Komnas HAM: Penyiksaan Warga Binaan di Lapas Narkotika Yogyakarta Terjadi sejak 2020
Komnas HAM menemukan penyiksaan dan tindakan merendahkan martabat di Lapas Narkotika Kelas IIA Yogyakarta. Ada berbagai jenis penyiksaan yang ditemukan, misalnya pemukulan, pencambukan, dan penendangan.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·5 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menemukan kejadian penyiksaan dan tindakan merendahkan martabat terhadap warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas IIA Yogyakarta. Berdasarkan temuan Komnas HAM, ada berbagai jenis penyiksaan fisik di lapas itu, misalnya pemukulan, pencambukan, dan penendangan. Penyiksaan terjadi sejak pertengahan 2020.
”Terdapat sembilan tindakan penyiksaan kekerasan fisik, di antaranya pemukulan, baik menggunakan tangan kosong maupun alat seperti selang, kabel, alat kelamin sapi, atau kayu,” kata Ketua Tim Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM Wahyu Pratama Tamba dalam konferensi pers secara daring, Senin (7/3/2022).
Dugaan penyiksaan di Lapas Narkotika Kelas IIA Yogyakarta yang berlokasi di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), pertama kali terungkap pada 1 November 2021. Saat itu, beberapa eks narapidana di lapas tersebut melaporkan dugaan penyiksaan ke Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Perwakilan DIY.
Setelah adanya laporan itu, ORI DIY dan Komnas HAM turun tangan melakukan penyelidikan. Tim dari Komnas HAM dan ORI DIY bahkan datang langsung ke Lapas Narkotika Yogyakarta untuk melakukan penyelidikan. Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kanwil Kemenkumham) DIY pun melakukan penyelidikan internal terhadap dugaan penyiksaan tersebut.
Wahyu Pratama menjelaskan, berdasarkan hasil penyelidikan Komnas HAM, tindakan kekerasan dan penyiksaan di Lapas Narkotika Yogyakarta mulai terjadi pertengahan 2020. Pada saat itu, terjadi pergantian pejabat di Lapas Narkotika Yogyakarta. Pejabat yang baru lalu berupaya melakukan perbaikan dan pembersihan karena sebelumnya terjadi peredaran narkoba dan penggunaan telepon seluler di lapas tersebut.
Namun, upaya pembersihan itu ternyata berdampak pada peningkatan intensitas kekerasan terhadap warga binaan pemasyarakatan (WBP) di Lapas Narkotika Yogyakarta. ”Upaya perbaikan dilakukan sangat singkat, kurang lebih dua sampai tiga bulan, tetapi dengan intensitas kekerasan cukup tinggi, di mana petugas lapas melakukan operasi dari pagi, siang, sampai malam hari,” ujar Wahyu Pratama atau akrab dipanggil Tama.
Tindakan kekerasan dan penyiksaan di Lapas Narkotika Yogyakarta mulai terjadi pertengahan 2020. Pada saat itu, terjadi pergantian pejabat di Lapas Narkotika Yogyakarta.
Tama memaparkan, selain pemukulan, tindakan penyiksaan lain di Lapas Narkotika Yogyakarta juga berupa pencambukan menggunakan alat pecut dan penggaris, penendangan, serta diinjak-injak menggunakan sepatu dinas petugas lapas (DPL). Komnas HAM juga menemukan delapan jenis tindakan perlakuan buruk yang merendahkan martabat di lapas tersebut.
Contoh tindakan merendahkan martabat itu adalah warga binaan dipaksa memakan muntahan makanan, meminum dan mencuci muka dengan air seni, serta pencukuran atau penggundulan rambut dalam kondisi telanjang. ”Penyiksaan terjadi pada saat WBP baru masuk lapas atau berkisar 1-2 hari, pada masa pengenalan lingkungan, dan saat WBP melakukan pelanggaran,” ungkap Tama.
Alat dan lokasi
Berdasarkan temuan Komnas HAM, sedikitnya ada 13 alat untuk melakukan penyiksaan, antara lain selang, kayu, kabel, buku apel, sepatu PDL, air garam, air deterjen, alat pecut, timun, sambal, sandal, dan barang-barang lain yang dibawa oleh tahanan baru.
Selain itu, setidaknya ada 16 titik lokasi penyiksaan, misalnya di branggang atau tempat pemeriksaan WBP, blok isolasi pada kegiatan masa pengenalan lingkungan, lapangan, aula bimbingan kerja, kolam lele, blok tahanan, serta lorong-lorong blok tahanan.
