Hakim MK meminta pemohon mengelaborasi kerugian konstitusional. Adapun pemohon menilai pembuatan UU IKN melanggar asas keterbukaan. Dari 28 agenda pembahasan RUU IKN di DPR, hanya tujuh yang informasinya bisa diakses.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman memimpin panel pengujian formil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara yang diajukan oleh Poros Nasional Kedaulatan Negara atau PNKN. Dalam gugatannya, PNKN meminta MK menyatakan proses pembentukan UU IKN cacat formil sehingga perlu dibatalkan.
Bersama hakim konstitusi Arief Hidayat dan Manahan Sitompul, Anwar meminta agar para pemohon mengelaborasi kerugian konstitusional sekaligus menyesuaikannya dengan pengujian formil yang diajukan. Sebab, alasan kerugian konstitusional untuk pengujian formil berbeda dengan pengujian materiil.
”Dalam pengujian formil, kedudukan hukum tidak perlu diuraikan terlalu banyak. Yang penting adalah hubungan pertautan atau kasualitas antara pemohon prinsipal dan undang-undang yang dimaksud,” kata Arief Hidayat, dalam sidang pemeriksaan pendahuluan uji formil UU IKN, Rabu (16/3/2022).
Dalam sidang perdana tersebut, hadir empat dari 12 pemohon yang tergabung dalam PNKN, yaitu Abdullah Hehamahua, Marwan Batubara, Syamsul Balda, dan Irwansyah. Mereka didampingi oleh tim kuasa hukum, Viktor Santoso Tandiasa dan rekan-rekannya.
Saat membacakan berkas permohonnya, Viktor mengungkapkan, para pemohon memiliki kedudukan hukum untuk menguji formil UU IKN. Ada pertautan langsung antara pemohon dan undang-undang tersebut. Pemohon sebagai pembayar pajak sangat berkepentingan dengan pengelolaan APBN yang saat ini penggunaannya masih terfokus untuk mengatasi pandemi Covid-19.
Pemohon merasa dirugikan jika pengelolaan APBN dilakukan dengan tidak bijak oleh pemerintah, misalnya dialihkan sebagian atau digunakan untuk pembangunan ibu kota baru yang terletak di Kalimantan. Anggaran yang salah satunya berasal dari pajak para pemohon tersebut perlu dikelola secara baik, transparan, dan tepat sasaran untuk mempercepat penanganan pandemi Covid-19 dan percepatan pertumbuhan ekonomi sesuai dengan program prioritas pemerintah selama ini.
Adapun terkait dengan alasan-alasan pengujian formil, menurut Viktor, pembentukan UU IKN bertentangan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundangan. Di antaranya, UU IKN tidak disusun dan dibentuk dengan perencanaan yang berkesinambungan mulai dokumen perencanaan pembangunan, perencanaan regulasi, perencanaan keuangan negara, dan pelaksanaan pembangunan.
Hal itu setidaknya terlihat dalam tidak tercantumnya pemindahan IKN dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang pemerintah, seperti tercantum di UU No 17/2017 tentang RPJP Nasional Tahun 2005-2025. Selain itu, rencana yang sama tak ada di dalam Peraturan Presiden tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2015-2019 atau periode pertama Presiden Jokowi. Seperti diketahui, dalam melaksanakan pembangunan, pemerintah memiliki Sistem Perencanaan Pembangunan yang tertuang dalam RPJP (20 tahun) dan RPJM (5 tahun). Pemindahan ibu kota baru muncul dalam Perpres No 18/2020 tentang RPJM Nasional tahun 2020-2024.
Selain itu, UU IKN bertentangan dengan asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan sebuah undang-undang. UU IKN dinilai tidak benar-benar memperhatikan materi muatan. Sebab, undang-undang tersebut banyak mendelegasikan materi yang berkaitan dengan IKN dalam peraturan pelaksana. Viktor juga menyebutkan UU IKN tidak memperhitungkan efektivitas regulasi dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis. UU tersebut pun tidak dibuat karena benar-benar dibutuhkan.
Proses pembuatan UU IKN melanggar asas keterbukaan. Dari 28 tahapan atau agenda pembahasan RUU IKN di DPR, hanya ada tujuh agenda yang dokumen dan informasinya dapat diakses.
Ia mengutip hasil survei Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia (Kedai Kopi), 19 Desember 2021, yang menyebutkan bahwa sebanyak 61,9 persen orang tidak setuju ibu kota pindah. Alasan utama ketidaksetujuan tersebut adalah pemindahan ibu kota dianggap sebagai pemborosan anggaran, lokasi yang dipilih kurang strategis, dan sebagian responden menilai fasilitas Jakarta sudah memadai.
”Kemudian, 5,6 persen responden mengkhawatirkan utang yang akan bertambah jika pemindahan ibu kota benar terjadi. Selain itu, 4,7 persen responden merasa pemindahan ibu kota dapat mengubah sejarah atau nilai historis,” kata Viktor.
Yang tidak kalah penting, menurut Viktor, proses pembuatan UU IKN melanggar asas keterbukaan. Dari 28 tahapan atau agenda pembahasan RUU IKN di DPR, hanya ada tujuh agenda yang dokumen dan informasinya dapat diakses. Adapun dokumen dan informasi 21 agenda lainnya tidak dapat diakses ke publik. Ini merepresentasikan bahwa partisipasi publik dalam proses pembahasan tersebut tidaklah holistik, hanya parsial. Hal tersebut juga tidak sesuai dengan putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 dalam perkara pengujian formil UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja yang mengamanatkan suatu participation atau partisipasi yang bermakna.
Pada kesempatan tersebut, Abdullah Hehamahua mengkritisi UU IKN yang sama sekali tidak menyebutkan pembatalan UU No 10/1964 yang menetapkan Jakarta sebagai ibu kota negara. UU yang ditandatangani oleh Presiden Soekarno tersebut, menurut dia, tidak dinyatakan dibatalkan atau dicabut di dalam UU IKN. Baginya, hal tersebut merupakan sesuatu yang prinsipil.
Namun, Anwar Usman meminta agar Abdullah Hehamahua fokus pada alasan pengujian formil. Menurut dia, soal UU No 10/1964, sudah ada dalam ranah materi UU IKN. Abdullah Hehamahua pun kemudian menyampaikan, pihaknya bersama teman-teman PNKN belum pernah mendengar seminar atau sosialisasi mengenai naskah akademis dan rancangan UU IKN untuk meminta masukan baik dari kalangan akademisi di kampus maupun masyarakat. Selain itu, pembahasan RUU IKN yang relatif singkat sangat membahayakan bagi proses penyerapan aspirasi masyarakat atas suatu undang-undang.