Salah Kaprah Penerapan Keadilan Restoratif
Penerapan keadilan restoratif tak semata menghentikan suatu perkara. Tak bisa pula diterapkan di setiap jenis tindak pidana. Yang tak kalah penting, patut diwaspadai munculnya korupsi yudisial.
Pada 15 Februari 2022, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Fadil Zumhana menyetujui lima permohonan penghentian penuntutan perkara berdasarkan keadilan restoratif. Lima permohonan itu merupakan lima kasus yang ditangani di lima kejaksaan negeri (kejari) berbeda, yakni Kejari Sragen, Cabang Kejari Bangka di Belinyu, Kejari Jepara, Kejari Salatiga dan Kejari Karanganyar.
Kasus yang dihentikan penuntutannya oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) terkait pengancaman, pencurian, penipuan dan penggelapan, penadahan dan penganiayaan. Dalam pertimbangannya, Jampidum menyetujui permohonan penghentian penuntutan tersebut antara lain karena tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana, ancaman pidana tidak lebih dari 5 tahun, tidak ada kerugian materiil yang ditimbukan.
Pertimbangan lainnya, telah dilakukan kesepakatan perdamaian dan para pihak tidak keberatan, kemudian kerugian yang dialami korban telah terpulihkan, serta masyarakat merespons positif. Terhadap perkara penipuan, telah dilakukan pembayaran ganti rugi.
Saat ini, penghentian penuntutan perkara dengan pendekatan keadilan restoratif menjadi salah satu kebijakan prioritas Kejaksaan Agung (Kejagung). Proses itu dilakukan dengan supervisi langsung dari Jampidum Kejagung.
Baca juga: Penerapan Keadilan Restoratif Mendapat Dukungan Publik
Kebijakan penghentian perkara dengan pendekatan keadilan restoratif dilakukan setelah diterbitkan Peraturan Kejaksaan (Perja) Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Di dalamnya dimuat syarat penerapannya, antara lain, tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana, ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 tahun, serta barang bukti atau nilai kerugian perkara tidak lebih dari Rp 2,5 juta. Penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif itu dilaksanakan dengan berasaskan keadilan, kepentingan umum, proporsionalitas, pidana sebagai jalan terakhir, dan cepat.
Sepanjang 2021, kejaksaan menangani perkara pidana umum sebanyak 147.624 perkara. Dari jumlah itu, sebanyak 346 perkara diselesaikan dengan mekanisme keadilan restoratif.
Menurut Leonard Eben Ezer Simanjuntak saat masih menjabat Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung sebelum dimutasi oleh Jaksa Agung, 18 Februari lalu, setelah Jampidum menyetujui permohonan penghentian perkara, selanjutnya kepala kejari setempat akan menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif. Hal itu merupakan wujud kepastian hukum sebagaimana diatur dalam Perja 15/2020.
"Sebelum diberikan SKP2, tersangka dilakukan perdamaian oleh kepala Kejaksaan Negeri tersebut baik terhadap korban, keluarga korban, yang disaksikan oleh tokoh masyarakat maupun dari penyidik Kepolisian," tutur Leonard.
Rupanya, penyelesaian hukum dengan pendekatan keadilan restoratif tersebut ditanggapi positif oleh masyarakat. Dari hasil jajak pendapat oleh Litbang Kompas, sebanyak 83 persen setuju penegak hukum lebih mengedepankan mediasi dan kesepakatan damai dalam penyelesaian kasus pidana ringan (Kompas, 14/2/2022). Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menyebut penerapan keadilan restoratif turut berkontribusi pada peningkatan kepuasan publik pada pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin berdasarkan hasil survei Litbang Kompas (Kompas, 21/2/2022).
Baca juga: Survei Litbang ”Kompas”: Tingkat Kepuasan Publik pada Pemerintahan Jokowi Capai Angka Tertinggi
Tak hanya di tingkat penuntutan, pendekatan keadilan restoratif juga dilakukan di tingkat penyidikan. Penyidik, dalam hal ini aparat kepolisian, telah melaksanakan hal itu sesuai dengan kebijakan Kepala Polri di dalam Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019.
