Bertumpu Harapan pada Pengembara Digital
Sejak pandemi Covid-19, banyak pekerja yang harus bekerja dari jarak jauh dan menjadi pengembara digital. Bekerja sambil berlibur menjadi idaman dan akses internet serta biaya hidup lebih murah menjadi pertimbangan.
Melissa Paul seakan mendapatkan kado terindah dalam hidupnya saat menerima visa khusus untuk tinggal sementara di Kroasia, Januari lalu. Paul merupakan penerima pertama visa khusus bagi warga asing yang bekerja secara jarak jauh dari Kroasia. Para pekerja asing jarak jauh yang belakangan semakin tren ini dikenal dengan sebutan ”digital nomads” atau pengembara digital. Mereka terbiasa bekerja dan tinggal sementara waktu, berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain.
Baca juga: Dagang Kreatif ala ”Blogger” dan Pendengung Pariwisata
Berbagai negara, termasuk Kroasia, tengah menggenjot industri pariwisatanya kembali setelah terpuruk akibat pandemi Covid-19. Skema visa khusus bagi pengembara digital di luar negara anggota Uni Eropa ini salah satu bentuk upayanya. Paul dan para pengembara digital lainnya diharapkan bisa membantu mempromosikan pariwisata Kroasia. ”Pemandangan di Kroasia indah. Biaya hidup terjangkau. Cuaca bagus dan akses internet lancar. Semua menyenangkan,” kata Paul yang bekerja sebagai konsultan pemasaran di Amerika Serikat itu.
Selama di Kroasia, Paul tinggal di Labin, kota di puncak bukit yang menghadap ke Laut Adriatik. Dalam skema visa khusus Kroasia ini, para pengembara digital boleh tinggal dan bekerja dari Kroasia selama satu tahun dan mereka dibebaskan dari kewajiban membayar pajak penghasilan. Namun, sebelum permohonan visa disetujui, para pengembara digital harus menunjukkan bukti mereka bekerja dari jauh, sudah memiliki tempat untuk tinggal, asuransi kesehatan, dan bergaji minimal 2.700 dollar AS (sekitar Rp 38,6 juta) per bulan.
Baca juga: Pemulihan Sektor Industri Pariwisata Butuh Tenaga Kerja Kompeten
Paul termasuk salah satu dari 100 pengembara digital yang mengajukan permohonan visa itu. Lebih dari separuh pemohon berasal dari AS dan Inggris. Sampai sejauh ini sudah ada 33 visa yang disetujui. Tren pengembara digital ini kian meluas setelah banyak orang harus bekerja dari rumah atau luar kantor gara-gara pandemi Covid-19. Kroasia berharap akan semakin banyak pengembara digital yang datang setelah larangan bepergian dicabut.
Pariwisata
Industri pariwisata bagi Kroasia penting karena menyumbang seperlima pendapatan Kroasia yang berpenduduk 4,2 juta jiwa itu. Namun, jumlah wisatawan anjlok dari 21 juta pada 2019 menjadi 7 juta tahun lalu. Melihat hal ini, pengusaha Belanda yang tinggal di Kroasia, Jan de Jong, mencetuskan ide visa khusus bagi pengembara digital lalu mengusulkannya pada Perdana Menteri Kroasia Andrej Plenkovic. Enam bulan kemudian, visa itu menjadi kenyataan.
”Kroasia itu memiliki segalanya dan menawarkan pengalaman unik. Pemandangan indah dan gaya hidupnya sama seperti di negara-negara lain di Eropa dan Mediterania,” kata De Jong.
Baca juga: Media Sosial Tetap Jadi Andalan Promosi Wisata
Jika ingin menggaet para pengembara digital, kata De Jong, Kroasia harus bergerak cepat karena saat ini sudah ada saingan di Eropa, yakni Estonia, yang juga mengeluarkan program visa pengembara digital. Begitu pula dengan Republik Ceko dan Eslandia. Antigua juga sedang menggodok program itu. Bahkan, Pulau Bali secara resmi juga akan segera menyusul karena selama ini juga sudah banyak warga asing yang tinggal dan bekerja dari Bali. Kabarnya, ada 15 negara yang sudah siap menyambut para pengembara digital ini.
Bagi Kementerian Pariwisata Kroasia, ini peluang jangka panjang untuk mempercepat pemulihan industri pariwisata pascapandemi. Para pengembara digital bisa mempromosikan Kroasia dengan cara berbagi informasi dan pengalaman ke dunia melalui teman-temannya. Ini yang sudah dilakukan pencipta konten, Steve Tsentserensky, warga AS yang kini tinggal di Kroasia setelah selama bertahun-tahun keliling dunia.
Baca juga: Wisata Nomadik Jadi Jawaban bagi Pariwisata
Sebelumnya, ia pernah tinggal di Selandia Baru, Ukraina, Perancis, Italia, dan bekerja dari kapal-kapal pesiar. Ia kemudian jatuh cinta pada kehidupan di Kroasia. ”Tidak ada yang terburu-buru di sini. Waktu seakan terhenti. Kita bisa bekerja dengan tenang sambil menikmati hidup,” kata Tsentserensky.
Selain mempromosikan pariwisata, para pengembara digital juga bisa berbagi pengetahuan dan pengalaman untuk membantu masyarakat setempat. De Jong berharap para pengembara digital bisa membantu anak-anak muda Kroasia yang justru ingin meninggalkan Kroasia. ”Mereka bisa membawa pola pikir dan pengalamannya untuk memberi pengaruh positif pada generasi muda,” ujarnya.
