Sistem Pendidikan Indonesia Dinilai Belum Mampu Naik Level
Sistem pendidikan Indonesia harus mulai naik level dari keberhasilan meningkatkan akses ke terdongkraknya kualitas pendidikan. Perlu aksi untuk menyatukan tujuan dan menyelaraskan sejumlah aktor pendidikan.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·5 menit baca
KOMPAS/ESTER LINCE NAPITUPLU
Siswa SD Negeri Waikelo di Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur, Selasa (31/5/2022), memanen tanaman kangkung dari kebun pangan sekolah yang didukung Kelas Lentera Kuark. Menanam kangkung menjadi proses belajar literasi, numerasi, dan karakter bagi siswa.
JAKARTA, KOMPAS — Pendidikan Indonesia mengalami banyak kemajuan dalam menyukseskan akses pendidikan. Namun, sistem pendidikan saat ini belum mampu membawa Indonesia untuk naik ke level berikutnya. Karena itu, Indonesia harus membenahi sistem pendidikan yang mampu beradaptasi menghadapi tantangan yang lebih tinggi dengan perubahan radikal.
Sistem pendidikan Indonesia yang sejak 1970-an berfokus pada akses pendidikan kini meningkat sehingga menambah waktu anak belajar di sekolah. Namun, tingkat kinerja edukasi di Indonesia belum bisa mengejar tantangan dan realitas kondisi ekonomi dan visi Indonesia. Pemerintah perlu membuat gebrakan sistem pendidikan yang dapat menghadapi tantangan berbeda dibandingkan 25 tahun lalu.
”Kita menghargai upaya yang dilakukan pemerintah sehingga anak-anak Indonesia bisa sekolah sampai kelas 12. Perluasan infrastruktur dan jumlah guru, serta logistik pendidikan yang luar biasa mendorong kemajuan pendidikan. Namun, kini kita tidak lagi di masa berjalan di dataran yang rata dan sudah selesai. Kita butuh skill berbeda untuk menghadapi tantangan ini,” kata Direktur Riset dari program Research on Improving System of Education (RISE) Profesor Lant Pritchett di acara workshop RISE bertajuk ”Lawan Krisis Pembelajaran Tingkatkan Kemampuan Dasar Siswa” di Jakarta, Selasa (2/8/2022). Program RISE dilakukan di Vietnam, Indonesia, Pakistan, India, Tanzania, Etiopia, dan Nigeria.
Lant mengatakan, dari penelitian RISE selama lima tahun terakhir, ada lima aksi/tindakan untuk dapat menggerakkan sistem pendidikan negara berkembang, termasuk Indonesia, ke level berikutnya. Meskipun lima aksi tersebut tampaknya lazim diketahui, sering tidak dilakukan dalam sistem pendidikan dan menuntut perubahan yang mendalam untuk mencapai dan mengimplementasikannya.
Aksi pertama ialah komitmen pada fondasi belajar sebagai tujuan untuk melengkapi anak-anak kemampuan yang mereka butuhkan. ”Ini bukan berarti kemampuan dasar saja, melainkan kemampuan yang bisa dikembangkan. Hal ini bisa sukses dengan mendorong sistem untuk berpusat pada tujuan bersama,” kata Lant.
Adaptasi lokal
Lant mencontohkan, dari riset di Vietnam, perencanaan sempurna tidak serta-merta mendatangkan kesuksesan. Kerja keras di tingkat lokal dan melibatkan banyak aktor untuk berubah pada tujuan yang sama memungkinkan sistem pendidikan maju. Sebaliknya, membawa praktik terbaik dari negara lain ke suatu negara jika tidak disesuaikan dengan kondisi dan kemampuan lokal, maka perbaikan sekolah dampaknya tidak mendalam.
”Estimasi yang dibuat sering kali over optimis dengan apa yang terjadi di lapangan dan tidak panik dengan krisis belajar di lapangan. Perencanaan untuk perubahan harus realistis dengan kondisi saat ini,” katanya.
Aksi kedua ialah mengukur pembelajaran untuk memberi umpan balik pada pembelajaran sehingga tahu kemajuannya. Pengukuran ini sebagai masukan bagi guru agar bisa mengadaptasi pelajaran yang diberikan sesuai dengan kondisi dan kemampuan siswa. Ada riset kemampuan Matematika siswa Indonesia di kelas 6 dan 11. Hasilnya, ditemukan kemampuan siswa menurun meskipun jam belajar meningkat.
