Ibu Kota Negara, Beberapa Catatan
Selain konsepsi tentang pembagian wilayah besar dan kecil, kita juga mengenali konsepsi tentang keistimewaan. IKN bisa menerapkan konsepsi sebagai sebuah "wilayah Republik" , tanpa perlu mengaitkan pemerintahan daerah.

Rancangan Undang- Undang Ibu Kota Negara atau UU IKN sudah disahkan Presiden Joko Widodo menjadi UU Nomor 3 Tahun 2022. Persoalan pindah agaknya masih ada yang mempersoalkan. Sedangkan kapan pelaksanaan pindahannya, mestinya juga masih dihitung.
Hanya bila dikaitkan dengan masih banyaknya pekerjaan rumah (PR) yang tak kalah ruwet dan mesti diselesaikan, tak sedikit pula yang bertanya-tanya apakah semua itu akan bisa dilakukan sesuai keinginan dan rencana? Apalagi kalau tenggat pendek dan tergesa. PR itu: cekaknya kemampuan pembiayaan negara; peliknya soal pertanahan dan sediaan sumber daya air; pola pembangunan dan skim pembiayaan (termasuk kecermatan dan pada kemudian hari pentingnya menjaga konsistensi tata ruang wilayah dan tata ruang kota).
Lantas apa yang perlu disimak? Ada yang ingat angan-angan berupacara 17 Agustus 2024 di IKN baru? Kalau soal waktu pemindahan IKN tak lagi dapat ditenggang, pertanyaan yang cepat atau lambat akan mencuat adalah: IKN itu diselenggarakan oleh dan dikelola sebagai pemerintahan khusus, ataukah pemerintahan daerah? Mungkin banyak yang enggan mempertanyakan itu.
Kehadiran kata daerah itu rasanya bagai rekayasa dengan substansi yang sengaja masih digantung.
Pasal 1 angka 2 UU IKN menyatakan: ”Ibu Kota Negara bernama Nusantara… adalah satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus… dst”. Masih di pasal yang sama: ”Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara… adalah pemerintahan daerah yang bersifat khusus... dst” (angka 8). Kata daerah dalam tulisan ini sengaja ditulis dengan huruf miring. Kehadiran kata daerah itu rasanya bagai rekayasa dengan substansi yang sengaja masih digantung.
Masih di Pasal 1 tadi, ada pengertian soal Barang Milik Daerah (di samping Barang Milik Negara), yang dalam pengertiannya diurai sebagai barang yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Penyelenggara IKN bekerja dengan APBD? Apa dan di mana soalnya?
Bagai meninggalkan ranjau
Samakah makna dan tujuan pelibatan kata ”daerah” itu dengan yang ada di UU Pemda? Sekalipun ”Bab Mengingat” UU IKN tak mencantumkan UU Pemda sebagai dasar hukum, baik diwaspadai tiga hal. Pertama, pengertian APBD memiliki arti dan fungsi yang pasti di UU Pemda. Kedua, konsepsi semula (yang sebenarnya sudah tepat) menggunakan sebutan ”pemerintahan khusus”. Hanya kemudian dalam pembahasan RUU dan disetujui DPR, diubah menjadi ”pemerintahan daerah yang bersifat khusus”.
Ketiga, sebagai pemda yang bersifat khusus, Pemerintah Daerah Khusus IKN mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan sebagaimana ditetapkan dan diatur dengan UU ini (Pasal 5 Ayat 2 dan 5). Menambah kewaspadaan tadi, cobalah simak rumusan yang disusun laiknya isyarat di penjelasan Pasal 5.
Dengan kekhususan seperti tanpa DPRD, kepala ditunjuk Presiden, tanpa pilkada/hanya khusus satu pemilu nasional, dan bisa buat perda sendiri, urusan pemerintahan daerah yang dijalankan meliputi semua kecuali yang absolut ditangani pemerintah pusat: politik LN, hankam, yustisi, moneter-fiskal nasional, agama. Mirip konsep pembagian kewenangan Pusat-Daerah bukan?
