Berladang, Identitas Dayak yang Kini Terlarang
Berladang tidak hanya untuk mencukupi pangan, tetapi juga identitas budaya Dayak. Pesta panen menjadi penanda tahun baru Dayak sehingga tanpa berladang tidak ada lagi tahun baru.
Malan dalam bahasa Dayak Ngaju berarti ’berladang’. Tak hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan, berladang juga menjadi pusat kehidupan dan kebudayaan Dayak. Jika tradisi ini berakhir, hilang pula identitas budaya mereka.
Peran penting malan bagi kehidupan masyarakat Dayak dikemukakan Sanyo (52) mantir adat atau pemuka adat di Desa Kalumpang, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah. ”Orang Dayak yang tidak berladang sudah hilang jati dirinya karena hampir semua ritual kami terkait dengan perladangan,” katanya di rumahnya di tepi Sungai Kapuas, Minggu (17/7/2022).
Kompas tinggal di Kalumpang untuk mengetahui peran penting berladang bagi kehidupan Sanyo dan komunitasnya. Namun, kami hanya bisa mendengar cerita masa lalu karena sejak 2015 masyarakat Dayak Ngaju di Kalumpang dan desa-desa lain di Kalteng tidak lagi bisa berladang.
Tanpa adanya malan, tidak ada lagi tahun baru bagi kami.
”Dulu kami tidak pernah kurang beras. Hasil ladang cukup untuk setahun, bahkan bisa untuk makan di tahun berikutnya. Sayur-mayur, ikan, dan segalanya bisa kami dapatkan saat masih berladang,” kata Sanyo.
Menurut dia, lahan 1,5 hektar yang digarapnya dulu bisa menghasilkan 400 blek (kaleng) gabah kering giling (GKG). Satu blek setara 15 kilogram. Dia bisa menghasilkan 6 ton GKG tiap tahun.
Semakin lama, dia berkisah tentang masa ketika masih berladang, semakin terasa kemarahan yang terpendam. ”Kami dilarang berladang karena dianggap merusak lingkungan. Padahal itu salah besar, karena kami punya aturan, termasuk saat membakar,” katanya.
Menurut Sanyo, ada beberapa tahap yang harus dilalui peladang. Proses paling awal adalah memilih lokasi dan itu ada ritual tersendiri. Dalam ritual itu biasanya mantir adat memberikan persembahan berupa seekor ayam atau sebutir telur kepada Ranying Hatalla, Penguasa Alam, agar tidak ada halangan dalam berladang.
Proses selanjutnya adalah pembersihan lahan atau yang dikenal dalam bahasa Ngaju dengan sebutan meneweng atau menebas. Mereka akan mulai menebas pohon-pohon dan rerumputan di lokasi.
”Saat membersihkan lahan itu semuanya turun, laki-laki dan perempuan ikut serta. Berladang adalah kegiatan bersama, seluruh keluarga,” kata Sanyo.
Baca juga: Larangan Bakar dan Solusi Masih Belum Ketemu
Semua sampah hasil tebasan itu dikumpulkan di beberapa lokasi sebelum dibakar. Ada banyak hal harus dilakukan sebelum membakar, di antaranya membuat sekat bakar dengan cara menggali parit kecil di sekitar lokasi yang berbatasan dengan ladang orang lain. Hal ini untuk menjaga agar kebakaran tidak meluas. Pemilik ladang yang berbatasan juga harus mendapat informasi sebelum dilakukan pembakaran.
”Kami juga menghitung angin, memprediksi hujan, agar api tidak sampai ke ladang orang lain. Pastinya kami akan berjaga-jaga selama pembakaran sampai api benar-benar padam lagi,” tutur Sanyo.
Setelah itu, simpuk atau kumpulan sampah hasil tebasan mulai dibakar. Tumpukan-tumpukan itu akan membakar lahan-lahan di sekelilingnya. Proses ini disebut menyeha atau membakar. Jika dalam proses membakar pertama masih banyak terdapat kayu besar, akan dibakar ulang. Pengulangan itu disebut mangakal.
