Impor Beras, Menyusutnya Sawah di Jawa dan Pergeseran Pola Konsumsi
Upaya pemenuhan pangan nasional yang berkualitas tidak akan bisa terwujud jika hanya bertumpu pada beras yang konsumsinya terus meningkat. Diversifikasi pangan lokal menjadi jawabannya.
Pemerintah kembali membuka keran impor beras dengan target 500.000 ton di pergantian tahun ini. Meskipun dilatari perbedaan data produksi dan stok, impor kali ini menunjukkan sulitnya mencapai swasembada beras jika tidak diikuti dengan diversifikasi pangan.
Sebanyak 4.900 ton beras impor asal Vietnam telah sampai di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Jumat (16/12/2022). Jumlah ini merupakan bagian dari rencana impor beras sebesar 200.000 ton yang akan direalisasikan hingga akhir Desember 2022 dan direncanakan mencapai 500.000 hingga Januari 2023 (Kompas.id, 16/12/2022).
Indonesia nyaris tidak pernah absen mengimpor beras sejak merdeka, dengan volume yang bervariasi. Bahkan, saat dinyatakan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) berhasil mencapai swasembada beras pada tahun 1984, Indonesia juga masih mengimpor beras sebesar 414,3 ribu ton. Impor ini memang lebih kecil dibandingkan tahun-tahun sebelumnya yang mencapai jutaan ton dan lebih dari 90 persen dari kebutuhan beras nasional pada tahun itu dari produksi dalam negeri.
FAO dan Lembaga Penelitian Padi Internasional (IRRI), kembali memberi penghargaan atas keberhasilan Pemerintah Indonesia mencapai swasembada beras 2019-2021. Sepanjang periode tersebut, Indonesia dinilai berhasil memenuhi kebutuhan beras nasional dengan produksi beras nasional. Bulog yang biasanya mengimpor beras 1-1,5 juta ton per tahun untuk mengisi cadangan beras pemerintah (CBP) serta intervensi pasar, pada periode itu tidak melakukan impor.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, pada periode itu, Indonesia sebenarnya masih impor beras, yaitu 444.508 ton pada 2019, lalu 356.286 ton pada 2020, dan 407.741 ton pada 2021. Namun, impor ini merupakan beras premium dan beras patah untuk campuran pakan. Sedangkan beras medium yang umumnya dikonsumsi masyarakat dianggap bisa dipenuhi oleh produksi beras nasional.
Kementerian Pertanian (Kementan) mengklaim surplus beras hingga akhir tahun 2022 ini bisa mencapai 6,9 juta ton. Faktanya, harga beras di pasar yang terlalu tinggi akibat rendahnya stok beras Bulog sangat rendah, sehingga dianggap perlu adanya impor. Hingga 6 Desember 2022, stok beras bulog hanya 494.202 ton, dinilai sangat rendah sehingga diputuskan melakukan impor.
Sekalipun berbagai upaya sebenarnya telah dilakukan, tapi upaya untuk lepas dari ketergantungan impor beras bakal semakin sulit dilakukan ke depan, karena adanya masalah mendasar, baik dalam produksi maupun pola konsumsi.
Baca juga: 4.900 Ton Beras Impor dari Vietnam Tiba di Indonesia
Masalah produksi dan konsumsi
Data BPS menyebutkan, pada 2022, Indonesia mampu memproduksi beras hingga 31,9 juta ton dan Indonesia merupakan negara produsen beras terbesar keempat dunia. Angka ini sedikit meningkat jika dibandingkan produksi beras tahun 2021 sebesar 31,3 juta ton dan produksi tahun 2020 sebesar 31,5 juta ton.
Jika dilihat dari perspektif jangka panjang, produksi beras nasional cenderung stagnan, dengan fluktuasi yang tidak terlalu signifikan. Data BPS misalnya menunjukkan pada tahun 2004 produksi padi nasional 54,09 juta ton gabah kering giling (GKG) setara 30,41 juta ton beras. Upaya cetak sawah baru di luar Jawa, yang dilakukan ekstensif oleh Prsiden Joko Widodo sejak 2015 belum membuahkan hasil signifikan pada peningkatan produksi.
Langkah untuk meningkatkan produksi padi ke depan juga akan semakin berat seiring dengan menguatnya dampak krisis iklim. Tanaman padi, termasuk yang paling rentan dengan krisis iklim ini.
