Di balik ”lifting” yang sangat perlu demi keuangan negara, ada tuntutan akan perencanaan visioner sehingga Indonesia tidak ketinggalan dengan potensi ”windfall profit” yang memakmurkan Timur Tengah.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
KOMPAS/KRIS RAZIANTO MADA
Satu dari beberapa anjungan pengeboran minyak lepas pantai yang dilabuhkan di pesisir Batam, Kepulauan Riau, karena tidak ada penyewanya, Mei 2017.
Target produksi minyak dan gas siap jual yang disebut lifting seret sepanjang 2022. Hal itu berarti hilangnya kesempatan menikmati kenaikan harga migas dunia.
Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Dwi Soetjipto, di Jakarta, Rabu (18/1/2023), menginformasikan seretnya lifting. Untuk minyak bumi, besaran lifting sepanjang 2022 ialah 612.300 barel per hari atau 87,1 persen dari target. Lifting juga seret untuk gas bumi sepanjang 2022, yakni sebesar 5.347 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD) atau 92,2 persen dari target. Lifting gas bumi ini juga ada di bawah capaian 2021 yang sebanyak 5.505 MMSCFD.
Seretnya lifting migas bukan hal baru. Anggota Komisi VII DPR, Yulian Gunhar, pada 6 Desember 2022, menyampaikan informasi lifting yang seret tiga tahun terakhir. ”Pada 2020, lifting minyak 707.000 barel per hari, pada 2021 mencapai 680.000 barel per hari, dan sampai September 2022 baru mencapai 610,1 ribu barel per hari,” kata Gunhar.
DOKUMENTASI SKK MIGAS
Pompa minyak di Wilayah Kerja/Blok Rokan, Riau, beberapa waktu lalu.
Untuk 2022 lifting diberitakan seret di tengah naiknya investasi migas. Hal ini bisa dimaklumi karena ada proses waktu sejak investasi diteken hingga produksi bisa dilakukan.
Lifting seret, atau investasi terlambat juga sudah sering terdengar puluhan tahun. Itu terlihat dari penurunan produksi. Ada beberapa alasan di balik penurunan tersebut. Namun, dari beberapa alasan itu hanya ada satu force majeure (hal tak terduga) sebagai penyebab, yakni di masa Covid-19.
Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Dwi Soetjipto, pada 18 Januari 2022, menyebutkan, pada 2021 kegiatan pengeboran sumur terhalang pandemi Covid-19, khususnya varian omicron yang menghalangi kegiatan di hulu migas. Para pekerja tidak bisa bekerja penuh waktu ketika itu.
REBIYYAH SALASAH UNTUK KOMPAS
Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Dwi Soetjipto, dalam paparan kinerja hulu migas triwulan III-2022, di Jakarta, Oktober 2022.
Selebihnya ada alasan klasik, tetapi bukan force majeure. Disebutkan, ada masalah sumur menua, pipa-pipa korosif, hingga pengadaan alat-alat pengeboran yang tidak gampang. Juga ada masalah medan pengeboran yang berat seperti kedalaman pengeboran berbiaya mahal sehingga membutuhkan insentif. Ada masalah pembebasan lahan, pengembangan pipanisasi untuk penyaluran, hingga masalah perundang-undangan.
Alasan force majeure atau tidak, itulah sejumlah persoalan di balik seretnya lifting migas di Indonesia. Semua itu dengan sendirinya merupakan masalah yang sering muncul dalam laporan Bank Dunia terkait ease of doing business (kemudahan menjalankan bisnis). Indonesia memang bukan negara terkenal tentang kemudahan berbisnis.
Lifting migas tidak semudah membangun perusahaan biasa, seperti pembangunan perumahan. Semua pihak paham akan hal ini. Maka, di balik lifting yang sangat perlu demi kekuatan keuangan negara, ada tuntutan akan perencanaan visioner sehingga Indonesia tidak ketinggalan dengan potensi windfall profit yang memakmurkan Timur Tengah.