Penerapan Keadilan Restoratif Mendapat Dukungan Publik
Sebanyak 83 persen responden jajak pendapat ”Kompas” setuju penegak hukum lebih mengedepankan mediasi dan kesepakatan damai dalam penyelesaian kasus pidana ringan. Namun, hal ini dinilai perlu diikuti evaluasi berkala.
Oleh
Eren Marsyukrilla, Litbang Kompas
·6 menit baca
Berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum, Mahkamah Agung, 22 Desember 2020, tentang Pedoman Penerapan Restorative Justice di Lingkungan Peradilan Umum, keadilan restoratif dimaknai sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana yang dalam mekanisme tata cara peradilan pidana berfokus pada pemidanaan yang diubah menjadi proses dialog dan mediasi yang melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain terkait untuk bersama-sama menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana. Penyelesaian itu dilakukan secara adil dan seimbang bagi korban ataupun pelaku dengan mengedepankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan mengembalikan pola hubungan baik dalam masyarakat.
Senapas dengan hal itu, pada 19 Agustus 2021, Kepala Polri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo menandatangani Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif. Terbitnya peraturan Kapolri itu menjadi penegasan bahwa kepolisian serius mewujudkan penyelesaian tindak pidana dengan tidak lagi berorientasi pada proses pemidanaan pelaku.
Begitu juga di lingkungan lembaga kejaksaan di mana alternatif penyelesaian kasus pidana dengan mengedepankan keadilan restoratif tersebut menjadi komitmen Korps Adhyaksa dalam mewujudkan keadilan hukum di hadapan publik. Sebelumnya, diterbitkan Peraturan Kejaksaan RI Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif, Juli 2020.
Sepanjang 2021, Polri menyampaikan ada lebih dari 11.000 kasus yang diselesaikan dengan mekanisme keadilan restoratif. Sementara di lingkungan kejaksaan, 700-an perkara pidana ringan dengan melibatkan lebih dari 1.000 tersangka dihentikan penuntutannya dan diselesaikan melalui mediasi serta kesepakatan damai.
Sebagai terobosan langkah penegakan hukum, penerapan keadilan restoratif juga memiliki berbagai rambu persyaratan yang perlu dipenuhi. Dalam surat keputusan Mahkamah Agung, peraturan Polri, ataupun peraturan kejaksaan dijelaskan bahwa persyaratan keadilan restoratif cukup ketat, antara lain meliputi hanya pidana ringan, seperti pencurian atau penadahan ringan dengan ancaman penjara tiga bulan.
Cakupan restorative justice yang berlaku pada tindak pidana ringan ini juga sejalan dengan pandangan publik akan hal itu. Mayoritas responden jajak pendapat Kompas, yakni 83 persen, setuju bahwa penegak hukum memang semestinya lebih mengedepankan mediasi dan kesepakatan damai dalam penyelesaian kasus pidana ringan. Hal ini tentu tak terlepas dari banyaknya kasus pidana ringan yang terjadi dapat lebih dimaafkan dan mendapat pemakluman publik, terlebih hal tersebut dipengaruhi pula oleh latar sisi kemanusiaan dan tanggung jawab sosial di tengah masyarakat.
Dalam kasus pidana ringan dengan ancaman kurungan penjara selama tiga bulan, seperti tindak pencurian ringan, sebagian besar publik setuju jika kasus itu dapat diselesaikan dengan cara mediasi. Setidaknya tujuh dari sepuluh responden sepakat akan hal itu.
Ada 45 persen responden yang setuju pada penyelesaian secara keadilan restoratif. Sementara dalam porsi yang tidak jauh berbeda (52,7 persen), publik justru tidak setuju jika tindak pidana penipuan ringan dibawa dalam penyelesaian restoratif.
Sedikit berbeda dengan itu, untuk kasus pidana penipuan ringan yang ancaman hukumannya tiga bulan penjara, pandangan publik terhadap penyelesaian kasus penipuan dengan jalur keadilan restoratif justru masih cukup terbelah. Ada 45 persen responden yang setuju pada penyelesaian secara keadilan restoratif. Sementara dalam porsi yang tidak jauh berbeda (52,7 persen), publik justru tidak setuju jika tindak pidana penipuan ringan dibawa dalam penyelesaian restoratif.
Persyaratan ketat
Pandangan publik akan tindak pidana ringan itu tentulah banyak dipengaruhi oleh realitas sosial sehingga dapat membentuk penerimaan dan pemaafan publik terhadap para pelaku pidana untuk layak mendapatkan pengampunan lewat penyelesaian keadilan restoratif. Termasuk pula kisah atau latar cerita di balik aksi nekat hingga seseorang berani melakukan tindakan kriminal.
Sebagai contoh dalam kasus pencurian, yang didorong oleh adanya faktor kemendesakan ekonomi untuk pemenuhan kebutuhan hidup keluarga. Hal ini tentu begitu menyentuh sisi kemanusiaan sehingga rasa simpati yang membuat keadilan restoratif dianggap menjadi jalan keluar paling bijak untuk membebaskan pelaku dari tuntutan hukuman pidana.