Riset terbaru Edvin Adrian dan Elza Surmani dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menunjukkan, Indonesia dapat kehilangan nilai ekonomi padi rata-rata Rp 42,4 triliun per tahun pada 2051-2080 dan meningkat menjadi Rp 56,45 triliun per tahun pada 2081-2100 (Kompas, 24 November 2022). Penurunan produksi ini, baik karena dilanda bencana hidrometeorologi maupun serangan hama yang semakin intens karena pemanasan global, dan hal ini sebenarnya telah terjadi sejak beberapa tahun terakhir.
Selain masalah iklim, data juga menunjukkan, lebih dari separuh produksi padi nasional dihasilkan di Pulau Jawa, yang luasannya kurang dari 7 persen daratan di Indonesia. Pada tahun 2021, menurut data BPS, produksi padi di Jawa mencapai 30,5 juta ton GKG atau 56 persen dari total 54,42 juta ton GKG produksi nasional.
Tiga provinsi di Pulau Jawa, yakni Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat menjadi lumbung padi terbesar, yang masing-masing menghasilkan padi di atas 9 juta ton, jauh melampaui kapasitas produksi provinsi lainnya. Provinsi dengan produksi padi terbesar di luar Jawa adalah Sulawesi Selatan, yakni mencapai 5,09 juta ton GKG. Diikuti Sumatera Selatan, Lampung, dan Sumatra Utara dengan produksi padi masing-masing di atas 2 juta ton GKG.
Ketergantungan produksi padi di Pulau Jawa ini sangat berisiko, karena pada saat yang sama terjadi penyusutan lahan sawah di kawasan ini untuk berbagai penggunaan lain. Menurut perhitungan Dwi Andreas Santosa, Guru Besar Bioteknologi Tanah IPB University, dengan mengacu data Badan Pertanahan Nasional (BPN), pada 2012 luas lahan sawah di Indonesia 8,4 juta ha dan pada 2019 menjadi 7,4 juta ha. Jadi, dalam tujuh tahun telah menyusut sekitar 1 juta ha.
Penyusutan luas lahan pertanian terbesar berdasar data BPN terjadi di Pulau Jawa, yaitu dari 4,1 juta ha pada tahun 2007 menjadi 3,5 juta ha pada 2010. Dalam periode Tahun 2007-2010, konversi lahan sawah di Pulau Jawa mencapai 600.000 ha.
Untuk menambal penyusutan sawah di Jawa ini, pemerintah telah berupaya membuka lahan baru sawah di beberapa wilayah lain di luar Pulau Jawa. Namun demikian, upaya cetak sawah baru di berbagai wilayah di luar Jawa, banyak menuai masalah.
Selain hasilnya tidak maksimal, hal ini kerap memicu masalah baru, baik dari aspek lingkungan maupun sosial budaya. Dari aspek lingkungan, tidak semua wilayah Indonesia cocok untuk dibudidayakan padi. Kalaupun bisa ditanami padi, biasanya produktivitasnya masih sulit menggantikan sawah di Jawa. Secara sosial-budaya, tidak semua penduduk di Indonesia memiliki budaya bercocok tanam padi.
Reportase Kompas di Kalimantan Tengah pada Agustus 2022 lalu menemukan, proyek cetak sawah baru di Kalimantan Tengah menuai berbagai persoalan, sehingga tidak bisa memberikan hasil maksimal. Sementara itu, upaya menjadikan Merauke sebagai lumbung pangan sejak proyek MeraukeIntegrated FoodandEnergyEstate (MIFEE) yang diresmikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2010 dan kemudian dilanjutkan dengan berbagai cetak sawah baru oleh Presiden Joko Widodo sejak 2015 juga banyak menuai masalah.
Sekalipun Merauke saat ini telah surplus beras, di antaranya karena program transmigrasi yang telah berlangsung sejak 1960-an, proyek lumbung pangan yang dipromosikan dengan slogan "beri makan Indonesia dan beri makan dunia," ini justru gagal memberikan pangan yang berkualitas bagi masyarakat Marind-Anim. Reportase Kompas pada awal Desember 2022 di Merauke menemukan pergeseran pola pangan tradisional dan beralih ke beras dan mi instan, serta berbagai masalah gizi karena hilangnya akses terhadap hutan yang menjadi sumber protein hewani.
