Sengkarut Lumbung Pangan Kalteng
Proyek ”food estate” atau lumbung pangan di Kalimantan Tengah disiapkan untuk menjawab kebutuhan pangan nasional berpotensi jadi sumber masalah baru. Proyek ini juga tidak bisa menggantikan sistem perladangan Dayak.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F08%2F29%2F991ac55e-5d39-463d-b381-74279e1d2c0c_jpg.jpg)
Tanaman singkong di areal pengembangan lumbung pangan (food estate) Desa Tewai Baru, Gunung Mas, terlihat kurus dan tak terawat, padahal sudah berumur lebih dari satu tahun, Minggu (24/7/2022),
JAKARTA, KOMPAS — Proyek food estate atau lumbung pangan di Kalimantan Tengah disiapkan untuk menjawab kebutuhan pangan nasional dan di tingkat lokal diharapkan bisa menggantikan sistem perladangan tradisional yang telah dilarang. Namun, temuan di lapangan menunjukkan berbagai persoalan yang dihadapi proyek strategis nasional ini sehingga bisa jadi sumber masalah baru.
Sejumlah temuan Kompas di lapangan pada 15-28 Juli 2022 itu mulai dari lahan singkong yang tampak tak terurus di Desa Tawai Baru, Kabupaten Gunung Mas, hingga bantuan pupuk dan kapur dolomit yang dibiarkan menumpuk di pinggir jalan di lokasi cetak sawah baru di sejumlah desa di Kabupaten Pulang Pisau dan Kabupaten Kapuas. Ketiga kabupaten ini adalah lokasi pengembangan lumbung pangan (food estate).
Direktur Perluasan dan Perlindungan Lahan Kementerian Pertanian Erwin Noorwibowo, dalam diskusi daring, Selasa (23/8/2022), mengatakan, program food estate di Kalimantan Tengah (Kalteng) dimaksudkan untuk keberlanjutan ketahanan pangan di masa depan. Hal ini karena alih fungsi sawah kini mencapai 100.000 hektar (ha) per tahun. Sementara itu, pertumbuhan penduduk sekitar 2,7 juta orang per tahun.
Para petani, yang berharap proyek ini bisa menjadi pengganti larangan berladang, mulai diliputi keraguan.
”Diperlukan upaya penambahan luas areal tanam melalui intensifikasi lahan dan ekstensifikasi lahan,” katanya.
Sesuai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2021, proyek lumbung pangan di Kalteng dibangun di Kabupaten Gunung Mas, Pulang Pisau, dan Kapuas. Untuk Gunung Mas dikelola oleh Kementerian Pertahanan (Kemenhan) dengan komoditas singkong. Sementara Pulang Pisau dan Kapuas dikelola Kementerian Pertanian (Kementan) dengan komoditas padi.
Singkong tak terawat
Penanaman singkong di Gunung Mas membuka hutan dan perkebunan masyarakat hingga 31.000 hektar (ha). Sekitar 600 ha lahan telah dibuka dan ditanami singkong sejak Maret 2021.
Pada awal Maret 2021, Kompas ke lokasi lumbung pangan di Desa Tewai Baru. Saat itu, sejumlah pekerja sedang memotong batang singkong sebagai bibit untuk ditanam. Varietas singkong yang digunakam, antara lain, singkong Kristal Merah, Iding, Carvita 25, Revita R1, Malang 4, Litbang UK2, Darul Hidayah, UJ 5, dan Adira 4.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2021%2F03%2F06%2F085bd2ae-cdb6-4297-850f-bcb3dc1b6bd2_jpg.jpg)
Pekerja menyiapkan bibit singkong di Desa Tewai Baru, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, Sabtu (6/3/2021). Ribuan batang singkong sudah ditanam di lokasi yang merupakan program cadangan logistik.
