”Restorative Justice” dan Keadilan Penegakan Hukum
Pengedepanan penyelesaian kasus pidana ringan dengan mekanisme keadilan restoratif menjadi lompatan besar dalam penegakan hukum yang perlu diapresiasi. Pengawasan bersama terhadap hal tersebut mutlak perlu dilakukan,
Pengedepanan penyelesaian kasus pidana ringan dengan mekanisme keadilan restoratif menjadi lompatan besar dalam penegakan hukum yang perlu diapresiasi. Meskipun demikian, pengawasan bersama terhadap hal tersebut mutlak perlu dilakukan, termasuk memastikan pelaksanaannya tetap berada pada koridor ketentuan hukum yang berlaku.
Beberapa waktu lalu, kabar mengenai adanya kebijakan Kejaksaan untuk melakukan penyelesaian perkara pidana dengan menemukan kesepakatan jalan tengah antara pelaku dan korban sering terdengar.
Kejaksaan Negeri Rokan Hilir, misalnya, pada akhir Januari 2022 membebaskan pelaku pencurian barang elektronik dan satu unit sepeda. Pelaku mengakui perbuatannya dan terpaksa harus mencuri karena terdesak kebutuhan ekonomi keluarganya.
Proses penghentian penuntutan perkara dengan cara restorative justice atau keadilan restoratif secara langsung juga disaksikan oleh Jaksa Agung St. Burhanuddin di Kejaksaan Negeri Merangin, Jambi. Kasus yang diselesaikan dengan mekanisme keadilan restoratif itu terkait dengan perkara pencurian besi bekas oleh seorang tersangka yang dilatarbelakangi alasan ekonomi untuk kebutuhan biaya pengobatan ibunya.
Sebelumnya, beberapa kantor Kejaksaan Negeri di daerah juga telah melakukan penghentian penuntutan kasus pidana, seperti kasus penganiayaan dan ancaman di Kejaksaan Negeri Aceh Singkil atau kasus pidana kecelakaan lalu lintas di Kejaksaan Negeri Indragiri Hulu, hingga perkara penganiayaan di Kejaksaan Negeri Sleman.
Dua tahun ke belakang, lembaga penegak hukum Kejaksaan memang gencar melakukan penyelesaian perkara dengan mekanisme restorative justice atau keadilan restoratif. Penyelesaian perkara dengan cara tersebut dinilai dapat menjadi alternatif penyelesaian pidana ringan dan dapat lebih mendatangkan rasa keadilan.
Selama tahun 2021, setidaknya ada lebih dari 346 perkara yang dihentikan penuntutannya melalui restorative justice. Jumlah itu tampaknya akan terus meningkat signifikan seiring terus gencarnya gerakan keadilan restoratif yang diterapkan di kantor-kantor kejaksaan daerah. Dalam sebulan terakhir saja, sepanjang Januari 2022, Kejaksaan telah menghentikan tidak kurang dari 53 perkara lewat restorative justice.
Baca juga : Kejaksaan Hentikan Ratusan Perkara demi Keadilan, ”Restorative Justice” Diperluas
Harapan keadilan
Penyelesaian perkara dengan keadilan restoratif menjadi bagian dari komitmen Kejaksaan untuk mengubah wajah peradilan dan penegakan hukum yang adil bagi semua masyarakat. Komitmen tersebut pun secara nyata dituangkan dalam regulasi yang mengatur pelaksanaan restorative justice di lingkungan Korps Adhiyaksa.
Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif menjadi pijakan Kejaksaan Negeri di daerah-daerah untuk mengambil keputusan penyelesaian kasus dengan mekanisme keadilan restoratif.
Dalam peraturan tersebut dijelaskan bahwa keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan.
Keadilan restoratif merupakan kewenangan yang dimiliki jaksa. Jaksa yang dapat menentukan seseorang disidang atau tidak yang dalam artian menentukan suatu perkara berlanjut tidaknya ke proses pengadilan.
Keadilan restoratif menjadi bukti bahwa negara melalui penegak hukumnya hadir untuk menciptakan rasa keadilan. Secara khusus pula, terkait hal tersebut, Jaksa Agung Burhanuddin menyampaikan bahwa melalui kebijakan restorative justice diharapkan tidak ada lagi masyarakat bawah yang tercederai oleh rasa ketidakadilan. Langkah ini menjadi pembuktian nyata bahwa hukum tidak hanya tajam ke bawah.
Meskipun demikian, perlu juga untuk digarisbawahi, keadilan restoratif bukan berarti memberikan ruang pengampunan bagi pelaku pidana untuk mengulangi kesalahan serupa. Keefektifan keadilan restoratif dalam menciptakan keadilan hukum bagi masyarakat membuat langkah tersebut kembali akan diperluas oleh Kejaksaan, termasuk pula dengan mempertimbangkan cakupan penerima kasus keadilan restoratif hingga bobot penanganan perkara.
Sejauh ini, dengan capaian hingga lebih dari 700-an perkara yang dapat diselesaikan dengan keadilan restoratif, terdapat setidaknya lebih dari 1.000 tersangka yang terbebas dan tidak perlu menjalani proses peradilan atau berlanjut ke hukuman penjara. Langkah tersebut pun dinilai cukup efektif untuk mengurangi beban kelebihan kapasitas lembaga pemasyarakatan ataupun penghematan dalam penggunaan anggaran sidang perkara.