Tak hanya di Papua, kecenderungan perubahan pola konsumsi masyarakat yang semakin meninggalkan keragaman pangan lokal beralih ke beras terjadi di hampir semua daerah. Hal ini menambah masalah besar bagi pemenuhan beras nasional, selain pertumbuhan populasi.
Jika mengacu pada data BPS, sekalipun pada 2022, Indonesia merupakan negara produsen beras keempat dunia, tapi tingkat konsumsi beras juga sangat besar, yakni 30,2 juta ton atau pengonsumsi beras terbesar keempat dunia.
Untuk mengatasi masalah ini, diversifikasi pangan lokal menjadi tak bisa ditawar-tawar lagi. Upaya ini bisa dimulai dengan merevisi indikator pola pangan harapan (PPH) nasional yang bias beras.
Masih menurut data BPS, tingkat konsumsi beras penduduk Indonesia, secara rata-rata mengalami peningkatan sejak pandemi. Pada 2018 konsumsi beras dari semua jenis, rata-rata 1,404 kg per kapita per minggu. Jumlah ini kemudian sempat turun menjadi 1,374 kg per kapita per minggu pada 2019. Namun, pada 2020 rata-rata konsumsi beras naik ke 1,379 kg per kapita per minggu dan pada 2021 menjadi 1,451 kg per kapita per minggu.
Selain ketergantungan pangan pokok pada beras, Indonesia saat ini juga mengalami jebakan baru dengan tergantung pada gandum, yang hampir 100 persen impor. Bahkan, proporsi pangan berbasis gandum di Indonesia terus tumbuh, bahkan selama pandemi Covid-19. Pada tahun 2021 proporsi gandum sebagai komponen pangan sudah mencapai 28 persen, meningkat 26,6 persen dibanding 2020 (Kompas, 12 Oktober 2022).
Tingginya konsumsi gandum ini menjadikan Indonesia sebagai pengimpor gandum terbesar di dunia dengan estimasi 11,2 juta ton pada 2022 (indexmundi.com). Indonesia juga menjadi negara dengan defisit ekspor-impor gandum terbesar di dunia, dengan nilai 3,5 miliar dollar AS pada 2021. Defisit ekspor bersih ini naik 35,6 persen sejak 2020 (worldstopexports.com).
Menggantungkan pangan pokok, baik beras maupun gandum, dari impor, jelas menunjukkan ketidakberdaulatan pangan kita. Bahkan, hal ini juga melemahkan ketahanan pangan, terutama jika krisis pasokan dan harga pangan global juga bermasalah sebagaimana terjadi saat ini.
Untuk mengatasi masalah ini, diversifikasi pangan lokal menjadi tak bisa ditawar-tawar lagi. Upaya ini bisa dimulai dengan merevisi indikator pola pangan harapan (PPH) nasional yang bias beras.
Selama ini, PPH yang menjadi acuan bagi perencanaan pembangunan, menetapkan padi-padian 50 persen, sementara umbi-umbian, termasuk sagu di dalamnya, hanya 6 persen. Selain itu, pangan hewani 12 persen, minyak dan lemak 10 persen, sayur 6 persen, kacang-kacangan 5 persen, gula 5 persen, buah 3 persen, dan lain-lain 3 persen. Skor PPH ini diterapkan secara nasional, sehingga daerah yang memiliki potensi dan tradisi pangan non-beras seperti Papua dan Maluku pun dipaksa untuk memenuhi kecukupan padi-padian 50 persen.
Padahal, Indonesia memiliki keberagaman sumber pangan, yang tumbuh di berbagai kondisi lingkungan daerah yang spesifik dan secara tradisional juga menjadi bagian diet masyarakat. Berbagai laporan ilmiah juga menunjukkan, penganekaragaman konsumsi merupakan elemen penting bagi pemenuhan gizi yang seimbang.
Baca juga: Marind Anim yang Dipaksa Meninggalkan Sistem Pangan Lokal
Aspek lain adalah lokalitas pangan yang akan memangkas rantai pasok. Semakin pendek rantai pasoknya, artinya semakin berdaya tahan dari krisis dan tentu saja semakin sedikit jejak karbonnya, sehingga lebih ramah iklim.