Sekretaris Desa Tawai Baru Arung mengatakan, penanaman singkong ini tidak melibatkan warga desanya. Pemilihan lahan juga tidak melibatkan desa dan pekerja untuk menanam kebanyakan didatangkan dari luar daerah.
”Sebelumnya kawasan itu hutan, tapi kalau petani di sini tidak akan menanam di sana, karena tanahnya pasir, sulit tumbuh tanaman,” katanya.
Minggu (24/7/2022), Kompas kembali ke lahanlumbung pangan di Tewai Baru ini. Tanaman singkong yang telah berumur lebih dari setahun terlihat kurus dan tak terawat. Tak ada lagi pekerja dan alat-alat berat yang sebelumnya untuk membuka lahan tampak menganggur.
Baca juga: Kebun Singkong 600 Hektar di Gunung Mas
Asisten Khusus Bidang Ketahanan Pangan Menteri Pertahanan Letjen (Purn) Ida Bagus Purwalaksana yang dikonfirmasi mengatakan, lumbung pangansingkong ini tidak terawat karena tidak ada anggaran untuk memelihara tanaman. ”Kendalanya, karena belum ada Perpres Food Estate untuk (Kemenhan) yang di antaranya mengatur anggaran. Tidak ada alokasi dana untuk memelihara singkong-singkong itu,” ungkapnya.
Menurut Ida, saat ini hanya ada anggaran dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat untuk infrastruktur. ”Jadi, tidak ada anggaran untuk memelihara tanaman singkong itu karena memang belum ada anggaran untuk Kemhan mengadakan food estate,” katanya.
Siti Maimunah, dosen dan peneliti dari Institut Pertanian Yogyakarta, Senin (29/8/2022) di Palangkaraya, mengatakan, lokasi ini sebenarnya tidak cocok untuk tanaman pangan karena tanah berpasir atau biasa disebut kerangas. ”Meski singkong sangat mudah tumbuh, kelihatan sekali daunnya tidak hijau, pohonnya juga bisa tidak subur,” katanya.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2020%2F11%2F28%2Fc91b8c6c-23f9-4d15-81d7-2149b4618301_jpg.jpg)
Spanduk lokasi program singkong dari Kementerian Pertahanan di Desa Tewai Baru, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, Sabtu (28/11/2020).
Setelah hutan dibuka wilayah yang kini ditanami singkong itu menjadi penuh spodosol tebal dan dangkal, artinya sudah menjadi tanah berproduktivitas rendah. Tanahnya menjadi berpasir setelah pohon-pohon ditebangi alat-alat berat.
”Ini sangat tidak cocok (untuk singkong), tanah seperti ini cocoknya untuk konservasi, kalau untuk tanaman tidak memberi hasil,” kata Siti.
Selain persoalan kecocokan lahan, proyek ini juga berpotensi memicu sengketa dengan warga. Menurut Arung, hingga saat ini terdapat lima desa yang menolak pembukaan lahan untuk lumbung pangan singkong karena sekitar 2.000 ha dari 31.000 ha lahan yang akan dibuka untuklumbung pangan ini berupa kebun bahkan rumah-rumah warga.
Baca juga: Anggota DPD RI Kalteng Minta Pembukaan Lahan untuk Kebun Singkong Dihentikan
Menanggapi ini, Ida Bagus mengatakan, angka keekonomiaan lumbung panganyang direncanakan memang 31.000 ha. ”Ini jadi intinya. Tapi nanti akan ada plasma. Tapi belum ada yang dieksekusi karena belum ada Perpres,” katanya.
Namun, kata Ida, tanah untuk lumbung pangan ini tanah negara yang ditunjuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dari hutan tidak produktif atau hutan produksi. ”Hal ini termasuk untuk lahan 2.000 hektar tersebut. Akan tetapi, pada saat akan dilakukan pembukaan lahan pada tahun 2020, lahan yang ditunjuk oleh KLHK itu kondisinya berbeda dengan yang di atas kertas. Masalah utama adalah adanya tumpang tindih data,” katanya.