Mahkamah Agung pun telah mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020. SK ini mengatur penerapan keadilan restoratif dalam perkara anak, perempuan berhadapan dengan hukum, narkotika, dan tindak pidana ringan. Ada ketentuan lebih detail bagaimana hakim dapat menerapkan keadilan restoratif dalam perkara-perkara tersebut.
Kesalahpahaman
Wakil Ketua MA Bidang Yudisial, yang saat ini menjadi Ketua Kelompok Kerja Penyusunan Pedoman Penanganan Perkara berdasarkan Prinsip Keadilan Restoratif, Andi Samsan Nganro, Selasa (15/2/2022), mengungkapkan, di luar tindak pidana tersebut, ada kemungkinan dilakukan penerapan keadilan restoratif. Setidaknya semangat dan hakikat keadilan restoratif untuk mewujudkan penegakan yang berkeadilan dan yang tidak kalah pentingnya, yaitu pemulihan keadaan atau kerugian yang ditimbulkan atau dampak tindak pidana yang terjadi.
MA telah mendiskusikan bagaimana pengadilan menerapkan keadilan restoratif pada Desember lalu. Diakui Andi, penerapan konsep keadilan restoratif itu bukan hal yang sederhana. Acuan yang digunakan MA untuk menyusun pedoman penerapannya di pengadilan, di antaranya bagaimana agar proses peradilan dapat memperbaiki kerusakan atau kerugian yang dialami korban, komunitas atau masyarakat secara umum yang terdampak dari tindak pidana yang dilakukan tersangka atau terdakwa.
Setidaknya ada empat prinsip yang digunakan dalam mekanisme penerapan keadilan restoratif, yaitu komunikasi antara pelaku, korban, dan komunitas mengenai penyebab, situasi yang melingkupi kejahatan, dampak dari kejahatan, dan kebutuhan masing-masing pihak atas penyelesaian tindak pidana. Prinsip kedua, identifikasi upaya untuk mengatasi ganti kerugian (baik yang berwujud maupun tak berwujud) yang diakibatkan oleh tindak pidana. Ketiga, memotivasi pelaku untuk bertanggung jawab langsung atas tindak pidana yang dilakukan terhadap korban dan masyarakat. Keempat, mengindentifikasi potensi dan mengupayakan pencegahan perpecahan atau diasingkannya pelaku di masyarakat (disintegrasi).
Andi Samsan yang juga juru bicara MA itu mengungkapkan kekhawatirannya akan kesalahpahaman dalam penerapan konsep keadilan restoratif dewasa ini. Penerapan keadilan restoratif tidak identik dengan dihentikannya suatu perkara, dihentikannya penegakan hukum sebelum sampai pengadilan, atau dibebaskannya seorang pelaku tindak pidana oleh hakim.
Hal tersebut diungkapkan Andi Samsan mengingat maraknya berita tentang diterapkannya keadilan restoratif ketika penegak hukum menghentikan suatu perkara atau menuntut bebas pelaku tindak pidana. “Suatu penghentian kasus pidana atau pembebasan pelaku tindak pidana bukanlah penerapan keadilan restoratif kalau penegak hukum yang melakukannya tidak memastikan terlebih dahulu apakah korban atau masyarakat yang menderita akibat atau kerugian dari tidak pidana tersebut telah dipulihkan,” ujarnya.
Kesalahkaprahan kedua, menurut Andi Samsan, bahwa keadilan restoratif dapat diterapkan dalam setiap jenis tindak pidana. Menurut dia, keadilan restoratif tidak dapat diterapkan untuk kasus-kasus tertentu, seperti kejahatan seksual atau kejahatan atas hak kekayaan intelektual (HAKI).
“Sulit kita bayangkan bagaimana korban suatu tindak pidana kekerasan seksual yang tentu memiliki trauma tersendiri, harus menjalani mediasi dengan pelaku kejahatan kekerasan seksual tersebut,” ujarnya. Sementara mengenai HAKI, undang-undang belum membuka kemungkinan mediasi dilaksanakan untuk seluruh jenis tindak pidana kekayaan intelektual.
