JAKARTA, KOMPAS - Kementerian Pariwisata memutuskan wisata nomadik (nomadic tourism) menjadi jawaban untuk mengembangkan pariwisata yang mengedepankan pengalaman. Selain itu wisata nomad juga mampu menjawab tantangan atas terbatasnya amenitas (berbagai fasilitas di luar akomodasi yang dapat dimanfaatkan wisatawan selama berwisata) di banyak destinasi.
"Pariwisata yang mengedepankan pengalaman (experience) adalah kebutuhan pariwisata saat ini dan masa depan. Kaum milenial tidak hanya menikmati destinasi wisata, tetapi perjalanan menuju destinasi menjadi bagian yang penting dari wisata itu," kata Menteri Pariwisata Arief Yahya saat membuka Diskusi Group Terfokus (FGD) Millennial Tourism dengan tema ‘Inovasi Model Bisnis Baru Dunia Pariwisata’, di Jakarta, Rabu (05/12/2018).
Oleh karena itu, wisata nomadik seperti menggunakan bus atau mobil besar yang sudah dimodifikasi sebagai kendaraan sekaligus tempat akomodasi, harus dikembangkan. Tempat-tempat wisata seperti Borobudur, Danau Toba dan sebagainya, bisa menyediakan tempat parkir kendaraan yang juga sekaligus sebagai tempat piknik bagi wisatawan.
Salah satu tantangan dari pengembangan pariwisata adalah ketersediaan amenitas seperti akomodasi. Terutama di daerah-daerah yang pelosok atau daerah yang infrastrukturnya masih menjadi persoalan. Dengan model wisata nomadik, wisatawan tidak lagi direpotkan dengan masalah akomodasi.
"Nomadic tourism dipandang sebagai solusi terbaik menjawab keterbatasan unsur amenitas dalam 3A (atraksi, aksesibilitas, dan amenitas). Konsep nomadic tourism sangat customer-centric, dengan positioning jelas, yaitu milenial sebagai pasar utamanya," kata Menteri Pariwisata Arief Yahya.
Sebagai salah satu strategi utama Kemenpar untuk mengejar target wisman, perlu untuk mengindentifikasi kendala, tantangan, dan hambatan yang terjadi dalam pengembangan 3A dalam wisata nomadik serta mengidentifikasi elemen pengembangan 3A khususnya amenitas nomadik yang kekinian.
"Nomadic tourism adalah gaya berwisata baru, di mana wisatawan dapat menetap dalam kurun waktu tertentu di suatu destinasi wisata, dengan amenitas yang portabel dan dapat berpindah-pindah," kata Arief.
Dia mengatakan, salah satu kendala yang mungkin muncul dalam pengembangan wisata nomadik adalah pemilik tanah. Namun apabila pemilik tanah bisa diyakinkan, maka tidak ada lagi masalah yang berat.
"Kita bisa mengatakan bahwa penyewaan lahan untuk parkir mungkin tidak mahal, tetapi dengan menyewakan lahan ini, akan ada keramaian baru, dan harga tanah di sana akan meningkat. Ini yang disebut keuntungan tidak langsung akan jauh lebih besar dari pada keuntungan dari operasional," kata dia.
Deputi Pengembangan Industri dan Kelembagaan Rizki Handayani Mustafa berharap dengan pelaksanaan FGD ini dapat menghasilkan konsep yang selama ini dibutuhkan untuk pengembangan wisata nomadik.
"Dengan FGD ini diharapkan dapat menghasilkan Konsep Desain Nomadic Amenities dan Pembangunan Travel Pattern Journey di 10 destinasi prioritas sehingga akan didapat model bisnis nomadic tourism yang akan disosialisasikan pada tahun 2019," kata Rizki.
Sementara untuk mendorong partisipasi aktif masyarakat sebagai pelaku kepariwisataan berdasarkan prinsip-prinsip pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat, Kementerian Pariwisata memberikan penghargaan terhadap enam kelompok masyarakat pelaku pariwisata (Community Base Tourism/CBT) dan enam homestay.
"Penghargaan ini diberikan untuk mendorong masyarakat untuk mengembangkan usaha di bidang pariwisata agar lebih maju, berkelanjutan, mampu memberdayakan masyarakat setempat, menjaga kearifan lokal sekaligus mendukung program 4 pilar pembangunan nasional (pro-poor, pro-growth, pro-job, dan pro-environment)," kata Rizki.
Pengelola CBT terbaik adalah Desa Wisata Nglinggo (Kulon Progo, Yogyakarta), Desa Wisata Semen Gandulsari (Blitar) dan Desa Wisata Saur Kaum (Bali).
Sedangkan untuk homestay terbaik adalah Rejo Homestay (Bantul, Yogyakarta), Esa Dikubu Homestay (Bali), dan Umah Dauh Homestay (Karang Asem, Bali).