Tak masuk akal
Bagi sebagian orang, bekerja dari jarak jauh, bahkan dari negara-negara lain, menjadi impian. Namun, ada juga yang menganggapnya tidak masuk akal bahkan gila. Ketika editor lepas asal Perancis, Arnaud Wilbrod, menceritakan ide untuk bekerja dari ibukota Estonia, Tallinn, sejak sebelum pandemi Covid-19, banyak teman menganggapnya gila. ”Sekarang mereka bilang pilihan saya itu yang paling benar,” ujarnya sambil tertawa. Ia lalu betul-betul pergi ke Tallinn setelah Perancis memberlakukan karantina wilayah.
Pengembara digital sebenarnya sudah ada sejak lama dan biasanya dilakukan oleh pekerja lepas yang tak terikat harus datang ke kantor. Akan tetapi, sejak pandemi Covid-19, tren ini meluas ke para pekerja kantoran yang mayoritas kini mau tak mau lebih sering bekerja dari luar kantor. Jumlah pastinya memang tak bisa diketahui tetapi jumlah pengembara digital di seluruh dunia sepertinya bisa sampai jutaan orang.
Baca juga: Wajah Perkantoran Setelah Pandemi, Masihkah Dirindukan?
Menurut Steve King dari perusahaan konsultasi Emergent Research, sekitar 10,9 juta warga AS menjadi pengembara digital pada tahun 2020. Ia memperkirakan pada tahun 2020 itu, 60 persen dari pengembara digital itu termasuk pekerja kantoran dan bukan pekerja lepas. ”Tiba-tiba banyak pekerja yang dulu tidak bisa bebas bepergian sekarang jadi bisa dan tidak terbelenggu di satu tempat,” ujarnya.
Sharon (28), warga AS, pindah ke Meksiko ketika perusahaannya memberlakukan kerja dari rumah. Di Meksiko, ia bisa lebih bebas menyesuaikan jadwal kerjanya. Begitu pula dengan Denis Muniglia yang juga memilih bekerja di Guadeloupe.
”Bekerja dari jarak jauh ini berkah karena bisa menghabiskan waktu lebih banyak di tempat yang berbeda-beda,” ujarnya.
Baca juga: Kantor Setelah Pandemi Covid-19, Antara Fleksibilitas dan Relasi Sosial
King menekankan tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari pengembara digital karena toh mereka sudah memiliki pekerjaan sehingga tidak perlu bekerja di negara yang sedang mereka tempati. Dan, mereka pun sudah bergaji tinggi.
Biaya hidup
Bagi Claire Lambert yang kini berada di Meksiko, para pengembara digital pasti akan memilih negara atau kota yang mempunyai akses dan jaringan internet yang kuat dan biaya hidupnya tak mahal. Ia bisa hidup irit dan bekerja dengan tenang.
Jenni Pringle dari Afrika Selatan juga akhirnya memilih tinggal dan bekerja dari Georgia yang bersih dan cantik. Sebelum menetapkan pilihan ke Georgia, setiap hari ia mencari lokasi yang sesuai dengan memanfaatkan mesin pencari Google. Tanpa tahu banyak soal Georgia, ia nekad pilih Georgia karena melihat foto-foto di Google. Georgia memberikan visa izin tinggal selama setahun pada pengembara digital yang gajinya minimal 2.000 dollar AS per bulan.
Baca juga: 2020, Tahun Terburuk untuk Pariwisata
Sejak tahun lalu, sudah ada 787 pengembara digital bergaji besar yang bekerja dari Georgia. Tergiur dengan keberhasilan negara-negara lain, Kosta Rika juga hendak melakukan hal yang sama, tetapi sebelumnya mereka hendak menyiapkan segala infrastruktur yang dibutuhkan terlebih dahulu, terutama jaringan internet. Portugal juga menyiapkan Pulau Madeira sebagai surga pengembara digital dengan membuat tempat-tempat bekerja yang gratis dan rumah yang bisa disewa.
Harian The Washington Post, 22 Februari 2021, menyebutkan tren pengembara digital ini meluas sejak pandemi Covid-19. Ahli teknologi Jepang, Tsugio Makimoto, sudah memprediksi tren ini sejak sekitar 20 tahun lalu di dalam bukunya berjudul Digital Nomad. Pada akhir tahun 1990-an, Makimoto menyebutkan revolusi digital pada akhirnya akan menghilangkan kebutuhan perusahaan atau kantor untuk senantiasa berada dekat dengan karyawannya. Atau, bahkan tak perlu memiliki karyawan tetap di kantor.
Baca juga: Membangun Kembali Masa Depan Pariwisata Dunia
Para pengembara digital sebelum pandemi Covid-19 kebanyakan anak-anak muda milenial yang gencar mengampanyekan #DigitalNomadLife di media sosial Instagram. Biasanya mereka bepergian ke berbagai daerah atau negara dengan berbekal visa turis yang tak bisa tinggal lama di satu tempat.
Ini merupakan era ”bromads” yang menjadi populer setelah Timothy Ferriss menulis buku terlaris tahun 2007, The 4-Hour Workweek: Escape 9-5, Live Anywhere and Join the New Rich. Di dalam bukunya, Ferriss menyebarkan gagasan ”arbitrase geografis”, gagasan bahwa aliran uang akan bergerak ke tempat-tempat yang berbiaya hidup lebih murah ketimbang San Francisco atau New York di AS.
Baca juga: Kerja di Kantor? Cukup Tiga Hari dalam Sepekan
Kini, semua prediksi itu akhirnya terjadi dan tren pengembara digital ini rasanya akan terus berlanjut. Selain karena semakin banyak negara yang membutuhkan solusi cepat untuk memulihkan perekonomiannya, juga karena banyak perusahaan atau perkantoran yang belum bisa pulih beroperasi normal seperti dulu gara-gara pandemi Covid-19. (AFP/LUK)