Hal yang perlu digarisbawahi, prinsip dasar keadilan restoratif adalah adanya pemulihan korban, perdamaian, dan sejumlah kesepakatan lain yang diputuskan dalam proses mediasi. Pada intinya, hukum yang adil pada keadilan restoratif tentu tidak berat sebelah, tidak memihak, tidak sewenang-wenang, dan hanya berpihak pada kebenaran sesuai aturan perundang-undangan yang berlaku serta mempertimbangkan kesetaraan hak dan keseimbangan dalam setiap aspek kehidupan.
Sebagaimana yang telah ditetapkan pula, penerapan keadilan restoratif memiliki persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi selain tindakan yang dimaksud merupakan pidana ringan. Secara garis besar, persyaratan umum dalam penanganan tindak pidana berdasarkan keadilan restoratif paling tidak harus memenuhi persyaratan materiil dan formil.
Adapun persyaratan materiil mencakup hal-hal seperti tidak menimbulkan keresahan atau penolakan dari masyarakat, tidak berdampak pada konflik sosial, serta tidak memecah bangsa dan bagian dari tindakan radikalisme, separatisme, terorisme, hingga pidana korupsi. Selain itu, penting pula untuk melihat bahwa pelaku pidana bukanlah orang yang sebelumnya pernah tersangkut kasus pidana.
Sementara persyaratan formil yang juga harus dipenuhi antara lain adanya kesepakatan damai di antara kedua pihak, misalnya pelaku dan korban. Lalu, termasuk pula pemenuhan hak-hak korban dan tanggung jawab pelaku, seperti pengembalian barang atau ganti rugi.
Sekalipun memiliki pertimbangan dan persyaratan ketat, mekanisme keadilan restoratif bagi kasus pidana ini menyisakan celah kekhawatiran. Praktik penyalahgunaan kebijakan tersebut bisa saja membayangi langkah progresif penegakan hukum ini.
Kekhawatiran itu juga tergambar dari besarnya porsi responden jajak pendapat (lebih dari tiga perempat), yang menyatakan kekhawatirannya terhadap penyalahgunaan proses keadilan restoratif. Hal itu tidak lepas pula pada kondisi dan kebiasaan orang di Indonesia yang sangat pragmatis dengan lebih mencari jalan mudah jika sedang berhadapan dengan hukum. Bahkan, sering kali abai terhadap ketentuan proses hukum yang berlaku.
Keyakinan publik
Pengawasan untuk terus memastikan komitmen penegakan keadilan restoratif berada pada koridor dan rambu-rambu peraturan yang berlaku mutlak dilakukan. Di lingkup kejaksaan, misalnya, dibentuk Satuan Tugas (Satgas) 53 yang bertujuan untuk menegakkan disiplin para anggota Korps Adhyaksa dalam menjalankan tugas penegakan hukum. Pengetatan pengawasan diharapkan mampu menghadirkan proses penegakan hukum yang bersih, transparan, dan berkeadilan.
Keadilan restoratif sejatinya menjadi bagian besar dari upaya reformasi penegakan hukum agar lebih baik dan dirasakan manfaatnya oleh rakyat. Sejauh penerapan keadilan restoratif yang berjalan, tampaknya optimisme akan penegakan hukum yang lebih baik kian nyata dirasakan.
Terkait ekspektasi publik pada penerapan keadilan restoratif, 42 persen responden mengharapkan evaluasi dan perbaikan secara berkala dapat terus dilakukan dalam penegakan keadilan restoratif.
Optimisme publik yang terbangun itu tergambarkan dari 57 persen responden yang meyakini proses keadilan restoratif yang diterapkan untuk pidana ringan akan memberikan manfaat keadilan. Meskipun di luar itu, ada dua perlima bagian responden lain yang masih bertolak pandangan dengan hal tersebut.
Keyakinan publik terhadap efektivitas penerapan restorative justice itu sudah semestinya diimbangi pembenahan terhadap proses yang telah berjalan. Hal itu penting agar tujuan dan eksistensi keadilan restoratif di wilayah hukum dapat terus memenuhi harapan publik.
Terkait ekspektasi publik pada penerapan keadilan restoratif, 42 persen responden mengharapkan evaluasi dan perbaikan secara berkala dapat terus dilakukan dalam penegakan keadilan restoratif. Selanjutnya, hal yang juga mendapat sorotan cukup besar dari publik, yaitu terkait pengawasan yang semestinya dilakukan lebih ketat, lebih dari seperempat bagian responden menyatakan demikian.
Menjaga komitmen dan kemurnian agenda penegakan hukum yang berkeadilan memang bukan hal mudah. Adanya dukungan dan kepercayaan publik yang mengalir tentu akan menjadi pemantik semangat bagi para penegak hukum, baik kepolisian maupun kejaksaan, untuk dapat mewujudkan wajah penegakan hukum Indonesia yang bersih dan adil.