Sekolah Berjibaku Mengatasi Ketertinggalan
Banyak guru yang gelisah dengan kondisi pendidikan di negeri ini. Mereka kemudian bergerak dengan inovasi untuk membawa perubahan secara mandiri.

Siswa di sekolah kecil di SD Negeri Sermo 1, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, 15 Februari 2023, belajar dalam lingkungan sekolah yang positif.
JAKARTA, KOMPAS — Bersekolah belum tentu belajar secara berkualitas dan bermakna. Akibatnya, banyak anak sekolah dan lulusan sekolah yang belum memenuhi kompetensi minimum untuk menjadi pembelajar sepanjang hayat yang siap mengatasi dinamika perubahan dunia. Sekolah-sekolah pun tidak tinggal diam untuk terus bergerak mengubah wajah pendidikan bangsa yang masih tampak suram.
Indonesia mengalami krisis pembelajaran dalam 20 tahun terakhir. Tidak ada peningkatan yang signifikan dalam 10-15 tahun terakhir meskipun sudah ada berbagai program terobosan. Sekitar 70 persen siswa usia 15 tahun di Indonesia memiliki kompetensi minimum di bawah standar internasional dari tes internasional, seperti PISA.
Secara umum, menurut hasil Asesmen Nasional (AN) 2021, pendidikan di sekolah-sekolah belum memenuhi harapan dalam penguasaan fondasi dasar seperti literasi dan numerasi maupun karakter. Sekolah terus-menerus dijejali berbagai program dan kebijakan dari pusat maupun daerah, yang seringkali tak sesuai dengan kondisi dan kebutuhan sekolah.
Pendidikan pun dijalankan dengan rutinitas dan arahan yang membuat banyak kepala sekolah dan guru gelisah serta lelah. Mereka ingin berbuat dengan terobosan dan inovasi yang mampu dilakukan untuk mengubah wajah sekolah yang membahagiakan dan bermakna bagi para siswa.
Baca juga: Sistem Pendidikan Indonesia Dinilai Belum Mampu Naik Level
Jauh sebelum pemerintah mempromosikan program-program terobosannya yang diyakini manjur untuk mengatasi ketertinggalan pendidikan, banyak sekolah, guru, dan komunitas pendidikan telah bergerak secara sukarela. Para guru di Kabupaten Supiori, Papua misalnya, mereka menolak untuk terus memberikan pendidikan yang tidak bermakna dan berkualitas kepada para siswa. Dari seorang guru SD yang resah, Elisabeth Dimara, perubahan tidak hanya terjadi di sekolahnya, tetapi bergeliat hingga Kabupaten Supiori.
Para guru didukung oleh Dinas Pendidikan Supiori belajar tentang prinsip-prinsip sekolah yang menyenangkan dan memanusiakan. Prinsip-prinsip ini lebih mudah mereka pahami dibandingkan program-program pelatihan yang sudah digagas pemerintah setempat.
”Saya gelisah dan tidak percaya diri mampu mengajar anak-anak, padahal saya memilih kuliah menjadi guru. Karakter anak-anak keras, tidak hormat pada guru, dan suka bullying sesama teman. Saya pun juga selalu keras memaksa anak dan pembelajaran hanya berfokus pada buku teks,” kisah Elisabeth, Senin (1/5/2023).

Anak-anak di Supiori secara umum tidak antusias berangkat ke sekolah. Mereka sering absen alias tidak masuk ke sekolah dalam waktu lama.
Sebab, berada di sekolah tidak lebih baik dari di rumah. Anak-anak dididik dengan keras dan belajar dengan paksaan untuk menguasai buku teks.
Mengubah paradigma
Paradigma pendidikan yang memanusiakan manusia didapat Elisabeth tahun 2019 dari perkenalannya dengan komunitas Guru Sekolah Menyenangkan (GSM) yang berpusat di Yogyakarta. Hal ini membuatnya “terbangun” dari sosok guru yang hanya mengejar nilai ujian baik dari para siswa.