Baca juga : Angin Perubahan Bernama Pembangunan IKN
Bahkan, dengan tandas, menanggapi keraguan masyarakat sekitar dualisme antara otorita dan pemda, media memberitakan penegasan salah satu wakil ketua pansus pembahasan RUU bahwa IKN adalah pemerintah daerah yang sekaligus menyelenggarakan ibu kota. Tak adakah masalah nantinya di balik itu semua?
IKN ini nantinya wilayah khusus milik negara dan bangsa, atau milik daerah? Pertanyaan ini, yang seharusnya memperoleh jawab sebelum UU selesai, memang membawa dampak dan isu yang panjang. Walau dikatakan bukan ini dan bukan itu, jangan-jangan ujungnya nanti sama dengan perjalanan kisah dan pengalaman konkret: Pemerintah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta. Pemerintah daerah juga dengan tambahan fungsi sebagai penyelenggara ibu kota.
Elemen pemerintah daerah muncul sebagai yang pertama, dan nyatanya jadi yang utama. Penyelenggara ibu kota? Itu hanya fungsi yang menempel dan ditambahkan. Bagai melihat peta masalah, rasanya tiap orang atau menteri, bahkan Presiden sangat tahu, selama ini Pemda DKI Jakarta seakan tenggelam dalam hiruk-pikuk urusan otonomi daerah. Telah dua kali penulis mengungkap soal ini (Kompas, 2010 dan 2017). Banjir tiap kali musim hujan. Jalan-jalan macet. Belum lagi ketertiban, keamanan, ketenteraman, kebersihan, dan kebisingan lainnya.

Kawasan Taman Hutan Raya Bukit Soeharto di Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara, mulai dijual dengan harga tinggi. Foto diambil Rabu (7/8/2019).
Di tengah kualitas kehidupan dan kondisi lingkungan yang rumit dan kompleks, jangankan air minum, layanan air bersih pun seumur-umur Jakarta sendiri belum bisa meratakan kecukupannya hingga kini. Dengan semua kebisingan isu sekitar otonomi tadi, untuk kelancaran penyelenggaraan pemerintahan negara, apa yang bisa dilakukan Presiden beserta pemerintahannya? Bukankah soal-soal tadi soal otonominya Pemda DKI Jakarta, dan bukan domain Presiden?
Pasti ada yang berpendapat, pemilahan porsi dan fungsi, tanggung jawab, dan mekanisme penanganan urusan ibu kota dan otonomi, semua sudah ada pengaturannya di UU Pemda DKI Jakarta. Walau tak disebut setara kementerian, UU ini bahkan menegaskan gubernur bisa hadir di sidang kabinet bila menyangkut urusan kota Jakarta. Soalnya adalah, dengan contoh-contoh kasus tadi, mengapa semua tetap saja terjadi. Jakarta kian sumpek, dan seakan tak ada jejak penyelesaiannya berdasar UU itu. Akhir kisah itu pun sekarang semua tahu.
Kalau tak terburu nafsu mencari dalih pembenar atau menyangkal, baik direnung, bahwa hanya soal waktu saja isu daerah tadi akan menelikung penyelenggaraan IKN yang baru nanti. Babak baru kisah mirip Pemda DKI Jakarta jangan-jangan akan muncul, walau mungkin dalam versi dan intensitas yang lain. Ketika nanti tiba waktunya mengurus kepentingan politik, lazimnya akan ada usulan perubahan UU ini, dan mempertegas ”kepentingan” tadi. Bukankah bagi parpol, kepemimpinan daerah adalah salah satu sasaran dan tujuan?
Dengan semua kebisingan isu sekitar otonomi tadi, untuk kelancaran penyelenggaraan pemerintahan negara, apa yang bisa dilakukan Presiden beserta pemerintahannya?