”Saya dan istri biasanya ya menginap di ladang, anak-anak juga bisa semalam dua malam di rumah ladang. Jadi tidak mungkin kami membiarkan kebakaran meluas karena ada rumah dan tanaman lain seperti karet di sekitar ladang kami,” katanya.
Setidaknya dua atau tiga hari setelahnya, ladang baru siap ditanami dengan manugal. Kegiatan ini biasanya dikerjakan secara gotong royong, melibatkan warga desa lain, mulai dari anak-anak sampai orangtua, perempuan maupun laki-laki. Kegiatan gotong royong itu disebut handep.
Peran sentral perladangan
Dari penjelasan Sanyo, kita bisa melihat bahwa sejak dari menyiapkan lahan, membakar, hingga menunggal atau menanam, tidak bisa dilakukan sembarangan. Ada aturan, yang melibatkan sesama peladang lain dan komunitas, serta interaksi yang bersifat spiritual karena praktik ini juga menghubungkan orang Dayak dengan leluhur.
”Berladang bagi orang Dayak tidak hanya sekadar sistem penghidupan dan ekonomi, tetapi juga berupa sistem pengetahuan, sistem organisasi sosial, sistem peralatan hidup, sistem mata pencarian dan ekonomi, agama, bahkan juga keberadaan substansi seni di dalamnya,” tulis Suriansyah Murhaini dan Achmadi dalam kajiannya di jurnal Heliyon (2021).
Antropolog Dayak Marko Mahin mengatakan, berladang memiliki peran sentral dalam kebudayaan Dayak. Bahkan, puncak budidaya dalam berladang, yaitu pesta panen atau pesta gawai, menjadi penanda tahun baru Dayak. ”Maka, tanpa adanya malan, tidak ada lagi tahun baru bagi kami,” katanya.
Peran sentral berladang bagi masyarakat Dayak tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang dan asal-usul leluhur mereka hingga tiba di Kalimantan. Riset yang dipimpin ahli genetika dari University of Cambridge, Eske Willerslev, di jurnal Science (2018) mengungkap sejarah awal petani-peladang di Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Dengan mengurutkan pengurutan DNA kerangka manusia kuno di berbagai situs arkeologi, Eske menunjukkan, petani padi di Asia Tenggara, termasuk di Indonesia, bermigrasi dari China selatan, tepatnya lembah Sungai Yangtze dan Sungai Kuning, tempat awal domestikasi padi dan biji-bijian lain seperti jewawut, 9.000-5.500 tahun lalu.
Sebagian petani ini bermigrasi ke Formosa atau Taiwan dan jadi leluhur Austronesia. Sebagian lain bermigrasi ke selatan dan berbaur dengan para pemburu-peramu Hoabinhian yang lebih awal menghuni area ini dan mengenalkan budaya bercocok tanam padi yang kemungkinan fase awal ialah budidaya padi ladang.
Selain migrasi awal 4.000-4.500 tahun lalu, gelombang migrasi petani padi dari utara ke selatan terjadi 2.000 tahun lalu membawa teknologi dan teknik budidaya padi lebih maju, termasuk budidaya padi sawah.
Jadi, bisa dilihat, tradisi berladang di Kalimantan telah berlangsung ribuan tahun lalu. Tidak serta-merta membawa benih padi dan teknologi budidaya dari tempat asalnya, mereka juga beradaptasi dengan lingkungan Kalimantan yang spesifik, misalnya rawa gambut dan pasang surut.
Kegiatan membakar gulma sebelum menanam, menurut kajian Murhaini dan Achmadi, merupakan contoh adaptasi terhadap lingkungan spesifik Kalimantan. Abu dan arang hasil pembakaran akan menyuburkan tanah di Kalimantan yang kurang hara.
”Ini seperti di Pulau Jawa, ada gunung berapi yang bisa menyuburkan tanah setelah erupsi. Ini juga teknik pemupukan tanah yang serupa karena Kalimantan tidak memiliki gunung berapi untuk menyuburkan tanah secara alami,” sebut mereka.
