logo Kompas.id
Ekonomi”Lapar” Lahan Proyek Strategis...
Iklan

”Lapar” Lahan Proyek Strategis Nasional Picu Konflik

Sejumlah proyek strategis nasional yang ”lapar” lahan dinilai turut memicu konflik agraria satu dekade terakhir.

Oleh
HENDRIYO WIDI, WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN, MUKHAMAD KURNIAWAN
· 5 menit baca
Warga membentangkan spanduk tolak relokasi setelah pentas seni dan budaya Melayu di Dataran Muhammad Musa di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, Kamis (9/11/2023).
KOMPAS/PANDU WIYOGA

Warga membentangkan spanduk tolak relokasi setelah pentas seni dan budaya Melayu di Dataran Muhammad Musa di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, Kamis (9/11/2023).

Investasi dan pembangunan melaju kencang di era pemerintahan Presiden Joko Widodo. Setelah implementasi Undang-Undang Cipta Kerja, keduanya saling melengkapi, seakan ”lapar” lahan linear dengan eskalasi konflik agraria.

Berdasarkan Laporan Tahunan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Tahun 2023 yang diluncurkan Senin (15/1/2024), konflik agraria di sektor perkebunan masih dominan. Pada 2023, jumlahnya 108 konflik dari total 241 letusan konflik agraria.

Kendati begitu, konflik agraria di sektor infrastruktur yang menempati urutan keempat terbanyak tak bisa disepelekan. Sepanjang tahun lalu, konflik agraria yang meletus di sektor ini mencapai 30 kasus dengan luas lahan dan jumlah korban masing-masing 243.755 hektar (ha) dan 3.456 keluarga. Dari jumlah itu, 21 konflik terkait dengan proyek strategis nasional (PSN).

KPA juga mencatat, sepanjang 2020-2023, ada 115 letusan konflik agraria akibat PSN. Luas lahan dan jumlah korban terdampak masing-masing 516.409 ha dan 85.555 keluarga. Beberapa konflik itu terjadi seiring percepatan PSN, antara lain terkait penggusuran lahan hutan Bowosie untuk infrastruktur Kawasan Strategis Pariwisata Nasional Komodo, Tol Padang-Pekanbaru, Waduk Sepaku Semoi di Ibu Kota Nusantara, dan PLTA di Pinrang.

Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika mengatakan, serapan tenaga kerja untuk setiap investasi senilai Rp 1 triliun rata-rata mencapai 1.248 orang. Namun, 115 konflik di kawasan PSN saja sudah membuat 85.555 petani kehilangan pekerjaan.

Sepanjang 2020-2023 terdapat 115 letusan konflik agraria akibat PSN. Luas lahan dan jumlah korban yang terdampak masing-masing 516.409 ha dan 85.555 keluarga.

https://cdn-assetd.kompas.id/KSx1rrx5zDAChXdpI2vyRrm-gOg=/1024x1331/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F01%2F15%2F4d9c8e5a-6e61-494b-afa0-d77277d64a58_png.png

”Bahkan di tiga kawasan PSN, yakni PLTP (Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi) Geothermal Poco Leok di Manggarai, Kawasan Rempang Eco City di Batam, dan Kampus UIII (Universitas Islam Internasional Indonesia) di Depok, terdapat 11.245 keluarga terdampak konflik agraria PSN, dan berpotensi menambah pengangguran akibat kehilangan tanah,” katanya.

Kenapa konflik agraria di kawasan semakin banyak meletus? Menurut Dewi, sejak UU Cipta Kerja diimplementasikan, definisi kepentingan umum diperluas. Kepentingan umum yang semula sebatas proyek-proyek infrastruktur bagi masyarakat berkembang ke hilirisasi pertambangan, kawasan ketahanan pangan, serta kawasan industri dan pariwisata premium.

”Hal itu membuat arti dari kepentingan umum menjadi bias. Tidak lagi sepenuhnya bagi kepentingan rakyat, tetapi juga lebih ke bisnis-bisnis berskala besar,” katanya.

Dari konsep itu, kata Dewi, muncul sejumlah regulasi turunan UU Cipta Kerja. Beberapa di antaranya adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 42 Tahun 2021 tentang Kemudahan PSN, PP No 64/2021 tentang Badan Bank Tanah, PP No 19/2021 tentang Pengadaan Tanah, dan PP No 18/2021 tentang Hak Pengelolaan.

Baca juga: Sembilan Tahun Berjalan, Capaian Reforma Agraria Masih Timpang

Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika
PRAYOGI DWI SULISTYO

Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika

Melalui peraturan-peraturan itu, pemerintah semakin banyak merancang kemudahan proses pengadaan tanah dan pembebasan lahan demi investasi dan percepatan PSN. Kawasan mana pun, termasuk dalam kasus Pulau Rempang, bisa ditetapkan sebagai kawasan PSN dengan begitu mudahnya.

