Wajah Perkantoran Setelah Pandemi, Masihkah Dirindukan?
Bekerja dari rumah saat pandemi membuat perkantoran menjadi kosong karena para pegawai bekerja dari rumah. Setelah pandemi berakhir, menjadi tanda tanya: apakah bekerja di kantor masih menarik bagi para pekerja kantoran?
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·4 menit baca
Pemerintah di banyak negara menerapkan pembatasan sosial untuk memutus penularan Covid-19. Salah satunya dengan menutup perkantoran dan mendorong para pekerjanya untuk bekerja dari rumah. Kantor-kantor pun menjadi kosong atau setidaknya lengang.
Kini, bekerja jarak jauh dan pertemuan virtual menjadi kebiasaan baru sebagai bentuk adaptasi terhadap situasi pandemi. Lalu, bagaimanakah masa depan ruang-ruang kantor setelah pandemi berakhir? Akankah para pekerja masih ingin kembali bekerja di kantor setelah setahun bekerja fleksibel dari rumah dan seperti apakah wajah perkantoran nantinya?
”Pada Maret lalu, kita berpikiran, oh, kita tidak membutuhkan kantor lagi,” kata Coen van Oostrom, CEO EDGE, perusahaan real estat dari Belanda dalam panel daring Forum Ekonomi Dunia (WEF), Januari 2021. ”Dengan melihat ke belakang saat ini, saya rasa kita semua ingin kembali ke kantor.”
Survei yang dilakukan oleh konsultan properti Jones Lang Lasalle (JLL) terhadap 2.000 pekerja kantoran di 10 negara yang dipublikasikan November 2020 mengungkapkan bahwa satu dari tiga pekerja ingin tetap bekerja dari rumah setelah pandemi berakhir, tetapi proporsi pekerja yang ingin kembali bekerja dari kantor juga sama.
”Koneksi sosial adalah sesuatu yang dirasakan hilang oleh para pekerja di lingkungan virtual saat ini,” ujar Tom Caroll, Kepala Riset JLL Eropa. Perusahaan juga menjadi sadar bahwa banyak hal, seperti melatih staf baru, memecahkan masalah, dan membahas ide-ide baru, akan lebih baik dilakukan secara bertatap muka langsung.
Hal itu membuat banyak perusahaan memikirkan ulang tujuan dan desain kantor. Kini kantor tak hanya dipandang sebagai ruangan untuk bekerja yang sesuai dengan aturan kesehatan dan keselamatan. Perusahaan arsitektur Woods Bagot membayangkan kantor pasca-Covid-19 memiliki area yang luas, lengkap dengan sofa dan meja, tempat pekerja bisa duduk-duduk dan berbincang.
”Mayoritas kita telah kelelahan dengan Zoom. Jadi, idenya adalah mengurangi penggunaan perangkat teknologi ketika berada di kantor,” kata Amanda Stanaway, Kepala Departemen Interior Tempat Kerja di Woods Bagot, seperti dikutip Thomson Reuters Foundation, Jumat (29/1/2021).
Van Oostrom mengatakan, ”Kita harus merayu pekerja kita agar mau kembali ke kantor. Jadi, kantor tidak akan banyak diisi oleh meja lagi.” Bekerja di meja bisa dilakukan di mana pun, baik di rumah maupun kafe.
”Jika kamu mau ke kantor, kamu pergi untuk berkomunikasi, duduk bersama sambil nongkrong minum kopi dan bertemu dengan banyak rekan kerja sehingga serunya bekerja dan berada di kantor akan lebih besar daripada sebelumnya,” ujar Van Oostrom.
Ubah kantor
Namun, di beberapa negara, kebiasaan baru bekerja dari rumah kala pandemi justru mempercepat upaya penyediaan perumahan bagi penduduk dengan mengubah hotel dan kantor menjadi tempat tinggal. Pada November 2020, Pemerintah Korea Selatan menyatakan akan menambah 114.000 rumah bagi penduduknya dalam dua tahun ke depan dengan membeli hotel dan perkantoran yang kosong dan mengubahnya menjadi tempat tinggal.
Di Asia Tenggara, Singapura mendorong pembangunan kembali gedung perkantoran lama di pusat perniagaan beserta insentif untuk mengubah tempat parkir mobil menjadi perumahan, toko, restoran, dan pertanian dalam ruang. ”Pemerintah dan pengembang di kawasan mencari ruang komersial untuk diubah menjadi rumah,” kata Justin Eng, Associate Director of Research di konsultan real estat Knight Frank Asia Pacific.
Namun, fenomena itu masih sporadis. ”Tren ini sudah ada sejak sebelum pandemi Covid-19, tetapi sekarang semakin gencar,” ujar Eng. Insentif dari pemerintah menjadi salah satu daya ungkitnya.
Survei Oktober 2020 memperlihatkan, delapan dari 10 pekerja di Singapura lebih suka bekerja dari rumah atau bekerja dalam aturan yang lebih fleksibel. Ini bisa membuat banyak kantor dan lahan parkir yang kosong dan potensial untuk diubah peruntukannya.
Mengubah ruang komersial lama atau tidak terpakai menjadi perumahan bukanlah tren baru sebenarnya. Skema ini pernah diluncurkan di New York City pada pertengahan 1990 dengan insentif keringanan pajak.
Akan tetapi, menurut Anuj Puri, Direktur Anarock Property Consultants, pendekatan seperti itu mungkin tidak sesuai dengan India. Di negara ini, ruang-ruang perkantoran yang berkualitas di kota-kota besar masih jarang dan harga properti masih tinggi. Menurut Puri, mengubah kantor tidak terpakai menjadi gudang penyimpanan barang perusahaan e-dagang yang selama pandemi booming justru ”jauh lebih mungkin.”
Tony Matthews, dosen perencanaan kota dan lingkungan di Griffith University, mengatakan bahwa mengubah kantor menjadi fasilitas produksi modern, seperti percetakan 3-D, sekolah vertikal, atau pertanian urban, justru pilihan yang jauh lebih memungkinkan untuk dilakukan. Terlepas dari tingkat kesulitan dan biayanya yang tinggi, mengubah kantor menjadi perumahan juga bisa memiliki ”konsekuensi sosial yang negatif”.
Sebagai contoh, skema di Inggris untuk mengembangkan ulang kantor-kantor lama dan toko dengan perizinan yang dipermudah untuk menciptakan 65.000 flat justru jadi ”bencana” karena tidak didukung rencana penyediaan transportasi umum dan layanan publik. ”Mengubah kantor menjadi tempat tinggal di permukaan sepertinya ide yang bagus dan jadi penggunaan lahan serta sumber daya yang efisien. Tetapi kenyataannya, yang terjadi agak berbeda,” kata Matthews.
Nah, jika pandemi telah berakhir, apakah Anda tetap mau bekerja dari kantor atau bekerja fleksibel dari luar kantor?