Hanya dengan mau berinteraksi, mendengarkan alasan anak, dan memberikan suasana lingkungan belajar positif, perubahan terjadi. Anak-anak menikmati datang ke sekolah tanpa rasa takut pada “rotan” yang jadi simbol kekuasaan guru yang tidak boleh dilawan dan tidak pernah salah.
Cara-cara yang dikembangkan GSM dengan menghadirkan lingkungan belajar positif, banyak mengubah wajah banyak sekolah pinggiran yang kecil atau hendak ditutup, menjadi rumah kedua yang menyenangkan bagi siswa. Ketika menjejakkan kaki di gerbang-gerbang sekolah ber-GSM, suasana batin yang aman dan tenang sungguh terasa.
Kehangatan ditunjukkan guru dan siswa. Hal ini menumbuhkan relasi antar manusia yang saling mencintai dan menghargai dipraktikkan dengan baik.
Seorang siswa laki-laki kelas 2 di SDN Sermo 1, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, tanpa ragu mengisahkan perasaannya kepada guru di kelasnya. Dia dan semua siswa bebas untuk mengungkapkan emosi suasana hatinya tanpa takut ditertawakan.
Justru, guru akan bertanya sehingga siswa siap belajar. Penghargaan pada diri tiap anak, lewat simbol-simbol zona kehadiran, zona cita-cita, zona kebaikan, zona cita-cita, hingga zona yang dikembangkan berdasarkan kreativitas guru atau kesepakatan kelas bisa dihadirkan untuk membangun kesadaran diri siswa.
Meskipun SDN Sermo 1 termasuk sekolah kecil, ekosistemnya jauh dari lazimnya sekolah milik pemerintah yang ada di desa dengan jumlah murid sedikit yang “suram”. Suasana tiap kelas dipenuhi gambar-gambar dinding sesuai tema yang dipilih oleh kelas, ada tentang ruang angkasa, alam, atau budaya.
Semua bisa dilakukan dengan dukungan orangtua yang mulai percaya pada tujuan sekolah untuk berubah menjadi menyenangkan. Dari sini, pembelajaran pun berubah dari metode ceramah satu arah menjadi interaktif karena mengajak siswa aktif, berekplorasi, dan bernalar kritis. Para siswa dibawa untuk berimajinasi menjadi versi terbaik dirinya dengan inspirasi dan dukungan dari para guru.
Baca juga: Mengubah Didikan ”Rotan” Menjadi Sekolah Menyenangkan

Guru-guru yang gelisah dengan mutu pendidikan rendah terus bergerak. Salah satumya guru di SD Negeri Pendulan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, yang bergabung di komunitas Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM).
Sementara itu di SD Negeri Pendulan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, kepala sekolah dan guru berkolaborasi dengan orangtua untuk mendukung misi sekolah yang tidak hanya memandang keberhasilan anak-anak dari nilai ujian yang tinggi. Paguyuban orangtua percaya pada perubahan sekolah yang tidak lagi sekadar berorientasi akademik, tapi menghargai potensi tiap siswa dalam berbagai sisi, seperti seni, olahraga, atau bahkan perbuatan-perbuatan kebaikan anak.
Co-Founder GSM Novi Poespita Candra mengatakan, dunia pendidikan butuh banyak guru dengan sosok meraki (bahasa Yunani artinya melakukan sesuatu dengan jiwa, kreativitas, dan cinta). ”Dalam diri anak ada kegembiraan belajar sehingga rasa ingin tahu dan berpikir kritis bisa dibangun dalam proses pembelajaran di sekolah,” ujar dosen Psikologi Universitas Gadjah Mada tersebut.
