Marind Anim yang Dipaksa Meninggalkan Sistem Pangan Lokal
Hilangnya akses terhadap hutan telah menyebabkan kerentanan pangan masyarakat Marind-anim di Papua.
Oleh
AHMAD ARIF, SAIFUL RIJAL YUNUS, Yohanes Advent Krisdamarjati
·7 menit baca
KOMPAS/AGUS SUSANTO (AGS)
Solomon Maywa (30), lelaki suku Kanume, subsuku Marind Anim Anim berburu kanguru yang biasa disebut "saham" di hutan ulayatnya di Dusun Yakyu, Kampung Rawa Biru, Distrik Sota, Kabupaten Merauke, Papua, Kamis (12/3/2020). Perburuan kanguru di kawasan TN Wasur diperbolehkan asal menggunakan metode tradisional dengan panah atau tombak. Jumlah yang diburu pun terbatas, yakni hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga. Sebelum TN Wasur dibentuk pada 1997, perburuan tradisional sudah menjadi bagian kehidupan sehari-hari Suku Marind Anim selama ribuan tahun. Perburuan dengan pola itu menjamin keberlangsungan satwa karena hanya mengambil secukupnya untuk konsumsi sendiri.
Hutan telah menjadi bagian penting dari sistem pangan Marind Anim, masyarakat asli di Merauke. Namun demikian, sejak adanya proyek raksasa lumbung pangan dan energi atau MIFEE pada tahun 2010 yang menargetkan untuk mengonversi 1,2 juta lahan di Merauke, akses masyarakat Marind Anim terhadap hutannya menjadi goyah yang kemudian mempercepat perubahan pola pangan.
Masyarakat Marind Anim secara tradisional mengandalkan hutan dan rawa-rawa sebagai sumber penghidupan mereka. Dari kawasan hutan, mereka mendapatkan sagu, dan berbagai binatang buruan seperti rusa, kukang, kasuari, unggas, kanguru, babi hutan, hingga buaya.
Selain itu, hutan juga menumbuhkan aneka buah-buahan termasuk mangga, rambutan, pepaya, pisang, nangka, dan kelapa, selain aneka dedaunan dan umbut untuk sayur. Hutan juga menyediakan kulit kayu, gambir, dan damar.
Lambert Ndiken (67), tetua adat Kampung Baad, Distrik Animha mengatakan, tak hanya memiliki fungsi sebagai sumber pangan, hutan juga pusat kosmologi. Hutan adalah ‘Ibu’ yang diasosiasikan sebagai pemberi kehidupan serta pintu religius untuk berhubungan dengan Demai atau roh leluhur.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Solomon Maywa (30), lelaki suku Kanume, subsuku Marind Anim Anim naik perahu untuk berburu kanguru yang biasa disebut "saham" di hutan ulayatnya di Dusun Yakyu, Kampung Rawa Biru, Distrik Sota, Kabupaten Merauke, Papua, Kamis (12/3/2020). Perburuan kanguru di kawasan TN Wasur diperbolehkan asal menggunakan metode tradisional dengan panah atau tombak. Jumlah yang diburu pun terbatas, yakni hanya untuk memenuhi kebutuhan makan keluarga.
Hutan juga sumber identitas mereka, yang dapat dikenali melalui totem tiap marga Marind-anim yang berkaitan dengan tumbuhan atau hewan tertentu di hutan. Misalnya, marga Balagaize memiliki kaitan dengan buaya dan burung elang, Gebze disimbolkan dengan pohon kelapa, Kaize dengan kasuari, samkakai dengan kangguru, dan marga Mahuze ditandai oleh sagu.
Di antara berbagai sumber pangan yang diramu dari hutan, sagu memiliki posisi sangat penting. Bukan hanya karena sagu kaya dengan karbohidrat, namun juga identitas budaya. Tepung sagu biasanya dikonsumsi sebagai dakh sep (sagu sep), yaitu mencampur pati sagu dengan daging, larva kumbang, atau ikan lalu membungkusnya dengan daun pisang dan dimasak di atas batu panas yang dilapisi pelepah sagu atau kulit kayu putih.
"Dakh sep harus ada dalam setiap acara adat, seperti upacara kematian keluarga kali ini. Kalau belum ada dakh sep yang kemudian dibagi-bagi kepada semua keluarga yang datang, acara adat belum sah," kata Lambert.
