Pengembangan minyak dan gas nonkonvensional, yakni ”shale oil” dan ”shale gas”, akan terus dioptimalkan. Ini menjadi cara untuk mengurangi ketergantungan Indonesia pada impor minyak mentah.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·3 menit baca
ROKAN HILIR, KOMPAS — Pencarian sumber daya minyak dan gas nonkonvensional, yakni jenis shale oil dan shale gas, terus dilakukan oleh PT Pertamina (Persero). Salah satunya lewat penajakan sumur eksplorasi di Lapangan Gulamo, Kabupaten Rokan Hilir, Riau. Pencarian migas nonkonvensional menjadi tumpuan untuk mengurangi ketergantungan Indonesia pada impor minyak.
Menurut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif, kemampuan produksi minyak konvensional Indonesia saat ini sekitar 600.000 barel per hari. Padahal, konsumsi bahan bakar minyak (BBM) nasional mencapai 1,6 juta barel per hari. Dengan demikian, Indonesia masih bergantung pada impor minyak mentah ataupun BBM sebanyak 1 juta barel per hari.
”Untuk mengurangi impor, diperlukan upaya menambah cadangan minyak di dalam negeri, salah satunya dengan mengoptimalkan potensi minyak dan gas nonkonvensional. Indonesia masih memiliki potensi yang cukup besar dan harus dieksploitasi demi menjamin keamanan energi masyarakat,” ujar Arifin dalam acara peresmian pengeboran perdana migas nonkonvensional oleh PT Pertamina Hulu Rokan, Kamis (27/7/2023), di Lapangan Gulamo.
Turut hadir dalam acara itu Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati, Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Dwi Soetjipto, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Tutuka Ariadji, Gubernur Riau Syamsuar, Direktur Utama Pertamina Hulu Energi Miko Migantoro, serta Direktur Utama Pertamina Hulu Rokan Chalid Said Salim.
Menurut rencana, setelah pengeboran perdana eksplorasi migas nonkonvensional di Lapangan Gulamo, Pertamina akan melanjutkan kegiatan serupa di Lapangan Kelok, yang masih menjadi bagian wilayah kerja Rokan. Pengeboran di Kelok dijadwalkan pada November mendatang.
Berdasarkan studi awal, kata Arifin, potensi migas nonkonvensional di dua lapangan tersebut sebanyak 80 juta barel. Adapun potensi migas nonkonvensional di wilayah kerja Rokan diperkirakan 1,28 miliar barel.
Dwi Soetjipto menambahkan, pengeboran perdana eksplorasi migas nonkonvensional di Rokan menandai sejarah baru industri hulu migas Indonesia. Menurut dia, sumber daya migas nonkonvensional di cekungan Central Sumatera Basin, yang menjadi lokasi wilayah kerja Rokan, diperkirakan mencapai 1,86 miliar barel.
”Sumber daya migas nonkonvensional selama ini belum banyak digarap. Maka, pada hari ini menandai sumber daya tersebut mulai dikelola untuk mendukung penambahan cadangan migas nasional,” ucap Dwi.
Pertamina akan melanjutkan kegiatan serupa di Lapangan Kelok, yang masih menjadi bagian wilayah kerja Rokan. Pengeboran di Kelok dijadwalkan pada November mendatang.
Terkait studi pemetaan sumber daya migas nonkonvensional di wilayah kerja Rokan, menurut Chalid, pihaknya bekerja sama dengan perusahaan Amerika Serikat, EOG Resources. Perusahaan ini sudah terbukti berhasil mengusahakan dan mengembangkan sumber daya migas konvensional di Amerika Serikat. Selain itu, Pertamina Hulu Rokan juga melibatkan tim percepatan pengusahaan migas nonkonvensional yang dibentuk Kementerian ESDM.
Berbeda dengan migas konvensional, migas nonkonvensional adalah hidrokarbon yang terperangkap pada batuan induk (shale oil/shale gas) tempat terbentuknya hidrokarbon dengan permeabilitas (kemampuan bebatuan untuk meloloskan partikel) rendah. Migas nonkonvensional akan bernilai ekonomi jika diproduksikan melalui pengeboran horizontal dengan teknik stimulasi multi-stage hydraulic fracturing.
Momentum baru
Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, ”Dengan gencarnya eksplorasi migas nonkonvensional, mudah-mudahan menjadi era kebangkitan industri migas dalam negeri.” Sebab, apabila kelak migas nonkonvensional sudah bisa diproduksi, diharapkan dapat meningkatkan produksi minyak dalam negeri.
”Harapannya, bisa jadi era baru dan momen kebangkitan industri migas nasional. Hal ini bisa mengurangi ketergantungan impor dan menghemat devisa,” kata Komaidi.
Indonesia bisa belajar dari Amerika Serikat. Di sana, setelah shale gas dan shale oil mampu dikembangkan dengan baik, kapasitas produksi minyak Amerika Serikat langsung melonjak signifikan.
Menurut Komaidi, Indonesia bisa belajar dari Amerika Serikat. Di sana, setelah shale gas dan shale oil mampu dikembangkan dengan baik, kapasitas produksi minyak Amerika Serikat langsung melonjak signifikan.
Menurut Komaidi, minyak konvensional membutuhkan waktu 4-5 tahun dari tahap eksplorasi hingga diproduksi. Untuk segera mewujudkan momen kebangkitan industri migas, lanjutnya, waktu yang dibutuhkan bagi migas nonkonvensional harus lebih singkat. Salah satu caranya adalah menyederhanakan perizinan.
Ia menambahkan, kegiatan eksplorasi migas nonkonvensional perlu terus lebih sering dilakukan di lebih banyak tempat. ”Ibarat petani yang menanam lalu menikmati panen, eksplorasi ini ibarat menanam dan hasilnya kita nikmati di kemudian hari,” ujarnya.