Pertamina Geothermal Energy Berekspansi hingga Afrika
PT Pertamina Geothermal Energy Tbk berekspansi hingga Kenya guna mengembangkan panas bumi. Namun, optimalisasi geotermal di Indonesia masih menghadapi sejumlah tantangan.
Oleh
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – PT Pertamina Geothermal Energy Tbk bekerja sama dengan Africa Geothermal International No 1 Limited mengembangkan potensi panas bumi pada konsesi Longonot, Kenya. Kerja sama ini bentuk perluasan bisnis PT Pertamina (Persero). Potensi pengembangan di dalam negeri pun besar, tetapi terhalang sejumlah faktor.
Ekspansi PT Pertamina Geothermal Energy Tbk di kancah internasional disambut positif Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa. “Pengalaman dan keahlian, serta kemampuan teknis yang digunakan untuk mengembangkan panas bumi menunjukkan perluasan peluang bisnis PT Pertamina (Persero),” ujarnya saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (22/8/2023).
Sebelumnya, Dewan Direksi Africa Geothermal International (AGIL) Fred N Ojiambo menandatangani nota kesepahaman (MoU) dengan Direktur Utama PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGE) Julfi Hadi. Penandatanganan itu menandai kerja sama antarpihak yang berlangsung pada Minggu (20/8/2023) di Nairobi, Kenya.
AGIL merupakan anak usaha AGIL No 1, perusahaan terbatas di Kenya yang bergerak pada bidang pengembangan energi panas bumi. Perusahaan itu ikut mengelola wilayah konsesi di Longonot, Kenya, dengan potensi pengembangan 500 megawatt (MW), sedangkan 140 MW di antaranya siap dieksploitasi.
Menurut Julfi, kolaborasi ini bentuk partisipasi perusahaannya mengembangkan energi baru terbarukan, sekaligus upaya untuk menjadi produsen panas bumi global. Hal ini sekaligus mendorong pengembangan teknologi dan pemanfaatan sumber daya panas bumi di tingkat internasional.
“Longonot memiliki keunggulan lokasi dan letak geologis yang menjadikannya sebagai prospek yang menarik,” ujarnya, seperti dikutip dari siaran pers Pertamina.
Afrika adalah pusat pertumbuhan ekonomi yang baru, sehingga berpotensi menciptakan iklim investasi yang baik. Dalam sektor pengembangan panas bumi, Kenya merupakan negara terdepan di kawasan Afrika dengan kapasitas pembangkit terpasang sebesar 865 MW. Angka itu menempatkan Kenya di posisi ketujuh dalam peringkat global.
Sementara itu, Indonesia memiliki 2.356 MW kapasitas terpasang, 80 persen di antaranya berasal dari wilayah kerja PGE dengan 672 MW dikelola langsung anak perusahaan PT Pertamina (Persero) ini. Pihaknya menargetkan pengembangan kapasitas terpasang yang dioperasikan secara mandiri hingga 1 gigawatt (GW) dalam dua tahun mendatang.
Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengatakan, pihaknya terbuka akan berbagai peluang kerja sama. “Dalam rangka transisi energi, kerja sama Pertamina mencakup bisnis, (baik) di upstream maupun downstream. Kami membuka semua peluang, termasuk dalam pengembangan geotermal di Kenya,” katanya.
Potensi pengembangan PGE
Dalam laman PGE, perusahaan itu mengelola 13 wilayah kerja panas bumi dan satu wilayah kerja penugasan dengan kapasitas terpasang 1.877 MW. Dari jumlah itu, 672 MW dikelola langsung, sedangkan sisanya dikendalikan dengan skema kontrak operasi bersama.
Menurut Fabby, PGE hanya dapat mengembangkan lapangan panas bumi jika listriknya dapat dibeli atau dimanfaatkan. Selama ini, listrik atau uap panas dijual untuk pembangkit listrik, termasuk yang diproduksi PGE. Namun, pengembangannya tetap bergantung pada PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN untuk menyerap tenaga listrik yang dihasilkan.
“Jadi, tidak serta-merta PGE mengembangkan, lalu kemudian PLN pasti beli, enggak pasti begitu. PGE harus mengikuti Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL),” ujarnya.
Meski demikian, ada potensi lain yang dapat dimanfaatkan PGE guna menghasilkan hidrogen hijau. Listrik dapat dikirim ke kawasan industri yang membutuhkannya. Hal itu perlu didukung pula dengan regulasi, seperti power wheeling, yakni pemanfaatan bersama jaringan listrik atau pemberian izin membangun transmisi.
Saat ini, hanya PLN yang diizinkan membangun dan mengoperasikan transmisi. “Jadi, (hal) ini sangat bergantung pada regulasi pemerintah, mengizinkan ada power wheeling atau tidak,” kata Fabby.
Dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET), skema tersebut sedang dibahas. Ide itu dibutuhkan jika Indonesia ingin mengoptimalkan pemanfaatan energi terbarukan. Sebab, hingga saat ini, jaringan transmisi dikuasai PLN, sehingga itulah yang jadi kendala sekaligus membebani perusahaan tersebut.
Selain itu, pengelolaan transmisi dapat dipisahkan dari PLN, tetapi tetap dikelola perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) khusus atau di luar perusahaan pelat merah. Namun, dalam pelaksanaannya harus mengubah UU yang ada.
“Hal ini membuat, baik itu PLN maupun pelaku usaha non-PLN termasuk BUMN lain bisa menggunakan transmisi dengan lebih bebas,” ujar mantan Dewan Pengarah Publish What You Pay Indonesia ini.