Mencampur pati sagu yang memiliki kandungan karbohidrat tinggi, namun rendah protein, dengan daging, larva, atau ikan yang kaya protein, menunjukkan adanya pengetahuan tentang diet seimbang. Menu ini, secara turun-temurun menjadi penopang gizi keluarga Marind anim. Sagu adalah makanan leluhur, juga identitas Marind Anim. "Kalau kita sudah sama-sama makan sagu, artinya sudah jadi satu keluarga," kata dia.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Suku Marind anim hidup di bivak di Distrik Animha, Kabupaten Merauke, Papua, Rabu (9/11/2022). Mereka membawa satu keluarga selama seminggu hidup di bivak dengan mengumpulkan ranting dan dahan yang biasa disebut leles.
Lambert ditemui pada Rabu (10/11/2022), di sela-sela upacara bakar batu sagu sep, dalam peringatan 40 hari kematian mantan Kepala Kampung Baad. Ratusan orang dari sejumlah marga pagi itu berkumpul di jalan kampung, mengelilingi dakh sep yang telah dibakar di atas batu semalaman.
Saat batu-batu yang mulai mendingin mulai disingkirkan dan kulit kayu putih dikelupas, mulai tercium harum daging, bercampur asam sagu, dan sangit daun pisang yang khas. Dakh sep itu kemudian dipotong-potong dan dibagikan kepada semua yang hadir, dalam bongkahan seperti pizza tebal. "Sekarang kami makan sagu hanya kalau ada upacara. Sehari-hari kami sekarang makan beras," kata Lambert.
Sekarang kami makan sagu hanya kalau ada upacara. Sehari-hari kami makan beras.
Pergeseran pola pangan di Merauke mulai terjadi seiring dengan berbagai proyek cetak sawah yang dimulai Belanda di Distrik Kurik pada 1955. Pencetakan sawah di Merauke dilanjutkan Pemerintah Indonesia dengan program transmigrasi, terutama dari Jawa sejak awal 1970-an. Sebagian kawasan Merauke, khususnya di sekitar lokasi transmigrasi pun mulai terpapar dengan beras.
Perubahan pola makan ke beras, terutama terjadi setelah 2010 dengan adanya Proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Proyek ini menargetkan 1,2 juta hektar lahan di wilayah ulayat Marind Anim untuk dijadikan industri pangan, sawit, dan tebu. Industri pangan di ini meliputi percetakan sawah, jagung, dan kedelai.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Warga Marind anim memasak sagu di Kampung Zanegi, Distrik Animha, Kabupaten Merauke, Papua, Kamis (10/11/2022). Sagu memiliki posisi penting bagi masyarakat Marind anim. Selain kaya dengan karbohidrat dan penopang gizi, sagu yang menjadi makanan leluhur ini juga menjadi identitas budaya.
Sejak saat itu, banyak kawasan hutan Marind Anim berubah fungsi, terutama menjadi perkebunan sawit dan kayu. Jika sebelumnya perubahan pola makan karena terpengaruh dengan adanya beras sebagai sumber pangan baru yang diproduksi transmigran, sejak MIFEE, perubahan pola pangan terjadi karena orang Marind Anim kehilangan akses terhadap hutan yang sebelumnya menjadi sumber hidup mereka.
Sagu telah ditinggalkan
Untuk melihat dampak perubahan pola pangan dan implikasinya bagi kehidupan sosial ekonomi pada masyarakat lokal secara lebih detil, Tim Kompas melakukan survei kuantitatif di empat kampung, Zanige, Baad, Wonorejo, dan Bokem. Zanegi, Distrik Animha dihuni 637 jiwa, merupakan permukiman Marind Anim, yang terletak kurang lebih 100 kilometer di sebelah barat laut Kota Merauke.
Hutan Zanige telah menjadi bagian dari konsesi perusahaan hutan tanaman industri (HTI) dan mulai ditebang sejak 2010. Sejak itu mayoritas warga di kampung ini bekerja sebagai tukang leles atau pengumpul ranting dan sisa tanaman untuk kemudian dijual ke perusahaan.
Menteri Kehutanan melalui Surat Keputusan No.18/MENHUT-II/2009 pada 22 Januari 2009 telah memberikan konsesi kepada PT Selaras Inti Semesta (SIS) seluas 169.400 hektare, sekitar 2,5 kali luas DKI Jakarta (66.150 ha) dengan izin operasi selama 60 tahun dan dapat diperpanjang 35 tahun.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Seorang anak Marind anim bersiap menyantap sagu di Kampung Zanegi, Distrik Animha, Kabupaten Merauke, Papua, Kamis (10/11/2022). Sagu memiliki posisi penting bagi masyarakat Marind anim. Selain kaya dengan karbohidrat dan penopang gizi, sagu yang menjadi makanan leluhur ini juga menjadi identitas budaya.