”Akuisisi tanah secara sepihak menjadi milik atau akan digunakan oleh negara menjadi mudah dilakukan. PSN yang saking ’lapar’ tanah menjadi proyek yang sangat ambisius dan perlu cepat dirampungkan dengan klaim-klaim sepihak, bahkan kekerasan, menggusur masyarakat yang sudah lama mendiami tanah itu,” kata Dewi.

Wajah baru

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) berpendapat senada. Komnas HAM menilai proyek strategis nasional menjadi sumber baru pemicu konflik agraria di Indonesia. Konflik lama belum selesai, tetapi letupan-letupan baru terus bermunculan.

Baca juga: Mengurai Regulasi, Menanti Janji Redistribusi

Merujuk catatan Komnas HAM, terdapat 1.675 kasus pelanggaran HAM hingga akhir 2023. Sebanyak 535 kasus di antaranya merupakan konflik baru. Kasus didominasi oleh konflik pertanahan, PSN atau infrastruktur, perkebunan, kehutanan, pertambangan, pesisir, dan bangunan milik negara serta rumah dinas.

Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM Saurlin P Siagian, Jumat (12/1/2024), mengatakan, PSN menjadi sumber baru konflik agraria karena menggunakan pendekatan keamanan. Contohnya, konflik agraria akibat tumpang tindih lahan di Sumatera Barat, proyek Rempang Eco City, hingga pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung.

Sejumlah alat berat dikerahkan untuk membuka jalan di sekitar lahan adat di Desa Logon Owa, Distrik Wouma, Wamena, Jayawijaya, Papua Pegunungan, pada 27 Mei 2023.
MASYARAKAT ADAT ALIANSI WELESI, WOUMA, DAN ASSOLOKOBAL

Sejumlah alat berat dikerahkan untuk membuka jalan di sekitar lahan adat di Desa Logon Owa, Distrik Wouma, Wamena, Jayawijaya, Papua Pegunungan, pada 27 Mei 2023.

”Era ini, PSN menjadi sumber baru konflik agraria. Proyek-proyek menyisakan banyak korban dan belum mendapat perhatian. Mereka sudah lapor, tapi kelanjutannya belum jelas,” ujarnya.

Meskipun demikian, Saurlin mengaku bahwa setiap era kepemimpinan selalu meninggalkan konflik agraria yang belum selesai. Sumber dan pihak yang terlibat konflik pun cenderung sama. Mereka di antaranya kepolisian, korporasi, pemerintah daerah dan pusat.

Iklan

Salah satu faktor penyebabnya adalah ego sektoral antar-instansi. Masalah pertanahan diklaim melibatkan banyak pihak, seperti Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Badan Usaha Milik Negara, Kementerian Keuangan, dan pihak lainnya.

”Ada banyak entitas yang terlibat dan memiliki kewenangan. Itu yang membuat reforma agraria sulit dilaksanakan. Selama ini, Kantor Staf Presiden sudah mencoba orkestrasi, tapi tetap sulit karena urusannya terkait kewenangan,” katanya.

Komnas HAM, lanjut Saurlin, sudah mencoba untuk mendorong kolaborasi dan mengeluarkan rekomendasi. Walakin, itu saja tidak cukup. Menurut dia, butuh perubahan kebijakan untuk menuntaskan konflik agraria.

Baca juga: Hari Tani dan Dualisme Hukum Agraria

https://cdn-assetd.kompas.id/46ihZwMYcVcckqlBojOZbtsIXMA=/1024x1354/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F01%2F16%2F3b3eeec0-969c-430a-a973-135d737436b3_png.png

Pada dasarnya, program reforma agraria dicetuskan untuk mengurangi ketimpangan atas penguasaan tanah. Oleh karena itu, redistribusi lahan dilakukan, tetapi realisasinya masih jauh dari target yang ditetapkan. Pemerintah seolah sibuk sertifikasi dan mendata tanah milik warga. Sebagian besar di antaranya bahkan tidak ada yang berkonflik.

”Sertifikasi tanah itu bukan reforma agraria. Sumber-sumber ketimpangan masih ada, konflik terus bermunculan,” tambahnya.

Pakar agraria Iwan Nurdin menyampaikan pendapat senada. Menurut dia, sertifikasi lahan itu bukan reforma agraria, melainkan layanan pertanahan. Kewajiban itu sudah semestinya ditunaikan pemerintah sebagai wujud layanan. ”(Sertifikasi) Itu tidak ada unsur reform-nya. Itu bukan layanan untuk warga yang tidak punya akses tanah,” ujarnya.

Baca juga: Kasus Rempang Puncak Gunung Es Konflik Agraria

Iwan menilai reforma agraria didesain gagal sejak awal. Oleh karena itu, kendati menjadi agenda Nawacita ke-5 Presiden Joko Widodo, realisasi program reforma agraria masih jauh dari harapan.