Andi mengakui, peran pengadilan dalam penerapan konsep keadilan restoratif memang relatif kecil mengingat keadilan restoratif lebih dapat dicapai saat perkara belum masuk ke meja hakim (masih di tingkat penyidikan dan penuntutan). Meskipun demikian, MA tidak menghindari tanggung jawab akan berjalannya keadilan restoratif. Oleh karena itu, MA saat ini tengah merancang penerapan keadilan restoratif untuk mendorong hakim melaksanakannya dengan dua cara.
Pertama, untuk kasus kekayaan intelektual, penggunaan Pasal 14 huruf a dan 14 huruf c Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) terkait dengan penjatuhan pidana percobaan dengan syarat khusus. Pasal 14 huruf c KUHP mengatur tentang pidana percobaan bagi terdakwa yang dipidana paling lama satu tahun. Ketentuan ini sangat relevan digunakan untuk konsep keadilan restoratif, tentu haruslah dipadu dengan Pasal 14 huruf c ketika hakim memberikan syarat khusus yang harus dipenuhi terpidana sebelum masa percobaan selesai. Syarat khusus itu dapat menjadi jalan bagi hakim untuk memastikan hak, kepentingan dan kerugian yang dialami oleh korban tindak pdiana kekayaan intelektual telah terpenuhi.
Sementara, untuk perkara yang lebih berat, MA akan mendorong penggunaan Pasal 98 KUHAP serta mengabulkan secara proporsional gugatan ganti kerugian yang diajukan oleh korban. Mekanisme ini menjadi cara bagi hakim untuk memastikan korban mendapatkan pemulihan haknya , terlepas dari berat atau ringannya pidana pokok yang kemudian dijatuhkan hakim kepada terdakwa.
Potensi korupsi yudisial
Mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Denny Indrayana mengapresiasi penerapan keadilan restoratif dalam pendekatan penanganan perkara pidana. Keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara di luar pengadilan (out of court settlement) dengan mengedepankan pemenuhan hak korban. Dengan demikian, jika seorang pelaku tindak pidana sudah mengaku bersalah, bentuk pertanggungjawaban yang diambil tidak melulu berupa hukuman badan atau penjara. Apalagi saat ini, lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan cenderung kelebihan penghuni (overcrowded) dalam satu dekade terakhir. Penjara dipenuhi oleh pelaku tindak pidana yang sebenarnya tidak perlu dikenai sanksi dengan hukuman badan.
Denny sepakat dengan Wakil Ketua MA Bidang Yudisial bahwa keadilan restoratif tidak dapat diterapkan untuk semua tindak pidana yang ada. Ia memberi catatan khusus bagi kejahatan luar biasa seperti korupsi, pencucian uang, perdagangan manusia, pelanggaran hak asasi manusia (HAM), serta jenis-jenis tindak pidana khusus lainnya.
Ia juga mengingatkan tentang pentingnya mengawasi penerapan keadilan restoratif dalam sistem peradilan yang masih koruptif. Di satu sisi, penerapan keadilan restoratif lebih baik dibandingkan jika proses hukum yang panjang yang tidak jarang bukannya menghadirkan keadilan tetapi justru memperpanjang proses mafia hukum. Di sisi yang lain, perlu diwaspadai penerapan keadilan restoratif yang justru membuka pintu hadirnya korupsi yudisial. Keadilan restoratif dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu yang memiliki modal atau kuasa untuk menghindari proses hukum.
“Jadi seolah-olah ada perdamaian antara korban dan pelaku, tetapi diduga ada transaksi perkara dengan oknum penegak hukum, Ini yang harus diantisipasi, jaga supaya tidak terjadi,”kata Denny.
Berkaitan dengan hal tersebut, pelibatan masyarakat dalam proses penerapan keadilan restoratif dapat dimaksimalkan. Masyarakat turut andil dalam mengawasi proses yang berlangsung antara pelaku, korban, dan penegak hukum yang memediasi kedua belah pihak.
Pelibatan masyarakat
Jika menilik sejarah keadilan restoratif dalam perkembangan hukum modern, keadilan restoratif diawali dengan pelaksanaan program penyelesaian di luar peradilan (tradisional) yang dilakukan oleh masyarakat, yang disebut victim offender mediation (VOM), di Kanada tahun 1970-an. Program ini menjadi jalan alternatif dalam menghukum anak yang melakukan tindak pidana. Sebelum dilaksanakan hukuman, pelaku dan korban diizinkan bertemu untuk menyusun usulan hukuman yang nantinya menjadi salah satu poin yang dipertimbangkan oleh hakim.