Menurut Tama, tindakan kekerasan dan penyiksaan itu dilakukan petugas sebagai dalih pembinaan dan pendisiplinan terhadap WBP. Selain itu, tindakan tersebut juga dilakukan untuk menurunkan mental narapidana. ”Tindakan penyiksaan tetap terjadi sampai peristiwa ini terungkap ke publik,” katanya.
Bahkan, saat tim Komnas HAM mengunjungi Lapas Narkotika Yogyakarta pada 11 November 2021, tim menemukan enam narapidana dengan kondisi luka di beberapa bagian tubuh. Luka itu berupa luka kering, luka bernanah di punggung dan lengan, luka keloid di punggung, dan luka membusuk di bagian lengan.
Tama juga menyebut, penyiksaan dan perlakuan merendahkan martabat itu juga terjadi pada tahanan titipan. Hal ini karena Komnas HAM juga menemukan adanya satu tahanan titipan kejaksaan yang mengalami penyiksaan. Selain itu, intensitas kekerasan terjadi lebih tinggi terhadap narapidana residivis atau pernah dihukum sebelumnya.
Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM Choirul Anam menyatakan, sudah ada petugas yang mengaku telah melakukan penyiksaan di Lapas Narkotika Yogyakarta. Selain itu, ada petugas lain yang mengaku melihat langsung atau mendengar cerita tentang penyiksaan tersebut.
Choirul menambahkan, berdasar berbagai temuan itu, Komnas HAM menyimpulkan telah terjadi lima jenis pelanggaran HAM di Lapas Narkotika Yogyakarta. Lima jenis hak yang dilanggar itu adalah hak untuk terbebas dari penyiksaan, hak memperoleh keadilan, hak atas rasa aman, hak untuk kehidupan yang layak, dan hak atas kesehatan.
Rekomendasi
Koordinator Bidang Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM Endang Sri Melani menyatakan, Komnas HAM merekomendasikan agar Menteri Hukum dan HAM segera memeriksa semua pihak yang terlibat dalam penyiksaan di Lapas Narkotika Yogyakarta. Selain yang melakukan penyiksaan, pihak-pihak yang mengetahui penyiksaan tapi tak mencegahnya, juga harus diperiksa.
Endang menyebut, pemeriksaan itu harus dilakukan antara lain kepada petugas sipir, penjaga pintu utama, mantan Kepala Lapas, dan mantan Kepala Kesatuan Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan (KPLP) yang bertugas saat terjadinya penyiksaan. Jika ditemukan pelanggaran hukum, harus ada tindak lanjut sesuai ketentuan.
Endang menambahkan, Menteri Hukum dan HAM dan jajarannya harus melakukan berbagai upaya untuk memastikan tidak ada lagi peredaran narkoba, penggunaan ponsel, dan praktik pungutan liar di lapas. Namun, upaya tersebut harus dilakukan dengan tetap memperhatikan hak asasi manusia dan tidak menggunakan kewenangan secara berlebihan.
Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik menyatakan, Komnas HAM mendukung upaya perbaikan di lapas. Namun, upaya perbaikan itu tidak boleh melanggar hak asasi manusia. ”Kami dukung proses perbaikan itu, tapi jangan lupa standar hak asasi manusia tidak boleh dikurangi. Jangan dalam rangka pendisiplinan kemudian melakukan pemukulan,” katanya.
Taufan juga menilai, kasus ini menunjukkan bahwa pengawasan dari Direktorat Jenderal (Ditjen) Pemasyarakatan Kemenkumham belum maksimal. Oleh karena itu, selanjutnya, pengawasan terhadap pengelolaan lapas harus dioptimalkan.
Kompas telah mencoba menghubungi Kepala Divisi Pemasyarakatan Kanwil Kemenkumham DIY Gusti Ayu Putu Suwardani melalui telepon dan pesan di aplikasi Whatsapp untuk meminta tanggapan terhadap temuan Komnas HAM. Namun, hingga berita ini diturunkan, Gusti belum merespons permintaan wawancara tersebut.
Sebelumnya, seperti dikutip dari Kompas.com, 3 November 2021, Kepala Kanwil Kemenkumham DIY Budi Situngkir menegaskan, oknum petugas lapas yang terbukti melakukan tindak kekerasan terhadap narapidana bisa diberhentikan. Tak hanya pegawai, kepala lapas juga bisa terancam dicopot jika kasus itu terbukti benar. ”Kalau memang terjadi tindakan tidak benar, kami janji akan tindak dengan tegas tidak ada toleransi,” kata Budi, Selasa (2/11/2021).