Sebagai sebuah terobosan penegakan hukum yang berkeadilan, mekanisme penyelesaian perkara dengan cara ”restorative justice ” memang semestinya dapat memenuhi harapan keadilan kepada publik.
Baca juga : Keadilan Restoratif Berpeluang Perbaiki Sistem Peradilan Pidana
Potensi transaksional
Penerapan keadilan restoratif yang konsisten oleh lembaga Kejaksaan memang patut diapresiasi. Meskipun demikian, penyelesaian kasus dengan mekanisme tersebut pun turut membuka celah yang sangat rentan transaksional antara penegak hukum, pelaku, dan korban.
Tak sedikit pula aktivis dan pengamat bidang hukum yang turut mempertanyakan ketentuan dan proses yang dilakukan oleh lembaga penegak hukum dalam menerapkan restorative justice. Ketentuan yang tertuang dalam Peraturan Jaksa Nomor 15 Tahun 2020 dianggap belum begitu rinci menerangkan persyaratan, ketentuan, dan proses dalam menerapkan keadilan restoratif.
Sejauh ini, perkara yang diputuskan untuk dapat dilakukan keadilan restoratif merupakan tindak pidana ringan, mulai dari pencurian hingga pidana kecelakaan lalu lintas. Dalam dokumen Pedoman Penerapan Restorative Justice di Lingkungan Peradilan Umum yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung, pada Desember 2020, dijelaskan, ada sejumlah tindak pidana ringan yang dimaksud dapat diselesaikan melalui keadilan restoratif.
Tindak pidana ringan yang dimaksud terdapat dalam Kitab Umum Hukum Pidana (KUHP) antara lain pasal 364 terkait pencurian ringan, pasal 373 tentang penggelapan barang, pasal 379 tentang penipuan, hingga pasal 482 terkait perbuatan penadah ringan.
Sementara itu, dalam Peraturan Jaksa No 15/2020, ketentuan dan mekanisme penyelesaian perkara secara keadilan restoratif pun telah diatur. Ada beberapa hal sebagai persyaratan penting yang harus terpenuhi dalam melakukan penghentian penuntutan terhadap suatu kasus pidana.
Persyaratan pertama yang harus terpenuhi ialah terkait dengan tersangka yang dalam catatan pelanggaran hukumnya baru pertama kali melakukan tindak pidana. Selanjutnya, tindak pidana yang dilakukan hanya diancam dengan denda pidana atau diancam kurungan penjara tidak lebih dari lima tahun. Terakhir, tindak pidana yang dilakukan memilii nilai barang bukti atau kerugian yang ditimbulkan tidak lebih dari Rp 2,5 juta.
Adanya sejumlah persyaratan mutlak yang harus dipenuhi suatu perkara untuk dapat diselesaikan dengan keadilan restoratif tersebut semestinya dapat menjadi pijakan awal dan kontrol dalam menilai proses penegakan hukum dengan cara tersebut, termasuk untuk mewaspadai dan menjaga penegakan hukum oleh Kejaksaan berjalan dengan bersih dan transparan.
Dalam hal ini pula, berdasarkan ketentuan yang telah disusun, penting pula untuk dipahami secara luas bahwa tidak semua perkara pidana dapat diselesaikan lewat keadilan restoratif. Ketentuan pengeculian perkara yang dapat dihentikan lewat keadilan restoratif juga tertuang dalam Peraturan Jaksa No 15/2020. Adapun tindak pidana yang dimaksud ialah kasus yang menyangkut keamanan negara, martabat presiden dan wakil presiden, keamanan negara sahabat, ketertiban umum, dan kesusilaan.
Tindak pidana lainnya yang juga dikecualikan untuk dapat diselesaikan lewat keadilan restoratif terkait dengan kasus narkotika dan pidana yang diancam dengan pidana minimal. Kasus-kasus terkait lingkungan hidup hingga pidana yang dilakukan oleh korporasi pun turut tidak dapat diselesaikan lewat jalur keadilan restoratif.
Kekhawatiran akan munculnya kemungkinan transaksional dalam penyelesaian suatu perkara hendaknya menjadi pemantik tanggung jawab bersama untuk mengawasi kinerja lembaga penegak hukum. Dalam hal ini, sebagai bentuk komitmen untuk terus menjaga proses penegakan hukum yang bersih dan transparan, Kejaksaan Agung membentuk Satuan Tugas (SATGAS) 53. Satgas tersebut akan menerima pengaduan dan menindaklanjuti segala bentuk penyimpangan yang dilakukan oleh oknum kejaksaan.
Restorative justice sejatinya menjadi ruang untuk membenahi wajah peradilan di Indonesia agar lebih bersih dan transparan tanpa adanya intervensi kepentingan pihak mana pun. Maka dari itu, peran dan kepedulian bersama dalam menjaga keberlanjutan reformasi penegakan hukum ini perlu ditunjukkan oleh semua pihak agar harapan keadilan benar-benar mewujud. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Jaksa Agung Utamakan Mekanisme ”Restorative Justice” bagi Masyarakat Kecil