Masa Depan Hubungan Israel-Sudan Setelah Kudeta Militer
Israel dan Sudan menandatangani pembukaan kerja sama hubungan bilateral per Oktober 2020. Namun, dengan adanya kudeta militer di Sudan baru-baru ini, masa depan hubungan kedua negara menjadi tidak pasti.
Oleh
Musthafa Abd Rahman
·3 menit baca
Musthafa Abd Rahman dari Kairo, Mesir
Kudeta militer di Sudan pada Senin (25/10/2021) mendapat sorotan khusus dari media dan pengamat Israel. Sementara pejabat Pemerintah Israel mengambil sikap hati-hati dengan tidak memberikan pernyataan terkait perkembangan di Sudan itu.
Perhatian besar media Israel atas dinamika mutakhir di Sudan itu wajar mengingat Israel-Sudan menjalin hubungan resmi sejak Oktober 2020. Sudan adalah satu dari empat negara Arab yang tergabung dalam forum Abraham Accord. Adapun tiga negara lainnya adalah Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain, dan Maroko.
Abraham Accord adalah kesepakatan yang menekankan pada normalisasi hubungan Israel dengan negara-negara Arab setelah Perang Arab-Israel di 1948. Kesepakatan itu dimediasi Amerika Serikat (AS). Awalnya, penandatanganan normalisasi hubungan Israel dilakukan dengan UEA dan Bahrain per 15 September 2020. Sebulan kemudian, normalisasi hubungan Israel meluas ke Sudan. Maroko menyusul pada Desember 2020.
Terkait Sudan, Israel sangat berharap normalisasi segera diwujudkan dengan pembukaan hubungan diplomatik di antara kedua negara yang ditandai dengan pembukaan kantor kedutaan besar di Tel Aviv ataupun Khartoum.
Dalam pengembangan hubungan bilateral dengan Sudan, Israel meletakkan empat sasaran, yaitu keamanan, pertanian, pariwisata, dan migrasi. Israel juga selalu melihat Sudan sebagai pintu masuk menuju upaya pengembangan pengaruh di Afrika. Israel melalui Sudan ingin membendung pengaruh Turki dan Iran di Afrika.
Oleh karena itu, kudeta militer di Sudan yang menyebabkan situasi karut-marut di Khartoum dan kota-kota lain di negara itu membuat Israel cemas akan masa depan hubungan kedua negara. Keinginan Israel agar hubungan Tel Aviv-Khartoum segera berkembang pesat bisa buyar jika krisis politik di Sudan berlarut-larut.
Pembekuan bantuan
Situs harian Israel, Yedioth Ahronoth, Senin (25/10/2021), menyebutkan, jika hubungan Sudan dan negara-negara Barat, khususnya AS, memburuk akibat pembekuan bantuan ekonomi ke Sudan, hubungan Israel-Sudan bisa dingin.
Harian Israel, The Jerusalem Post, Selasa (26/10/2021), juga mempertanyakan masa depan hubungan Israel-Sudan pascakudeta militer di negara itu. Ini terutama jika hubungan Sudan dan negara-negara Barat kemudian memburuk.
AS sudah mulai membekukan bantuan 700 juta dollar AS kepada Sudan pascakudeta militer di negara itu. Tindakan serupa kemungkinan besar akan dilakukan negara-negara Barat lainnya.
Saat sepakat membangun normalisasi dengan Israel pada tahun 2020, Sudan mendapatkan konsensi dari AS berupa penghapusan Sudan dari daftar negara pendukung terorisme dan adanya bantuan dari negara-negara Barat. Kedua konsensi ini sudah terwujud. Namun, tindakan AS membekukan bantuan ekonomi baru-baru ini bisa memunculkan kekecewaan sehingga Sudan bisa-bisa mundur dari kesepakatan normalisasi dengan Israel.
Sementara harian Israel yang beraliran kanan, Israel Hayom, Selasa (26/10/2021), merasa optimistis hubungan Israel-Sudan tidak akan terganggu. Oleh karena itu, Pemerintah Israel sebaiknya sabar menunggu perkembangan yang akan terjadi di Sudan pascakudeta militer. Pertimbangannya, elite militer di Sudan akan tetap menjaga hubungan dengan Israel. Sebab, adalah pihak militer yang sesungguhnya lebih bersemangat membangun hubungan dengan Israel daripada sipil.
Pemimpin Junta Militer Sudan Letnan Jenderal Abdul Fattah al-Burhan dan mantan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menggelar pertemuan di Uganda per Februari 2020. Ini sebelum Israel-Sudan mengumumkan membuka hubungan resmi per Oktober 2020. Al-Burhan dalam konferensi pers di Khartoum, Selasa lalu, menegaskan, pihaknya ingin tetap membangun hubungan dengan Israel.