Meniru sistem hutan
Sistem perladangan masyarakat Dayak pada prinsipnya meniru sistem hutan. Dimulai dengan membuka sepetak tanah di hutan, membersihkannya, dan menanaminya untuk periode satu atau dua tahun. Setelah hasil berkurang karena unsur hara menipis, ladang itu ditinggalkan hingga menjadi hutan kembali dan baru dibuka kembali setelah periode waktu tertentu.
Pola bercocok tanam ini dulu kerap disalahpahami sebagai perladangan berpindah dan sejak Orde Baru distigma sebagai perusak lingkungan. Beberapa kajian di masa lalu menguatkan pandangan negatif ini. Misalnya, De Jong dan tim (Journal of Tropical Forest Science, 2001) menyebutkan, luas lahan pada sistem perladangan disalahkan atas hilangnya 50 persen kawasan hutan di Indonesia.
Namun, beberapa studi terbaru menunjukkan, perladangan gilir balik ini bisa lebih ramah lingkungan dibandingkan pertanian intensif lain. Misalnya, Nicolas Labriere, dkk (jurnal PLOS ONE, 2015) menyebutkan, jika diterapkan dengan benar, metode perladangan di Kalimantan bisa menciptakan ekosistem alami dengan keanekaragaman hayati tinggi, kaya cadangan karbon, dan risiko erosi tanah yang rendah.
Dengan membandingkan tingkat keanekaragaman hayati dan jasa ekosistem berbagai penggunaan lahan di Kalimantan, Labriere menemukan hutan alam jelas paling baik. Namun, sistem perladangan Dayak masih lebih ramah lingkungan dibandingkan semua jenis penggunaan lahan yang terkait hutan, termasuk untuk perkebunan monokultur kelapa sawit dan karet. Membakar jelas mengeluarkan emisi, tetapi penggunaan pupuk kimia yang berbasis minyak bumi, termasuk juga pengangkutannya, juga mengeluarkan emisi.
Studi lain oleh Muhammad Rifqi (2017) menunjukkan, proses suksesi setelah ladang diberakan selama beberapa tahun akan membantu alam memulihkan diri dan menjaga biodiversitas hewan tanah, burung, dan berbagai reptil di dalamnya. Studi di wilayah Sungai Utik, Kalimantan Barat, ini menemukan, di lahan bekas perladangan yang mengalami reforestasi kembali menjadi habitat lebih dari 10 jenis burung kicau. Mereka hidup di ranting pohon muda, bertelur, dan mencari makan berbagai jenis serangga di hutan itu.
Peran penting perladangan dalam menjaga lingkungan juga terlihat dari sistem pertanian campuran yang berperan menjaga keberagaman hayati. Selain itu, sistem pertanian organik, tanpa pupuk kimia dan pestisida, juga jelas ramah lingkungan.
Sosiolog Dayak dari Universitas Palangka Raya (UPR) Sidik Usop menegaskan, ladang orang Dayak bukan hanya lumbung pangan yang memberikan kehidupan manusia, melainkan juga kesehatan dan keadilan ekologis. Dalam berladang, lanjut Usop, jelas terlihat hubungan yang merupakan bukti kedekatan masyarakat Dayak dengan alam dan lingkungannya sehingga tidak ada pembenar untuk menyalahkan peladang atas serangkaian kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Kalimantan.
Baca juga: Perusahaan Dunia Ikut Memetik Keuntungan dari Kebakaran Hutan
”Penyebab kebakaran hutan dan lahan bukan peladang karena mereka tak mungkin membiarkan api membakar ladang orang lain. Bisa kena denda adat,” ungkap Usop.
Kebakaran hutan dan lahan yang berulang kali melanda di Kalimantan, menurut Usop, terutama untuk menguasai lahan, dan hal ini justru sering dilakukan oleh perusahaan atau pengusaha perkebunan skala besar, bukan oleh peladang tradisional. Namun, kenapa berladang yang dilarang?
Liputan ini didukung oleh Rainforest Journalism Fund-Pulitzer Center