Rasa gelisah pada cara mengajar yang monoton dan tidak menyenangkan juga mendorong banyak guru di berbagai pelosok negeri untuk mendaftar menjadi calon guru penggerak. Kesempatan menjadi guru penggerak akan membuat guru diajak memahami dan mengimplementasikan pembelajaran dengan paradigma baru yang berpusat pada anak, salah satunya dengan menerapkan pendidikan berdiferensiasi.
Sri Wantoro yang awalnya merupakan guru Bahasa Inggris kini menjabat sebagai Kepala SMAN 1 Mendobarat, Kota Pangkal Pinang, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Ia selalu haus untuk belajar. Namun, kesempatan untuk mendapatkan pengembangan kompetensi diri susah ia dapatkan.
”Baru di angkatan ke-4 ada guru dari Pangkalp Pinang yang masuk Program Guru Penggerak. Saya ikut karena selama lebih dari 20 tahun menjadi guru merasa belum mendapat pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan. Apalagi, ini pelatihan tingkat nasional yang dilaksanakan selama sembilan bulan. Saya yakin ini bukan program main-main. Jadi, saat ikut karena membutuhkan, jauh dari pikiran untuk mengejar jabatan sebagai kepala sekolah,” kata Wantoro.
Dalam berbagai kesempatan, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim mengatakan, transformasi pendidikan harus dilakukan untuk mengatasi ketertinggalan. Kebijakan Merdeka Belajar dengan banyak episodenya adalah untuk mewujudkan sekolah masa depan Indonesia yang menyenangkan.
Hasil belajar dan karakter siswa yang rendah ternyata sangat dipengaruhi oleh kualitas pendidik dan tenaga kependidikan. Terpotret dari hasil AN, sekolah belum memiliki lingkungan belajar yang ideal.
Ibarat membangun suatu rumah, semua komponen punya peran yang penting dan tidak terpisahkan. Perubahan harus dijalankan secara paralel sambil memastikan fondasi untuk transformasi sistem pendidikan masa depan siap, kokoh, dan berkelanjutan.
Asesmen Nasional 2021 dan 2022 bertujuan memotret dengan lebih detail mutu pendidikan di tiap sekolah dan daerah. Capaian belajar siswa dalam literasi dan numerasi terpotret masih rendah, terutama di tingkat SD. Lalu, karakter baik yang berlandaskan nilai-nilai Pancasila juga belum membudaya di sekolah.
Hasil belajar dan karakter siswa yang rendah ternyata sangat dipengaruhi oleh kualitas pendidik dan tenaga kependidikan. Terpotret dari hasil AN, sekolah belum memiliki lingkungan belajar yang ideal.
Kekerasan seksual, perundungan, dan intoleransi di sekolah masih tinggi. Para guru belum mampu menghadirkan proses belajar berkualitas yang memperkuat kompetensi dan kemampuan berpikir siswa dari pembelajaran di kelas.
Kesenjangan mutu pendidikan juga menjadi persoalan serius. Skor literasi terbaik di kabupaten luar Jawa sama dengan skor literasi terendah di kota-kota besar Pulau Jawa.
”Saat ini perubahan yang dilakukan dalam sistem pendidikan butuh menggeser paradigma lama. Pendekatan yang dilakukan tidak lagi dengan memaksakan semua sama, tapi memberikan lebih besar ruang fleksibilitas bagi guru, sekolah, dan siswa untuk bergerak mencapai tujuan pendidikan yang relevan,” kata Nadiem.
Baca juga: Pemulihan Pendidikan Bergerak dengan Terobosan Merdeka Belajar

Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim berdialog dengan mahasiswa dan dosen dari sejumlah kampus di Medan di Universitas Sumatera Utara, Selasa (26/10/2021).
Secara terpisah, peneliti Badan Riset dan dan Inovasi Nasional (BRIN), Dini Dwi Kusumaningrum, di webinar Hari Pendidikan Nasional bertajuk ”Wajah Pendidikan Kini: Filosofi, Orientasi, Kebijakan, dan Praktik” di Jakarta, Senin (1/5/2023), mengatakan, kebijakan pendidikan saat ini juga dipengaruhi oleh pemimpin negara. Dalam dua periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo, sektor ekonomi menjadi fokus utama. Adapun pembangunan sumber daya manusia, salah satunya lewat pendidikan, sebenarnya juga dalam rangka untuk mendukung ekonomi.
