mengatakan akan memerintah Sudan hingga pemilihan umum demokratis digelar pada Juli 2023.
Burhan menuding perpecahan di antara faksi-faksi politik mengancam integritas negara. ”Pengalaman selama dua tahun terakhir membuktikan bahwa partisipasi kekuatan politik di masa transisi itu cacat dan memicu perselisihan,” katanya dalam pidato televisi, Selasa.
Namun, kudeta terjadi kurang dari sebulan sebelum militer harus menyerahkan kepemimpinan Dewan Kedaulatan Transisi Sudan kepada warga sipil. Ini dianggap langkah yang akan mengurangi kekuasaan militer.
Burhan bersikeras akan mengadakan pemilu sesuai jadwal. Namun, 19 bulan menjelang pemungutan suara, tidak jelas apakah militer bersedia melepaskan cengkeraman yang telah dimilikinya selama beberapa dekade.
Jonas Horner dari kelompok pemikir International Crisis Group menyebut, intervensi (kudeta militer) semacam ini benar-benar mengembalikan otokrasi. (AFP/AP/REUTERS)