Berpikir jernih
Alasan memperjelas keselarasan UU IKN ini dengan UU dan prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerintahan (di) daerah akan jadi jalan pintas memperoleh legitimasi hukum bagi niatan politik praktis ini. Di masa euforia politik yang sedikit-sedikit menampilkan isu demokrasi, otonomi, dan hak asasi sebagai sarana perjuangan, terjadinya kemungkinan itu bukan hal mustahil. Bila demikian, masalahnya akan sama. Yang berbeda tempat dan waktu: ibu kota lama di Jawa, dan yang baru di Kalimantan.
Semua terpulang pada soal yang mendasar: kejelasan konsepsi dan kejernihan pikir kita sendiri. Bangsa Amerika mampu membuat Washington sebagai ibu kota mereka, dan satu-satunya wilayah federal di AS yang dikelola dengan pemerintahan/municipality (yang bersifat) khusus. Ibu kota yang diberi nama Columbia (perlambang keutamaan kaum wanita di AS) itu dikelola dengan pemerintahan khusus yang dipimpin wali kota, walau tetap dengan memelihara hak politik dan sosial-ekonomi warga.
Washington DC bukan milik Virginia atau negara bagian lain mana pun. Orang Australia tahu, Canberra bukan milik New South Wales, atau Victoria. Mereka menyebutnya Australia Capital Territory. Milik negara dan bangsa Australia. Orang Malaysia sebagai bangsa punya Putrajaya/Kuala Lumpur sebagai federal territory. Bukan milik negara bagian atau kesultanan Johor, Perak, atau lainnya.

Pembangunan Ibu Kota Negara Penajam Paser Utara, Kalimantan Utara, dalam rancangan Bappenas harus menciptakan sejumlah prinsip penting, sebagaimana diungkapkan Deputi Pengembangan Regional Bappenas Rudy Soeprihadi Prawiradinata dalam webinar “Perspektif Perencanaan Sistem Transportasi dan Jaringan Jalan” yang diselenggarakan Himpunan Pengembangan Jalan Indonesia, Rabu (9/2/2022).
Mengapa kini ketika berpikir tentang IKN, kita bagai terikat frasa ”daerah”? Apakah karena ingin tampil demi dan untuk demokrasi? Ataukah karena perjuangan aspirasi daerah? Otonomi? Desentralisasi dan dekonsentrasi? Ataukah karena sesungguhnya semata pertimbangan dan tujuan politik praktis, bahwa pemerintahan daerah adalah domain parpol, dan karena itu layak menanamkan benih pijakan isu untuk diperjuangkan di satu masa akan datang?
Mungkin ada pandangan, demi kesejajarannya dengan prinsip yang diletakkan di UUD. Perlu dicermati, konsepsi dalam Pasal 18 UUD adalah soal pembagian wilayah negara. Bukan soal tataran organisasi bahwa setelah negara, yang ada lantas daerah. UU Pemda-lah yang menjabarkan konsep tadi, dan menerjemahkan pembagian wilayah besar dan kecil dalam bentuk dan mekanisme pemerintahan daerah. Tetapi, bukankah tidak pula keliru, bila dalam konsepsi tentang wilayah besar dan kecil, ada pula wilayah kecil yang dibuat bersifat dan dikelola secara administratif?
Selain konsepsi tentang pembagian wilayah besar dan kecil, bukankah kita juga mengenali konsepsi tentang keistimewaan? Kita juga punya banyak pengetahuan tentang special territory. Dalam konteks IKN kita bisa menerapkannya sebagai sebuah ”wilayah Republik”, tanpa perlu mengaitkannya dengan pemerintahan daerah. Cobalah konsisten dengan rumusan visi IKN sebagai simbol identitas nasional yang merepresentasikan keberagaman bangsa Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD Negara RI tahun 1945 ( Pasal 2c).
Baca juga :
Isu Pemindahan Ibu Kota Negara, dari Perdebatan hingga Pengalihan
Sesungguhnyalah pemikiran soal ini tak perlu lantas dipertentangkan dan dipojokkan sebagai penyimpangan Pasal 18 UUD. Bila mau, soal ini sesungguhnya sekadar pembenahan konsepsi dalam UU tentang pemda yang selama ini menjabarkannya. Mewujudkan konsepsi tadi dalam UU IKN itu pun dapat dilakukan dengan tetap menjaga keselarasannya dengan Pasal 18 UUD.