Aksi selanjutnya ialah menyelaraskan sistem. Kenyataannya sejumlah elemen tidak selaras dan tidak bergerak pada tujuan yang sama. Kurikulum, asesmen/ujian, dan instruksi pada guru sering tidak selaras dengan tujuan yang ingin dicapai.
Mendukung pengajaran juga jadi aksi yang penting. Mendukung pengajaran yang efektif dan praktik pembelajaran berarti memberikan dukungan yang baik dan efektif kepada guru agar memiliki kemampuan mengajar berkualitas.
Suasana diskusi pendidikan Beranda PSPK bertajuk ”Zonasi dan Pemerataan kesempatan Pendidikan” di Jakarta, Rabu (25/7/2018). Pemerintah daerah diminta menunjukkan komitmen membenahi pendidikan di daerah seiring diberlakukannya zonasi sekolah.
Selanjutnya aksi untuk mengadaptasi kebijakan dan praktik guna mencapai kemajuan berkelanjutan sesuai konteks lokal. ”Di Indonesia, negara luas dengan 514 kota/kabupaten, pendekatan adaptif sangat penting supaya sesuai dengan keadaan lokal. Riset RISE menunjukkan Indonesia berusaha menemukan inovasi edukasi yang bisa diadaptasi dengan baik sesuai kondisi di sejumlah tempat. Ada pelbagai budaya setempat yang berbeda. Jadi ada proses adaptasi sesuai nilai setempat sehingga mampu menghadapi gunung tinggi dan ketidakpastian di depan,” ujar Lant.
”Seperti besi dan magnet, perlu menyelaraskan molekul. Kalau ke arah sama, bisa mencapai hal yang luar biasa,” katanya.
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim mengapresiasi pandangan dan masukan obyektif dari RISE untuk mendukung transformasi pendidikan di Indonesia lewat terobosan Merdeka Belajar. Sejumlah kebijakan dan program akselerasi dilakukan untuk mengatasi kehilangan capaian pembelajaran sebelum dan selama pandemi, termasuk adanya rapor pendidikan yang mendiagnosis kesenjangan kualitas pendidikan di daerah. Para guru juga dikuatkan peningkatan kapasitasnya lewat platform Merdeka Mengajar.
Belum selaras
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi X DPR Hetifah Sjaifudian mengatakan, dengan sistem pendidikan yang terdesentralisasi, sampai saat ini masih banyak masalah. Pemda mengeluh meskipun merasa kebijakan pemerintah pusat bagus, seperti mengatasi krisis belajar di masa pandemi, tetapi merasa belum mendapat informasi yang jelas dan butuh dukungan.
”Memang, belum semua elemen selaras. Antara pemerintah pusat dan pemda juga terlihat masih ada yang belum selaras. Seperti di seleksi guru PPPK, meskipun pemerintah pusat sudah meyakinkan pendanaan dari APBN, ada pemda yang belum mendukung karena khawatir terganggu APBD-nya,” kata Hetifah.
Santi Juliana Senduk (kiri), guru Bahasa Jepang, dan Dolvina Lea Ansanay (kanan), guru Geografi di SMA Gabungan Jayapura, Papua, menjadi guru penggerak angkatan pertama di Kota Jayapura. Para guru mendapat pendampingan untuk menerapkan pembelajaran dengan paradigma baru, salah satunya dengan Kurikulum Merdeka yang berpusat pada siswa.
Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia Danang Hidayatullah mengakui, untuk selaras dan bersinergi dalam mewujudkan gagasan dan impian tentang kualitas pendidikan, masih menjadi tantangan. Jika memang tujuannya untuk memperkuat fondasi belajar siswa, seperti yang tecermin di PISA kemampuan literasi dan numerasi rendah, seharusnya kebijakan saat ini, antara lain Kurikulum Merdeka yang didukung juga dengan Guru Penggerak, Sekolah Penggerak secepatnya diperluas agar tidak menimbulkan kecemburuan sosial.
”Kesempatan guru untuk mendapat pelatihan dan pengembangan kapasitas pembelajaran tidak merata, padahal ditargetkan juga meningkatkan kualitas pendidikan,” kata Danang.