Pastikan Keseimbangan Penawaran-Permintaan Listrik
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2025-2045 diharapkan menjadi fondasi kebijakan hulu-hilir yang terintegrasi. Tak terkecuali terkait ketenagalistrikan. Melesetnya program 35.000 MW agar tak terulang.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA, AGNES THEDOORA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Keseimbangan antara penawaran dan permintaan listrik perlu menjadi catatan dalam perencanaan pemerintah, baik jangka menengah maupun panjang. Perkiraan yang meleset pada program pembangunan pembangkit listrik 35.000 megawatt diharapkan tidak terulang.
Hal itu mengemuka dalam diskusi Kompas Collaboration Forum (KCF) "Transformasi Ekonomi di RPJPN 2025-2045" yang digelar Harian Kompas di Jakarta, Jumat (7/7/2023). Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 diharapkan menjadi fondasi kebijakan yang terintegrasi hulu-hilir.
Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati, berpendapat, narasi yang muncul saat program 35.000 megawatt (MW) dicanangkan tahun 2014 adalah industri atau ekonomi Indonesia tak bisa tumbuh karena pasokan listrik kurang. Namun, ketika program itu belum selesai, narasinya telah berubah, yakni kelebihan pasokan listrik.
"Dari pengamatan saya, yang terjadi adalah supply and demand (penawaran dan permintaan) tidak seimbang. Hanya supply-nya (meningkat). Sementara pada demand, yang tadinya industri tumbuh sekitar 8 persen pada 2015, lalu (menurun) menjadi 5,2 persen, lalu jadi 2,4 persen," ujar Nicke, yang pernah menjadi Direktur Perencanaan Korporat PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN.
Kala itu, imbuh Nicke, penurunan permintaan listrik antara lain terjadi pada industri baja yang belum memiliki pemrosesan di hulu (smelter), hingga industri tekstil yang diserbu produk impor dengan harga lebih murah. Lantaran sisi permintaan tidak dijaga, yang terjadi ialah kelebihan pasokan listrik. Sementara program 35.000 MW telah berjalan.
Pertumbuhan ekonomi memang berjalan baik, tetapi menurut dia, lebih ditopang oleh sektor jasa. "Jadi, permintaan dan penawaran harus seimbang. (Terkait energi) Agar kebijakannya hulu hilir, terintegrasi, dan berdasarkan pada sumber daya alam domestik kita atau hilirisasi," katanya.
Konsumsi rendah
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Suharso Monoarfa, dalam diskusi itu, sepakat bahwa pertumbuhan konsumsi listrik tidak setinggi proyeksi di awal saat program 35.000 MW dicetuskan. Itu tidak terlepas dari gejala deindustrialisasi yang belakangan memburuk.
Di sisi lain, ia juga menyoroti masih rendahnya konsumsi listrik di Indonesia. Catatan Kompas, berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), hingga akhir 2022, konsumsi listrik di Indonesia hanya 1.173 kilowatt jam (kWh) atau di bawah target 2022 yang 1.268 kWh per kapita. Angka itu di bawah rata-rata negara Asia Tenggara, sekitar 3.672 kWh per kapita.
Indonesia, imbuh Suharso, termasuk negara dengan konsumsi listrik paling rendah di ASEAN, jauh di bawah Malaysia dan Singapura. "Kita sebentar lagi ditinggal Vietnam dan Kamboja. Ini memang linear dengan deindustrialisasi. Ketika terjadi deindustrialisasi, konsumsi listrik juga menurun. Waktu bicara proyek 35.000 MW, kita tidak tahu bahwa demand dari sisi industri manufaktur akan turun," katanya.
Untuk mengatasi kelebihan pasokan listrik dan menggerakkan permintaan, Bappenas ikut mendesain struktur PLN dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045. "Karena saat ini industri-industri besar sebagai konsumen utama cenderung membangun sendiri pembangkitnya. Padahal, PLN juga menjual listrik ke sana. Itu seharusnya menjadi sumber penerimaan yang bagus untuk PLN,” ujar Suharso, yang menjamin indikator akan lebih rinci pada RPJPN 2025-2045 serta bersifat hulu-hilir.
Mundur
Sebelumnya, Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo, dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR RI, di Jakarta, Rabu (5/7/2023) mengatakan, dari total program 35.000 MW, yang sudah terealisasi berkisar 22.000-23.000 MW. Lantaran ada kondisi kelebihan pasokan, terutama di sistem Jawa-Bali, renegosiasi ditempuh agar masuknya listrik dari sejumlah pembangkit baru ke sistem PLN ditunda.
"Dulu 35 gigawatt (35.000 MW) itu dirancang untuk 5 tahun. Dengan adanya renegosiasi ini, maka jadwalnya kami mundurkan, dari yang tadinya harusnya selesai di 2019 mundur menjadi 2026. Dari tadinya 5 tahun menjadi 10 tahun. Maka, kami ada waktu mengejar ketertinggalan dari sisi demand," kata Darmawan.
Sejumlah upaya penumbuhan permintaan listrik dilakukan PLN seiring momentum pascapandemi Covid-19. Itu antara lain dengan captive acquisition (akuisisi beban listrik), pelaksanaan program diskon tambah daya, electrifying lifestyle, electrifying agriculture, electrifying marine, dan hilirisasi pengembangan kawasan industri.
Pengamat ekonomi energi yang juga dosen Departemen Ekonomika dan Bisnis Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Fahmy Radhi, dihubungi dari Jakarta, Jumat (7/7) menuturkan, melesetnya perkiraan program 35.000 MW itu karena berbagai faktor. Selain asumsi pertumbuhan ekonomi yang tak tercapai, juga ada faktor terjadinya pandemi Covid-19.
Namun, program itu mesti tetap dijalankan guna memenuhi kebutuhan industri ke depan, yang bakal membutuhkan pasokan listrik dalam jumlah besar. Penyeimbangan supply-demand juga perlu.
Terkait perencanaan ke depan, Fahmy menuturkan, pentingnya monitoring dan evaluasi secara reguler. "Jadi rencana itu perlu di-breakdown dan dievalusi secara rutin. Misalnya, dalam 5 tahun tak tercapai, dievaluasi masalah-masalahnya, hingga target diturunkan agar lebih realistis," katanya.