Indonesia Bakal Kehilangan 1,2 Juta Ton Beras gara-gara El Nino
Situasi harga dan pasar beras dinilai mesti stabil dan tidak boleh terganggu menjelang Pemilu 2024. Oleh sebab itu, 400.000 ton sisa kuota impor harus diusahakan dalam jangka pendek sebagai ”buffer” penurunan produksi.
Oleh
M PASCHALIA JUDITH J
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kekeringan akibat El Nino diperkirakan dapat membuat Indonesia kehilangan produksi beras hingga 1,2 juta ton. Dengan situasi belum terkontraknya beras impor sebanyak 400.000 ton dari jatah pengadaan luar negeri sepanjang 2023, pengamanan cadangan beras pemerintah atau CBP pada tahun ini menghadapi tekanan.
Anggota Dewan Penasihat Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) sekaligus Wakil Menteri Perdagangan 2011-2014, Bayu Krisnamurthi, berpendapat, ancaman kehilangan produksi beras akibat El Nino merupakan permasalahan dalam jangka pendek.
”Di sisi lain, situasi (harga dan pasar beras) mesti stabil dan tidak boleh terganggu menjelang pemilu. Oleh sebab itu, beras (impor) sebanyak 400.000 ton harus diusahakan dalam jangka pendek sebagai buffer (cadangan) penurunan produksi tersebut,” ujarnya saat dihubungi, Kamis (31/8/2023).
Sebelumnya, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo menyebutkan prediksi berkurangnya produksi beras akibat El Nino dalam Rapat Kerja Komisi IV DPR RI di Jakarta, Rabu (30/8/2023). Rapat itu dipimpin Ketua Komisi IV DPR RI Sudin serta dihadiri Kepala Badan Pangan Nasional (NFA) Arief Prasetyo Adi dan Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso.
Syahrul menyebutkan, El Nino akan menggerus produksi beras nasional. ”Analisis kami, kita akan kehilangan 380.000 ton beras karena El Nino sedang. Kalau El Nino sangat kuat, kita akan kehilangan 1,2 juta ton beras. Oleh karena itu, kita tidak boleh terlalu PD (percaya diri) dengan data. Itu (analisis kehilangan beras) yang membuat kita harus menyediakan penanaman baru seluas 500.000 hektar,” tuturnya.
Penanaman seluas 500.000 hektar itu, lanjut dia, bukan dengan membuka lahan baru. Penambahan luas penanaman itu digencarkan di 100 kabupaten yang tersebar di 10 provinsi. Lima provinsi dengan areal terluas terdiri dari Jawa Tengah dengan 86.000 hektar, Sulawesi Selatan (81.000 hektar), Sumatera Selatan (74.500 hektar), Jawa Timur (59.000 hektar), dan Kalimantan Selatan (51.000 hektar). Upaya penambahan luas penanaman terdiri dari penyediaan sumber pengairan, distribusi benih dan pupuk, serta pengawalan asuransi dan pembiayaan.
Kementerian Pertanian juga membagi risiko kekeringan pada lahan pertanian padi ke dalam kategori rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi. Pada Juli-September 2023 tidak ada lahan yang mengalami kekeringan dengan tingkat peluang tinggi dan sangat tinggi. Adapun lahan yang berpeluang sedang mengalami kekeringan mencapai 253.559 hektar pada Juli 2023, lalu 258.123 hektar pada Agustus 2023, dan 96.128 hektar pada September 2023.
Di tengah ancaman penurunan produksi tersebut, Budi Waseso menyatakan, Bulog fokus pada pengamanan CBP untuk menjamin ketersediaan pangan di masyarakat. ”Dengan situasi El Nino saat ini, kita akan punya stok 1-1,2 juta ton sampai akhir 2023. Cadangan stok tersebut cukup (untuk mengendalikan harga beras) hingga Maret 2024, lalu April ada panen raya untuk diserap,” katanya saat ditemui setelah rapat kerja.
Hingga 30 Agustus 2023, realisasi penyaluran beras untuk program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) dan bantuan pangan masing-masing sebesar 723.000 ton dan 641.000 ton. Menurut Budi, harga di pasar masih tinggi meski Bulog sudah menggelontorkan CBP.