Kampung Baad, Distrik Animha, juga dihuni oleh warga Marind Anim. Berbeda dengan Zanegi, hutan di Kampung Baad baru mulai dibuka perusahaan HTI. Kampung ini berjarak sekitar 25 kilometer ke arah timur dari Zanegi dan ditinggali oleh 445 penduduk. Kebanyakan warganya bekerja dengan mencari ikan di sungai atau rawa-rawa. Kampung ini menjadi representasi dari OAP yang relatif belum tersentuh lahannya oleh pihak luar.
Wonorejo di Distrik Kurik yang berpenduduk 617 jiwa merupakan kampung transmigran awal di Merauke. Selain bercocok tanam padi. Sementara Kampung Bokem berjarak 15 kilometer ke arah timur dari Bandara Internasional Mopah Merauke. Kampung berpenduduk 409 orang ini merupakan campuran transmigran dari luar Papua dengan Marind Anim, serta Mandobo dan Muyu yang bermigrasi dari Kabupaten Boven Digoel. Masyarakat Bokem hidup dengan bersawah serta berladang.
Pengumpulan data kuantitatif dilakukan dengan wawancara tatap muka terhadap 288 responden yang dibagi secara proporsional di empat kampung. Individu yang menjadi responden mewakili kondisi sehari-hari keragaman pangan yang dikonsumsi oleh keluarga responden.
Aspek yang digali melalui kuesioner antara lain profil ekonomi keluarga, tingkat pendidikan responden, serta ragam makanan yang dikonsumsi oleh keluarga responden dalam kurun waktu seminggu terakhir. Selain itu juga merekam kondisi kesehatan responden dengan menanyakan penyakit yang diderita dalam waktu sebulan terakhir.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Warga Marind anim bersiap menyajikan sagu di Kampung Zanegi, Distrik Animha, Kabupaten Merauke, Papua, Kamis (10/11/2022).
Survei lapangan yang dilaksanakan pada 8 hingga 15 November 2022 ini secara pertanggungjawaban ilmiah mencapai tingkat kepercayaan 95 persen dengan nirpencuplikan penelitian lebih kurang 5,37 persen. Hasil survei dapat secara representatif mewakili kondisi pemenuhan kebutuhan pangan dan kondisi kesehatan di empat kampung yang menjadi lokasi penelitian.
Secara teknis dalam proses pelaksanaan survei dibantu oleh warga lokal di tiap kampung. Peran mereka yakni mewawancarai penduduk dengan menggunakan instrumen kuesioner. Sebelumnya enumerator diberi pengarahan dan petunjuk pengisian sejumlah pertanyaan terkait profil responden, jenis makanan sehari-hari, serta kondisi kesehatan orang yang diwawancarai. Durasi survei di satu kampung memakan waktu sekitar dua hari.
Selain terkait makanan dan kesehatan, survei ini juga bertujuan memetakan pendapatan dan anggaran untuk belanja keluarga. Tiap kampung diambil empat responden untuk diwawancarai terkait belanja rutin bulanan mereka.
Secara garis besar kuesioner profil anggaran belanja keluarga memuat pertanyaan tentang tiga pos belanja rutin. Pertama yaitu belanja pangan dan energi. Selanjutnya pos pengeluaran kesehatan dan komunikasi. Pada pos ini terperinci biaya berobat, belanja kebutuhan bersih badan dan pakaian, serta biaya komunikasi seperti pulsa. Dalam pos pengeluaran ini termasuk juga anggaran keluarga untuk memberi uang jajan kepada anak-anak mereka.
Analisis kuantitatif menunjukkan kampung yang dihuni Marind anim mengalami transisi pola makan, beralih dari konsumsi makanan tradisional, seperti sagu, umbi-umbian, daging liar, dan menuju pola makan lebih banyak nasi, mi instan, dan aneka bahan makanan olahan dan ultra-olahan sehingga berisiko buruk bagi kualitas kesehatan. Bahkan, konsumsi mi instan sudah lebih tinggi dari sagu, yang sebelumnya jadi makanan pokok mereka.
Perubahan pola pangan ini meningkatkan kerentanan pangan, khususnya bagi masyarakat Marind Anim di Kampung Zanige dan Baad, yang telah kehilangan kemandirian pangan. Jika sebelumnya bisa memenuhi kebutuhan pangan dengan berburu dan meramu dari hutan, mereka kini tergantung pada pangan yang harus dibeli dari luar.
Data survei juga menunjukkan, kerentanan pangan paling tinggi terjadi di Kampung Zanegi, yang hutannya telah dibuka oleh perusahaan HTI. Selain paling miskin secara ekonomi, mereka juga paling banyak menghadapi persoalan gizi dan tingginya angka stunting atau tengkes pada anak-anak.