Ida menambahkan, lahan 2.000 hektar itu sudah ada izin pelepasan dari KLHK. Namun, pada 2020 ketika lahan itu mau dikerjakan, Bupati menginfokan bahwa sebagian lahan tersebut sudah dikelola masyarakat.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2020%2F11%2F28%2F66ea41e7-2c83-431f-9924-9ddaa30dbe3d_jpg.jpg)
Sebuah alat berat tak bisa beroperasi lantaran tersangkut kayu di lokasi penanaman singkong di Desa Tewai Baru, Kabupaten Gunung Mas, Kalteng, Sabtu (28/11/2020). Di lokasi ini program pangan dengan menanam singkong mulai dibuka.
”Bupati menyarankan, jangan di situ dulu karena nanti berpotensi konflik dengan masyarakat. Pak Bupati juga membawa beberapa sertifikat tanah milik masyarakat yang posisinya di dalam kawasan seluas 2.000 hektar itu,” katanya.
Sementara Kemenhan juga belum ada anggaran untuk pengerjaan lumbung pangan, walaupun sudah ada izin dan tapal batasnya, lahan tersebut belum dikerjakan. ”Buat warga yang tidak mau menanam singkong, ya dibiarkan saja. Memang di lahan seluas 2.000 hektar itu ada kebun sawit, kebun karet, dan sebagainya yang dikelola masyarakat. Tanah itu juga ada yang sudah bersertifikat walaupun juga ada yang belum,” paparnya.
Baca juga: Sebagian dari 2.000 Hektar Lahan ”Food Estate” di Gunung Mas Bersertifikat
Menurut Ida, untuk mereka yang di tanahnya sudah ada sertifikat dan ditanami sawit atau karet, tidak akan dipaksa untuk menanam singkong. ”Untuk yang belum ditanami, kita lakukan pendekatan, kita beri bibit dan pupuk. Tentunya, itu kalau mereka mau. Kalau mereka tidak mau ya tidak apa-apa. Sejak awal, pemerintah tidak pernah berencana untuk membeli tanah karena memang tidak ada anggarannya,” katanya.
Cetak sawah
Berbagai tantangan juga ditemukan dalam program lumbung panganyang dikelola Kementan. Sesuai rencana, tahap awal proyek ini akan menggarap lahan 30.160 ha bekas proyek pembukaan lahan gambut (PLG). Rinciannya, 10.160 hektar di Pulang Pisau dan 20.000 ha di Kapuas, yang meliputi 13 kecamatan untuk lahan intensifikasi atau program peningkatan produksi di lahan sawah yang sudah ada.
Tak hanya itu, pemerintah juga membuat program ekstensifikasi yakni mengubah kebun atau hutan menjadi sawah baru. Total luas lahan ekstensifikasi ini pada tahap awal mencapai 16.000 ha merujuk data Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Peternakan Provinsi Kalimantan Tengah. Ekstensifikasi lahan ini juga dijalankan di Pulang Pisau dan Kapuas.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F01%2F28%2Ff88ff660-dab6-43c4-8ae2-5b54c1b9124e_jpg.jpg)
Patahan lantai dermaga di Desa Pangkoh Hulu, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, mulai tenggelam ke dalam Sungai Kahayan, Kamis (27/1/2022). Dermaga pendukunglumbung pangan itu ambruk sebelum digunakan.
Dalam Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Food Estate dari KLHK dan rapat terbatas Presiden Jokowi bersama para menteri pada 23 September 2020, target pemerintah lebih luas dari yang sudah dilaksanakan saat ini.
Dari data KLHS itu, kawasan irigasi yang digunakan untuk persawahan mencapai 148.267,88 ha, sedangkan kawasan tanpa irigasi mencapai 622.332,60 ha. Total luas lahan sesuai komoditas pertanian di lahan eks PLG 770.800,48 hektar atau lebih dari 10 kali luas Provinsi DKI Jakarta.