Per Kamis (31/8/2023), Panel Harga Pangan Badan Pangan Nasional (NFA) mencatat, rata-rata nasional harga beras medium dan premium di tingkat pedagang eceran masing-masing sebesar Rp 12.340 per kilogram (kg) dan Rp 14.000 per kg. Pada akhir bulan lalu, harga beras medium dan premium masing-masing Rp 11.920 per kg dan Rp 13.590 per kg.
Berdasarkan Peraturan Badan Pangan Nasional Nomor 7 Tahun 2023 tentang Harga Eceran Tertinggi Beras, harga eceran tertinggi (HET) beras medium dan premium masing-masing ditetapkan pada kisaran Rp 10.900-Rp 11.800 per kg serta Rp 13.900-Rp 14.800 per kg. Artinya, harga rata-rata beras medium berada di pasaran di atas HET.
Untuk menurunkan harga beras di tingkat masyarakat, kata Budi, pihaknya mengandalkan dua kanal penyaluran beras, yakni program SPHP atau operasi pasar dan bantuan pangan. Dalam operasi pasar, Bulog menggelontorkan beras dalam kemasan 5 kg dengan harga sekitar Rp 47.000 di pasar tradisional dan ritel sehingga dapat langsung dijangkau konsumen akhir.
Sementara itu, Arief memperkirakan, Indonesia akan kekurangan beras hingga 950.000 ton sepanjang 2023. ”Angka itu sudah mempertimbangkan penurunan produksi (beras nasional) dan kenaikan kebutuhan,” ujarnya saat ditemui setelah rapat kerja.
Mengantisipasi dampak penurunan produksi dan kenaikan kebutuhan beras, kata Arief, penguatan CBP mutlak dilakukan di hulu. Dengan demikian, pemerintah memiliki stok beras untuk intervensi pasar. Di hilir, pemerintah hendak mempercepat penyaluran beras program bantuan pangan yang menyasar 21,353 juta keluarga penerima manfaat (KPM) untuk periode Oktober-Desember 2023. Setiap KPM akan memperoleh beras sebanyak 10 kg per bulan. Dia optimistis harga beras akan mulai melandai pada pekan pertama realisasi beras bantuan tersebut.
Belum kontrak
Sepanjang 2023, pemerintah menetapkan kuota impor beras untuk pengadaan CBP yang ditugaskan pada Bulog sebesar 2 juta ton. Budi menyatakan, sebanyak 400.000 ton di antaranya belum terkontrak.
Di tengah kecenderungan negara produsen membatasi ekspor beras, dia tetap optimistis dapat mendatangkan impor.
”Insya Allah, sebelum November barangnya (beras) sudah ada. Semua negara yang menghasilkan beras bisa menjadi sumber (impor). Namun, perlu dipertimbangkan juga soal harga, kualitas, rasa, dan ketersediaan berasnya,” ujarnya.
Untuk mencari kontrak sebanyak 400.000 ton beras itu, Budi mengatakan, pihaknya akan fleksibel, dapat berupa penjajakan antarpemerintah (G-to-G) atau antarpelaku bisnis (B-to-B). Dia menambahkan, Bulog tidak jadi mengimpor beras sekitar 120.000 ton dari Kamboja lantaran tidak cocok dengan harganya.
Menurut Arief, kecenderungan pembatasan ekspor beras oleh negara-negara produsen yang menjadi sentimen kenaikan harga di pasar dunia sebenarnya menjadi kesempatan untuk memperkuat produksi dalam negeri. ”Paling tidak enak itu bergantung pada negara lain karena kita jadi tidak bisa apa-apa. Apalagi, currency rate juga berpengaruh. Dulu 1 dollar AS setara dengan Rp 13.500, saat ini sekitar Rp 15.200-Rp 15.300,” katanya.
Menurut Bayu, terdapat sejumlah sinyal positif terhadap pasar beras dunia. Misalnya, posisi stok beras India berada di atas kapasitas negara tersebut. Produksi beras pada periode panen berikutnya di India dan Vietnam diperkirakan meningkat karena petani semangat menanam imbas harga tinggi.
Oleh sebab itu, dia menilai, target realisasi impor beras 400.000 ton yang belum dikontrak itu realistis tercapai pada akhir tahun. ”Hal ini bergantung pada kepiawaian diplomasi dan negosiasi dagang (dengan negara-negara produsen beras),” ujarnya.