Pelaksanaan program tersebut ternyata memberi lebih banyak manfaat dan keuntungan baik bagi korban maupun pelaku. Masing-masing mendapatkan tingkat kepuasan yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang menjalani proses peradilan.
Dalam perkembangannya, konsep keadilan restoratif ini berkembang pesat dalam dua dekade terakhir. Beberapa negara seperti Australia, Kanada, Inggris, Wales, Selandia Baru, dan beberapa negara di Eropa, kemudian Amerika Serikat, menerapkannya. Di negara-negara tersebut, pelibatan masyarakat dalam proses keadilan restoratif terwujud dalam empat kelompok, yaitu Victim Offender mediation (VOM), Conferencing/Family Group Conferencing (FGC), Circles, dan Restorative Board/Youth Panels.
VOM pertama kali diterapkan di Kitchener, Ontario, Kanada pada awal tahun 1970-an dalam kasus vandalisme oleh dua pemuda. Ketika itu, hakim berhasil diyakinkan agar diadakan pertemuan di luar pengadilan antara pelaku dan korbannya. Setelah pertemuan-pertemuan tersebut, hakim kemudian memerintahkan kedua pelaku membayar restitusi kepada para korbannya. Praktik ini kemudian berkembang menjadi program rekonsiliasi korban dengan pelaku yang terorganisir dan didanai baik oleh sumbangan gereja atau hibah dana pemerintah dengan dukungan dari berbagai kelompok masyarakat.
Praktik VOM tersebut kemudian menyebar ke berbagai negara. Di Amerika (pertama kali dilakukan pada 1978) saat ini terdapat 400-an VOM, begitu pula di Eropa.
Selain VOM, ada pula praktik yang dikembangkan di Selandia Baru pada 1989 dan Australia pada 1991 yaitu conferencing. Proses ini melibatkan anggota masyarakat, pelaku, korban, mediator, keluarga atau Lembaga-lembaga yang memiliki perhatian terhadap persoalan anak. Jenis ketiga adalah circles yang diterapkan awalnya di Kanada tahun 1992. Circles mirip dengan conferencing tetapi dengan pelibatan para peserta mediasi yang lebih luas. Sementara praktik keadilan restoratif keempat adalah restorative board atau youth panels yang melibatkan pelaku, korban, masyarakat, mediator, dan juga hakim, jaksa dan pembela secara bersama merumuskan bentuk sanksi yang tepat bagi pelaku dan ganti rugi bagi koran atau masyarakat. Sasarannya, peran aktif masyarakat dalam proses peradilan tindak pidana.
Baca juga: ”Restorative Justice” dan Keadilan Penegakan Hukum
Pada praktiknya, pelaksanan keadilan restoratif di negara-negara lain melibatkan partisipasi masyarakat dalam prosesnya. Partisipasi tersebut penting untuk menjamin pelaksanaan restitusi dan proses penyembuhan tatanan masyarakat yang sempat terkoyak akibat tindak pidana pada akhirnya terjadi.
Dalam konteks untuk mencegah “permainan” antara pihak pelaku tindak pidana dengan oknum penegak hukum, menurut Denny, keterlibatan masyarakat dalam proses keadilan restoratif tersebut menjadi penting. “Karena mafia hukum kita sudah mengakar di semua tingkat penegakan hukum, tidak cukup pengawasan internal. Harus melibatkan pengawasan eksternal, khususnya publik. Jadi mengadopsi keadilan restoratif yang community based seperti di NZ (New Zealand) atau sistem circles di Kanada tersebut,” ungkapnya.
Penerapan keadilan restoratif di Indonesia masih tergolong baru dibandingkan dengan negara-negara di atas, walaupun sebagian kalangan menilai bahwa konsep ini sebenarnya telah ada dan diterapkan dalam sistem hukum adat masyarakat. Namun, sebagai praktik dalam peradilan, berbagai penyempurnaan perlu dilakukan termasuk di antaranya siapa pihak-pihak yang terlibat di dalamnya.