Menurut rencana, kedua kawasan itu akan menjadi lokasi lumbung pangan, baik padi maupun komoditas pertanian lain. Termasuk di dalamnya target 31.000 ha kawasan penanaman singkong di Gunung Mas di mana saat ini setidaknya 600 ha kawasan hutan sudah dibuka untuk singkong.
Baca juga: Wamenhan Kunjungi Lokasi Penanaman Singkong di Lahan 1,4 Juta Hektar
Kini, pemerintah telah membuka hutan-hutan maupun kebun-kebun masyarakat di beberapa desa. Setidaknya 16.644 ha lahan sudah dibuka untuk ditanami padi. Namun, baru 146 ha yang bakal ditanam dan masih ada banyak kendala mengganggu proses produksinya.
Erwin Noorwibowo mengatakan, berdasarkan laporan dari Dinas Pertanian Kalteng, kegiatan budidaya padi melalui kegiatan intensifikasi lahan pada 2020 seluas 30.000 ha yang terbagi 20.000 ha di Kapuas dan 10.000 ha di Pulang Pisau telah meningkatkan produksi 38.128 ton gabah kering giling (GKG), yaitu dari 76.530 ton GKG menjadi 114.685 ton GKG.
Selanjutnya pada 2021, intensifikasi lahan 14.135 ha yang terbagi 13.000 ha di Kapuas dan 1.135 ha di Pulang Pisau dengan peningkatan produksi sebanyak 5.140 ton GKG, yaitu dari 43.930 ton GKG menjadi 49.070 ton GKG.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2021%2F01%2F29%2Ff5a393e9-1160-445f-8200-cf79c5d6316f_jpg.jpg)
Petani Belanti Siam, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, mulai panen pada Jumat (29/1/2021). Panen kali ini di desa lumbung pangan itu gagal lantaran tak bisa penuhi target.
Namun, dari pengamatan di lapangan, proyek intensifikasi ini juga menuai masalah. Upaya menggenjot produksi padi dengan penanaman tiga kali dalam setahun di Belanti Siam dan Gadabung, Pulang Pisau, mengalami kegagalan.
Hartoyo, dari Kelompok Tani Sumber Rejeki, Belanti Siam, dalam diskusi daring Selasa (23/8/2022) mengatakan, ”Memang awalnya satu tahun kita hanya bisa tanam dua kali. Dengan food estate, pemerintah meminta kami menanam tiga kali setahun. Namun, di musim ketiga gagal panen,” katanya.
Erwin mengatakan, kegagalan ini karena sebagian besar lahan petani terdampak perubahan iklim ekstrem. ”Tingginya curah hujan mengganggu jadwal tanam petani untuk dapat menanam padi hingga tiga kali,” katanya.
Terbengkalai
Permasalahan lebih kompleks terjadi di proyek ekstensifikasi atau cetak sawah baru. Pengamatan di lapangan menunjukkan, bantuan pupuk dan kapur dolomit untuk proyek ini dibiarkan menumpuk di pinggir jalan di lokasi cetak sawah baru di Desa Pilang dan Desa Kalumpang.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F08%2F29%2F8db89ca9-4e56-4dc7-9f1b-d7db37c5b62d_jpg.jpg)
Pupuk-pupuk bantuan pemerintah untuk lumbung pangandalam program ekstensifikasi terbengkalai di pinggir jalan di Mantangai, Kabupaten Kapuas, pupuk ini tidak digunakan lantaran lahan yang belum siap digarap kelompok tani, Rabu (20/7/2022). Tak hanya pupuk, benih dan kapur juga NPK, ikut terbuang dalam tumpukan tersebut.
Ketua Kelompok Tani Sei Hanau di Desa Pilang, Pulang Pisau, Ardianto mengatakan, pupuk untuk proyek cetak sawah baru telah tiba pada Desember 2021, tetapi lahan belum ada.