”Momentum pemilihan umum dan pemilihan presiden harus bisa dimanfaatkan untuk membuat wacana pendidikan masuk dalam perdebatan publik guna menghadirkan pendidikan yang holistik, yang tidak sekadar melayani kebutuhan industri,” kata Dini.
Sementara itu, Wakil Ketua Bidang Pendidikan dan Kebudayaan Perkumpulan Nusantara Utama Cita (NUCircle) Achmad Rizali menyoroti kebijakan pendidikan pemerintah yang masih dengan nuansa kepentingan tertentu. Akibatnya, anggaran pendidikan yang meningkat tak berkolerasi untuk mengatasi masalah-masalah dasar pendidikan, termasuk dalam ketertinggalan literasi dan numerasi.
Rizali memprotes terbitnya Surat Edaran (SE) Menteri Dalam Negeri yang terkesan mengarahkan anggaran daerah dibelanjakan untuk pelatihan numerasi yang spesifik dengan tagline Gampang, Asyik, dan Menyenangkan (Gasing) yang dimiliki orang tertentu. Kebijakan percepatan pendidikan numerasi diakui sebagai langkah progresif yang dilakukan Kementerian Dalam Negeri dan bisa menjadi energi besar untuk membawa perubahan pendidikan numerasi yang secara nasional bermutu sangat rendah.
”Di satu sisi, kami sangat mengapresiasi langkah progresif yang dilakukan Mendagri untuk memecah kebuntuan atas buruknya mutu matematika di sekolah dasar. Kementerian pembina saja tidak melakukan langkah seprogresif ini. Di sisi lain, kami menyayangkan isi SE itu yang seolah-olah hanya ditujukan kepada lembaga pelatihan dengan brand tertentu,” tegas Rizali, salah satu penggagas Gerakan Pemberantasan Buta Matematika (Gernas Tastaka) dan Gerakan Pemberantasan Buta Membaca (Gernas Tastaba).
Ditegaskan Rizali, persoalan buruknya kompetensi numerasi, membaca, dan sains terutama di SD/MI adalah nyata dan sangat merisaukan. Laporan Human Capital Index (2018) bahkan telah memprediksi anak Indonesia dalam usia 18 tahun memiliki produktivitas sangat rendah.
”Dalam laporan HCI itu ditegaskan, 18 tahun sejak laporan itu diterbitkan (2018), anak Indonesia hanya memiliki angka produktivitas 54 persen. Lebih rendah dari anak-anak Palestina yang memiliki skor 56 persen atau Singapura yang 88 persen. Artinya, sembilan tahun sebelum peringatan 100 tahun HUT Indonesia, yaitu tahun 2045, anak Indonesia hanya menjadi beban pembangunan nasional karena produktivitasnya yang buruk,” ujar Rizali.

Guru-guru SD di Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, menunjukkan media belajar Matematika di acara Festival Matematika, Sabtu (18/12/2021).
Melihat permasalahan yang begitu besar, ditegaskan Rizali, upaya percepatan peningkatan kompetensi numerasi, termasuk membaca dan sains, di SD tidak bisa hanya dilakukan oleh sebuah lembaga pelatihan sendirian. Persoalan ini harus menjadi persoalan negara dan seluruh masyarakat Indonesia.
”Percepatan peningkatan numerasi sekolah dasar hanya bisa dilakukan dalam sebuah gerakan nasional. Semua orang dan semua elemen bangsa harus terlibat dalam pemberantasan buruknya kompetensi numerasi dan membaca. Regulasinya pun tidak hanya sebatas SE Mendagri, tetapi keputusan presiden atau instruksi presiden,” kata Rizali.