Saurlin berharap pemerintah ke depan mulai memperhatikan reforma agraria secara komprehensif. Mereka bisa menaruh perhatian terhadap payung hukum seperti Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan dan RUU Masyarakat Adat. Keduanya belum disahkan hingga kini.

Gede Sutape (71), petani eks transmigran Timor Timur, tengah menanam cabai bersama sejumlah buruh tani di Kampung Bukit Sari, Desa Sumber Klampok, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Bali, Senin (8/1/2024). Sutape bersama warga eks transmigran Timor Timur berharap bisa mendapatkan sertifikat hak milik lahan yang digarap mereka sejak tahun 2000.
KOMPAS/HENDRIYO WIDI

Gede Sutape (71), petani eks transmigran Timor Timur, tengah menanam cabai bersama sejumlah buruh tani di Kampung Bukit Sari, Desa Sumber Klampok, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Bali, Senin (8/1/2024). Sutape bersama warga eks transmigran Timor Timur berharap bisa mendapatkan sertifikat hak milik lahan yang digarap mereka sejak tahun 2000.

Selain itu, pembangunan PSN ke depan bisa berorientasi pada hak asasi manusia, misalnya dengan aktif melibatkan organisasi-organisasi kemanusiaan. Dengan demikian, potensi konflik dan masalah baru yang dapat timbul bisa dikurangi.

”Kami tidak tahu apa lagi setelah PSN, tapi sudah dibayangkan akan ada hal baru. Dalam pertemuan di Bali tahun 2020, hal berikutnya mungkin berkaitan dengan proyek raksasa transisi energi. Ini harus dipastikan memiliki kerangka HAM,” ungkapnya.

Baca juga: Semringah Petani Gunung Anten dengan Sertifikat Tanah

Senada dengan Saurlin, anggota Ombudsman Dadan Suparjo Suharmawijaya menyebut reforma agraria yang dilaksanakan saat ini belum optimal. Redistribusi lahan sebagai ruh utama reforma agraria belum juga direalisasikan.

Hingga saat ini, informasi mengenai lahan yang benar-benar diredistribusi ke masyarakat dari kawasan hutan masih minim. Masyarakat cenderung mendapatkan lahan-lahan bekas hak guna usaha (HGU) suatu korporasi yang sudah habis.

”Masyarakat dapat tanah sisa. Sisa dari eks HGU perusahaan. Saya masih belum menemukan informasi pemerintah redistribusi lahan yang murni dari pelepasan kawasan hutan. Jangankan itu, fokus reforma agraria saat ini saja hanya mendata lahan publik, sekadar sertifikasi,” tuturnya.

https://cdn-assetd.kompas.id/ah8_OTxyL2_wDoxJf06Yh_PiAE4=/1024x2513/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F01%2F14%2F2a4f3d3e-859f-4cff-81ef-1bbc58c68ac2_png.png

Pendataan atau sertifikasi lahan merupakan tugas utama pemerintah dan seharusnya hal tersebut berada di luar reforma agraria. Dengan demikian, tujuan utama reforma agraria untuk mengurangi ketimpangan lahan bisa dicapai.

Dalam catatan Ombudsman, lanjut Dadan, masalah pertanahan paling mendominasi. Dari masalah itu, konflik agraria jadi salah satu masalah yang sulit diselesaikan karena melibatkan banyak pihak.

Dia mencontohkan, perundang-undangan mengatur bahwa tanah yang dikelola masyarakat sedikitnya 20 tahun merupakan hak dari pihak yang mengelola. Berbekal aturan itu, seharusnya masyarakat yang menempati suatu daerah bisa mendapatkan haknya.

Namun, minimnya data negara soal kepemilikan tanah menjadi salah satu pemicu konflik. ”Misalnya, negara sudah menerbitkan HGU untuk perusahaan A, tapi tidak tahu bahwa di sana sudah ada penduduk yang menempati. Perusahaan, yang mengantongi izin HGU, seenaknya mengusir penduduk,” ungkapnya.

Dari kasus itu, pemerintah bisa memeriksa apakah lahan yang ditempati penduduk—yang beririsan dengan HGU—sudah lebih dari 20 tahun dikelola. Apabila sudah, negara tinggal mengeluarkan tanah milik penduduk tersebut.

https://cdn-assetd.kompas.id/RR2Q8LfHM7ZbeD-_OomCMASFLBw=/1024x2178/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F01%2F15%2F3c35db22-27af-4409-b97a-7dd6b9ae3378_png.png

Meskipun demikian, Dadan mengakui bahwa penyelesaian konflik agraria di Indonesia tidak semudah itu. Karena itu, ia berharap pemimpin ke depan bisa menunjukkan komitmennya dalam menangani persoalan ketimpangan lahan.

”Keberpihakannya terhadap reforma agraria diutamakan pada petani dan nelayan. Selain itu, jalur bagi masyarakat untuk mendapatkan redistribusi tanah harus diperbaiki,” katanya.

Editor:
MUKHAMAD KURNIAWAN
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000