Selain pupuk, bantuan benih juga datang sebelum sawah siap. Ikil (38), warga RT 001 Desa Pilang, anggota Kelompok Tani Eka Mandiri, mengatakan, banyak benih padi bantuan yang membusuk karena terlalu lama disimpan. Akhirnya, beberapa anggota kelompok taninya menjual benih-benih tersebut. ”Ada juga yang sudah digiling untuk dimasak,” ujar Ikil.
Di Kabupaten Kapuas lebih buruk lagi. Beberapa karung kapur yang ditumpuk di pinggir jalan dibiarkan ambrol sehingga tercecer di pinggir jalan akibat terlalu lama terpapar matahari dan hujan. ”Benih bantuan untuk food estate di sini kebanyakan sudah digiling untuk dimakan atau dijual, sementara lahan belum jelas kapan selesainya,” kata Heri Pato, petani dari Desa Kalumpang, Kecamatan Mantangai, Kapuas.
Baca juga: Robohnya Lumbung Pangan Dayak Kalimantan
Di Desa Bentuk Jaya, Kabupaten Kapuas, beberapa alat dan mesin pertanian jenis traktor juga tak lagi digunakan. Di desa ini, banyak transmigran telah kembali ke kampung halaman karena terus dilanda banjir.
Salasiah, warga A5 Desa Bentuk Jaya, Kecamatan Dadahup, Kabupaten Kapuas, menjelaskan, peralatan pertanian bisa dipakai jika sudah mendapatkan izin dari pemerintah kabupaten. Beberapa petani, termasuk kelompok taninya, lebih memilih meminjam alat dan mesin dari kelompok tani lain.
Di Dadahup, khususnya Desa Bentuk Jaya, lanjut Salasiah, masih banyak lahan belum digarap lantaran banjir. Irigasi yang dibuat sudah cukup membantu meski belum maksimal. ”Sudah coba ditanam, tapi habis itu banjir, jadi banyak alat-alat juga enggakdipakai,” kata Salasiah.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2020%2F07%2F09%2F54da0313-dfbb-44bb-b7d1-4f8875400b89_jpg.jpg)
Presiden Joko Widodo bersama Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, Menteri PUPR Basuki Hadimuljono dan Gubernur Kalteng Sugianto Sabran melihat lokasi rencana program lumbung pangan di Desa Bentuk Jaya, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, Kamis (9/7/2020). Setidaknya terdapat 20.000 hektar lahan di Kabupaten Kapuas disiapkan untuk cetak sawah..
Suyatno, Ketua Gabungan Kelompok Tani Mekar Jaya di Dadahup, menjelaskan, program lumbung pangandi desanya banyak menggunakan lahan tidur atau sawah yang tak pernah digarap. Karena tak banyak penduduk, lahannya luas. Pada 2020 lahan itu dikerjakan perusahaan bernama M-Tani. Namun, tahun ini perusahaan itu tidak lagi menggarap lahan sehingga lahan terbengkalai saat ini.
”Di sini banjir terus, lalu lumpurnya juga cukup dalam jadi agak susah. Sudah dua tahun lahan enggak digarap,” ujar Suyatno.
Persoalan alat-alat pertanian dan pupuk serta benih yang terbengkalai ini menggambarkan kekusutan proyek lumbung pangan ini di lapangan. Para petani yang berharap proyek ini bisa menjadi pengganti larangan berladang mulai diliputi keraguan.
Baca juga: Janji Usang Lumbung Pangan
”Saya mendaftarkan lahan 1 ha untuk ikut proyek ini. Tetapi, terus terang tidak tahu bagaimana kelanjutannya nanti kalau lahan sudah siap, apakah jadi ditanami padi atau tidak. Pupuk dan benihnya juga sudah habis. Yang penting lahannya dibuka dulu,” kata Susilo (74), warga Desa Pilang.