Selain itu, baik dicermati beberapa ”kerikil” yang bagai tersimpan di UU itu. Problem kedudukan Otorita, misalnya. Otorita sebenarnya diberi kedudukan setingkat provinsi (Pasal 1 angka 2) atau kementerian (Pasal 4 Ayat 1b dan Pasal 5 Ayat 4). Lagi pula, apa persisnya manfaat penyamaan kementerian itu, sementara dengan kekuatan UU ini, kepala Otorita dalam kedudukan dan dengan predikat apa pun tetap bisa efektif merancang, membangun, dan memindahkan IKN?
Lebih terkendali
Dengan mencermati dan mewaspadai hal-hal tadi, konsentrasi membangun dan mengelola kebutuhan sarana/prasarana di kawasan inti dan kawasan pengembangan bagi penyelenggaraan pemerintah pusat bisa terjaga lebih baik.
Tata ruang dan tata kota bagi IKN bisa sepenuhnya dikelola pemerintah ibu kota. Penataan dan alokasi ruang, pengelolaan bangunan pemerintahan beserta prasarana penunjang, seperti jalan, sistem transportasi/komuter, sistem komunikasi dan jaringan listrik, gas, air bersih, sistem pembuangan air dan pengolahan limbah, pertamanan/hutan kota, berikut pemeliharaan kebersihan dan keamanan-ketertibannya, dapat berlangsung di satu tangan sedari perencanaan.
Tata ruang dan tata kota bagi IKN bisa sepenuhnya dikelola pemerintah ibu kota.
Siang hari, ibu kota hanya terisi Presiden, para menteri dan pejabat pemerintahan, aparatur kementerian dan petugas keamanan. Mungkin, di samping itu juga terisi kegiatan konvensi dan wisata. Belajar dari kepadatan Washington DC yang berlangsung cepat, sebagai salah satu contoh, perlukah akomodasi isu perumahan dan permukiman di wilayah inti/Kawasan Strategis Nasional?
Mumpung masih berangkat dari awal, baik bila kawasan inti dan pengembangan IKN dibebaskan dari hunian atau bahkan obsesi perkotaan metropolitan.
Kebutuhan perumahan dan permukiman (untuk pejabat tinggi sekalipun), pertokoan, pasar, rumah sakit, pendidikan, atau lainnya yang diperlukan lebih baik sepenuhnya dikembangkan dalam bentuk satelit-satelit kota mandiri yang didorong dan difasilitasi pembangunannya di wilayah penunjang di luar zona inti dan pengembangannya. Kebutuhan makan pagi, siang, dan malam aparat bisa dicukupi dengan mewajibkan tiap gedung memiliki kafe/resto (bila kantin dianggap kurang bergengsi). Pemerintah dan masyarakat di daerah sekitar dengan begitu secara nyata juga mendapat kue dari pemindahan ibu kota.

Infografik Halaman 1 Zonasi Ibu Kota Negara (IKN) Sebaran Sektor Ekonomi di Ibu Kota Negara Baru
Apa yang penting dari soal kejernihan konsepsi tadi? Perencanaan dan penataan kota dan penahapan pembiayaannya bisa dirancang dengan lebih baik. Penyajian kota sebagai tempat penyelenggaraan pemerintahan pusat bisa berjalan tenang, teratur, teduh. Kerja sama dengan swasta bisa diarahkan melalui pembagian peran dan alokasi ruang di kawasan periferi, sejauh mungkin melibatkan pola campur pembiayaan atau pemilikan yang kerap menimbulkan problem sekitar akuntabilitas di ujungnya.
Selebihnya tinggal memikirkan: siapa dan mekanisme untuk membantu Presiden mengawasi semua itu. Yang penting, jangan sampai kepala otorita berubah peran jadi ”menteri senior”, atau sebaliknya: Presiden yang malah terjebak sibuk dengan urusan otorita.
Bambang KesowoPemerhati Kebijakan Publik

Bambang Kesowo