Sejumlah proyek strategis nasional menemui berbagai kendala sehingga mundur dari jadwal awal. Padahal, proyek-proyek itu diharapkan segera beroperasi guna meningkatkan produksi migas di Indonesia.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
Industri hulu minyak dan gas bumi atau migas di bawah bayang-bayang senjakala mengingat capaian produksi belum meningkat signifikan di tengah upaya transisi energi yang kian masif. Selain pengeboran eksplorasi, ketepatan jadwal operasi proyek-proyek strategis migas juga menjadi kunci optimalisasi sumber daya migas di Indonesia.
Ada empat proyek strategis nasional (PSN) hulu migas yang diharapkan dapat memacu produksi saat beroperasi kelak. Pertama adalah proyek pengembangan lapangan gas Jambaran Tiung Biru (JTB) di Jawa Timur. Proyek ini resmi beroperasi sejak 2022, tetapi saat ini belum berproduksi dalam kapasitas penuh.
Kedua, proyek LNG (gas alam cair) Tangguh Train 3 di Papua Barat. Berdasarkan data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), proyek dalam proses decommissioning. Setelah itu, LNG Tangguh Train 3 yang dioperatori BP diharapkan segera beroperasi (on stream) pada tahun ini.
Proyek strategis berikutnya ialah Indonesia Deepwater Development (IDD) di laut lepas Kalimantan Timur. Saat ini, proyek tersebut dalam pengalihan hak partisipasi (PI) sebesar 63 persen dari Chevron ke ENI asal Italia. IDD yang memiliki kandungan minyak dan gas bumi ditargetkan mulai beroperasi pada 2028.
Selanjutnya ialah proyek Abadi Masela di laut lepas Maluku. Setelah Shell, pemegang saham 35 persen, memutuskan mundur pada 2020, PT Pertamina (Persero) kini tengah dalam proses menggantikannya. Blok yang menyimpan cadangan gas triliunan kaki kubik tersebut ditargetkan bisa beroperasi pada 2029.
Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto mengatakan, sales and purchase agreement (SPA) pada proyek IDD ditandatangani dalam waktu dekat. ”Sementara pada Masela, diharapkan sudah ada submission offering dari Pertamina. Mudah-mudahan sukses dan kami juga terus berkomunikasi dengan Shell,” kata Dwi, beberapa waktu lalu.
Pemerintah, melalui SKK Migas, sudah menanti-nanti kemajuan dari berbagai proyek strategis tersebut. Sebab, selama ini terdapat beberapa kendala yang membuat pelaksanaan mundur, termasuk masa pengoperasian kapasitas penuh lapangan JTB, dari semula ditargetkan Maret 2023 mundur ke Mei 2023.
Bagaimanapun, industri migas Indonesia kini berpacu dengan waktu dalam memanfaatkan besarnya kekayaan sumber daya alam itu sebelum kelak beralih ke era energi terbarukan. Apalagi, ada target besar yang dipatok SKK Migas, yang juga menjadi target nasional, yakni produksi 1 juta barel minyak dan 12 miliar standar kaki kubik gas per hari pada 2030.
Hingga triwulan I-2023, produksi siap jual (lifting) minyak baru 613.700 barel per hari, sedangkan salur gas mencapai 5,4 miliar standar kaki kubik per hari. Tantangan ke depan terbilang berat karena dua hal yang harus diatasi, yakni penurunan produksi secara alamiah akibat semakin tuanya usia sumur migas dan bagaimana membuat sumur-sumur yang ada tersebut produksinya dapat meningkat.
Pengamat migas yang juga dosen Teknik Perminyakan Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta, Topan Herianto, Minggu (23/4/2023), berpendapat, investasi dari luar negeri masih diperlukan dalam mengoptimalkan cadangan migas di Indonesia. Dalam hal ini, daya tarik bagi calon investor amatlah krusial.
”Bagi mereka (investor asing) yang utama adalah keekonomian. Jika dipaksa-paksa, tetapi tidak layak, akan mengulur kegiatan dan mereka bisa mundur. Apabila potensi-potensi pada proyek strategis nasional dijalankan, disertai dengan masifnya eksplorasi, produksi (migas) bisa naik,” kata Topan.
Segala hal terkait pengembangan lapangan migas juga seharusnya dilepaskan dari segala unsur politik. Adapun pengembangan Blok Masela, menurut Topan, akan bisa optimal jika dilakukan dengan fasilitas pemrosesan di laut, bukan di darat. Lewat rencana pengembangan lapangan (plan of development/POD) baru, Masela berpotensi diandalkan sebagai penghasil gas utama.
Perbaikan regulasi
Topan menambahkan, kepastian regulasi memegang peranan penting dalam optimalisasi potensi cadangan migas di Indonesia. Bagaimanapun, yang dibutuhkan investor ialah kepastian. Oleh karena itu, revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang belasan tahun terkatung-katung mesti dituntaskan.
Dosen Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi Universitas Trisakti, Jakarta, Pri Agung Rakhmanto, menyatakan tak habis pikir dengan kenyataan sudah ada lapangan migas yang telah terbukti besar, tetapi tak bisa dijalankan. Yang terjadi justru pelaksanaan mundur, bahkan perusahaan yang berinvestasi hengkang.
Oleh karena itu, menurut Pri Agung, senjakala migas mungkin terjadi jika pengembangan hulu migas berjalan dengan cara-cara biasa (business as usual). Yang perlu dipacu kini ialah menaikkan produksi pada lapangan migas yang telah terbukti dan pengeboran eksplorasi masif guna menemukan cadangan-cadangan besar baru.
Ia pun berpendapat revisi UU No 22/2001 sudah sangat genting untuk direalisasikan. Perbaikan regulasi penting karena menyangkut tiga aspek yang saling terkait, yaitu kepastian hukum, kepastian fiskal dan keekonomian, serta kemudahan birokrasi/perizinan.
”Yang bisa dilakukan untuk mencegah terjadinya sunset industri migas adalah mengoptimalkan lapangan migas yang sudah terbukti dan menemukan lapangan besar migas (baru). Agar berjalan, tidak bisa dengan cara-cara biasa dan revisi UU No 22/2001 diharapkan bisa mengakomodasi permasalahan yang ada saat ini,” ucap Pri Agung.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Tutuka Ariadji juga menuturkan, revisi UU tentang Minyak dan Gas Bumi amat mendesak. Lantaran merupakan inisiatif DPR, ia menuturkan, pihaknya kini tinggal menunggu panggilan Komisi VII DPR (yang membidangi sektor energi) untuk bisa segera memulai prosesnya.
Sejumlah anggota DPR juga menyatakan pentingnya pengesahan revisi UU tersebut. Rapat dengar pendapat umum dengan sejumlah asosiasi migas pun telah digelar oleh Komisi VII beberapa waktu lalu. Rapat tersebut untuk menerima masukan terkait perubahan-perubahan dalam UU No 22/2001.
Menurut anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Gerindra, Ramson Siagian, Komisi VII masih terus menerima masukan-masukan dari organisasi, mitra, dan akademisi untuk kemudian diperdebatkan di tahap panitia kerja. Baru setelah itu akan diajukan menjadi usulan atau inisiatif DPR.
Ironi kala dunia membutuhkan gas bumi sebagai energi fosil penjembatan dalam transisi energi, Indonesia belum juga bisa mengoptimalkannya. Apabila belum ada lompatan serius terkait pengembangan hulu migas, potensi besar gas bumi di Tanah Air selamanya tetap terkubur dalam perut bumi.