Bahkan, sebagian petani memilih tidak ikut bergabung dengan proyek ini. Leson (56), petani yang juga mantan Kepala Desa Pilang, termasuk yang tidak mau mendaftarkan lahannya. ”Saya tidak yakin keberlanjutan proyek ini. Lebih baik lahan saya untuk tanam karet saja,” katanya.
Menurut Leson, saat masih menjadi Kepala Desa Pilang pada 2015, dirinya pernah diminta mengelola proyek cetak sawah baru seluas 25 ha. ”Proyeknya tidak berlanjut, tidak pernah panen,” kataujarnya. ”Menurut saya, cetak sawah baru tidak akan bisa menggantikan perladangan yang sudah jadi tradisi turun-temurun.”
Menurut dia, kegagalan waktu itu karena tidak ada pendampingan lebih lanjut. Begitu proyek selesai, petani ditinggalkan.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F08%2F26%2Fc9f51d14-4169-4250-bf0a-b45135e24099_jpg.jpg)
Paman sayur, begitu warga di Kalumpang maupun Desa Pilang, Pulang Pisau, menyebut tukang sayur yang melintas di desa mereka. Tukang sayur menjadi lebih sering melintas dan berjualan khususnya setelah larangan membakar yang membuat warga semakin jarang ke ladang.
”Warga di sini umumnya peladang, yang sistem tanamnya sangat berbeda dengan bersawah. Kalau peladang setelah menyiapkan lahan dan tabur benih tinggal tunggu panen. Kalau sawah harus dijaga pengairannya, pupuknya, rumputnya, dan banyak lagi kerja rutin,” paparnya.
Proyek cetak sawah baru pada 2015 itu sebenarnya dilakukan di sembilan kabupaten dari total 14 kabupaten dan kota di Kalteng dengan total 17.000 ha. Akhmad Rudi (50), salah satu penerima bantuan cetak sawah di Pulang Pisau pada 2015, mengaku bahwa saat ini tanah yang sudah dibuka menjadi sawah itu tidak pernah lagi ditanami padi dan sudah menjadi kebun karet. Bahkan, sejak 2016 ia tak pernah menanam padi karena sawah yang diberikan ke kelompoknya itu dibuat tanpa irigasi.
”Sejak dibuka jadi sawah itu, saya pernah tanam karet lalu masuk program sengon saya ganti sengon, sengon enggak laku, saya tanam karet lagi,” ungkapnya.
Baca juga: Kawasan Hutan Diberikan untuk Pangan, Bencana Dinilai Bakal Berulang
Peneliti di Pusat Riset Koperasi, Korporasi, dan Ekonomi Kerakyatan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Syahyuti mengatakan, lahan gambut di Kalteng memang bisa dijadikan sawah. Hal ini sudah berhasil dilakukan oleh petani transmigran di Belanti Siam dan Gadabung.
”Tapi, perlu diingat, prosesnya sangat panjang. Tapi kalau belajar dari Belanti Siam dan Gadabung prosesnya butuh belasan tahun,” katanya.
Menurut Syahyuti, air di lahan gambut sangat asam dengan PH mencapai 2-3. Perlu irigasi yang baik agar kadar asam ini tidak terlalu asam. ”Ada beberapa jenis padi lokal yang tahan dengan kondisi ekstrem ini, salah satunya padi siam. Jadi, kalau yang ditanam di lahan-lahan cetak sawah baru padi dari luar, kemungkinan sulit bertahan,” paparnya.
Syahyuti menambahkan, ”Kalau membuka lahannya tidak benar, pirit di lahan gambut akan terbongkar dan itu bakal jadi racun bagi tanaman. Pembukaan dengan alat berat berisiko membongkar pirit ini,” katanya.
Baca juga: Berladang, Identitas Dayak yang Kini Terlarang
Liputan ini didukung oleh Rainforest Journalism Fund-Pulitzer Center