Pertumbuhan sistem rantai dingin, termasuk gudang pendingin, di sejumlah daerah produsen ikan tangkap di Indonesia, ditopang dengan elektrifikasi. Hal ini berdampak ganda baik bagi nelayan maupun perusahaan ikan.
Oleh
Hendriyo Widi
·4 menit baca
Pada 2020, sekitar 35 persen dari total produksi perikanan tangkap global sebanyak 90,3 juta ton terbuang sia-sia. Dengan kata lain, satu dari tiga ikan yang ditangkap tidak pernah sampai ke piring, entah dibuang kembali ke laut atau membusuk sebelum bisa dimakan.
Ikan yang terbuang itu sebagian besar dari sortiran tangkapan pukat dan kurangnya fasilitas gudang pendingin (cold storage) yang menjaga ikan tetap segar. Hal itu terjadi hampir di seluruh negara produsen, termasuk enam negara yang berkontribusi terhadap 49 persen total produksi perikanan tangkap global, yakni China, Indonesia, Peru, India, Rusia, Amerika Serikat, dan Vietnam.
Hal itu terungkap dalam laporan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) bertajuk ”The State of World Fisheries and Aquaculture: Towards Blue Transformation” yang dirilis tiga tahun lalu. Untuk mengatasi hal itu, salah satu rekomendasi FAO adalah membangun rantai pasok berpendingin, termasuk gudang pendingin.
Di Indonesia, penggunaan sistem rantai pasok dingin terus meningkat secara bertahap kendati masih lambat. Asosiasi Rantai Pendingin Indonesia (ARPI) mencatat, penggunaan sistem rantai dingin pada produk perikanan pada 2020 sebesar 3,485 juta ton. Jumlah itu meningkat tipis sebesar 2,5 persen dibandingkan tahun 2019.
Pertumbuhan sistem rantai dingin, termasuk gudang pendingin, di sejumlah daerah produsen ikan tangkap di Indonesia ditopang dengan elektrifikasi. Hal ini berdampak ganda, baik bagi nelayan maupun pelaku usaha pengolahan dan pemasaran ikan yang memiliki gudang berpendingin.
Di Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), misalnya, ikan tangkapan nelayan di setiap musim panen tidak banyak yang terbuang sia-sia. Di sisi lain, peralihan genset berbahan bakar solar ke genset bertenaga listrik juga mampu menekan biaya operasional perusahaan ikan secara signifikan.
Wilayah Kabupaten Sikka seluas total 7.553,24 kilometer persegi. Sebesar 77,07 persen atau 5.821,33 kilometer persegi merupakan perairan laut. Kabupaten tersebut memiliki 17 pulau dan dikelilingi oleh garis pantai sepanjang 444,50 kilometer.
Pada 2018, produksi perikanan Kabupaten Sikka sebesar 18.212,44 ton. Produksi terus meningkat hingga mencapai 22.137,33 ton pada 2022. Jenis ikan tangkap andalan di daerah itu adalah tuna, cakalang, kerapu, layang, dan selar.
Marthen (41), nelayan dan juga pedagang ikan di Maumere, Kabupaten Sikka, menuturkan, dahulu, setiap musim panen ikan tangkap dan sebelum ada gudang berpendingin, sisa ikan yang tidak terjual di pasar ikan akan dibiarkan membusuk. Sementara ikan yang tidak terserap di pelelangan ikan akan dibuang kembali ke laut oleh nelayan.
Kalaupun masih bisa dijual, harga ikan sangat murah. Harga ikan tongkol kecil, misalnya, Rp 5.000-Rp 10.000 per kantong plastik besar. Padahal, di saat musim sepi atau paceklik ikan, harganya bisa mencapai Rp 100.000-Rp 150.000 per kantong plastik.
”Setelah ada perusahaan ikan yang memiliki gudang pendingin, kami dapat menjual sisa tangkapan ke perusahaan itu,” ujarnya, Kamis (8/6/2023), di Alok Timur, Sikka.
Manajer PT Fajar Flores Flamboyan Fishindo, perusahaan yang bergerak di bidang penangkapan, pengolahan, dan pemasaran ikan, Ruswanto mengaku perusahaannya selalu menyerap ikan tangkapan nelayan, baik pada musim panen maupun di musim paceklik. Harga yang ditawarkan kepada nelayan di kala dua musim tersebut juga sama.
Ia mencontohkan, ketika musim paceklik, harga ikan cakalang yang dijual pedagang ikan di tempat pelelangan ikan (TPI) bisa Rp 30.000-Rp 40.000 per ekor. Sebaliknya, saat musim panen, harga bisa anjlok.
Biaya operasional gudang berpendingin itu mulai semakin efisien sejak beralih dari genset berbahan bakar solar ke genset bertenaga listrik. PT Fajar Flores Flamboyan Fishindo telah meninggalkan genset berbahan bakar solar per 28 Mei 2023.
”Saat ini, baik pada saat panen maupun paceklik, kami membeli ikan cakalang nelayan seharga Rp 17.000 per kilogram. Jadi, saat harga ikan di TPI anjlok, kami tetap membeli ikan nelayan seharga Rp 17.000 per kg,” kata Ruswanto.
Biaya operasional
Ruswanto juga menyatakan, baru-baru ini perusahaannya mulai menyerap semua jenis ikan yang ditangkap nelayan. Sebelumnya, hanya sejumlah jenis ikan saja yang diterima lantaran ada pertimbangan pasar dan besarnya biaya operasional gudang berpendingin.
Biaya operasional gudang berpendingin itu mulai semakin efisien sejak beralih dari genset berbahan bakar solar ke genset bertenaga listrik. PT Fajar Flores Flamboyan Fishindo telah meninggalkan genset berbahan bakar solar per 28 Mei 2023. Genset tersebut telah digantikan sambungan listrik langsung dari PT Perusahaan Listrik Negara (Persero).
Meski belum genap sebulan pemakaian listrik dari PLN, efisiensi biaya pembelian solar industri mulai terasa. Perusahaannya tidak lagi membeli solar nobsubsidi sebanyak 550 liter per hari atau 16.500 liter per bulan.
”Kini, kami hanya menyediakan cadangan solar sebanyak 1.000 liter untuk menghidupkan genset apabila ada pemadaman listrik dari PLN. Kami juga tidak perlu lagi bersusah payah mendapatkan solar ketika pasokan bahan bakar tersebut terbatas,” ujarnya.
Perusahaan dapat mengoptimalkan gudang pendingin berkapasitas 200 ton tersebut dengan menambah serapan ikan tangkapan nelayan sekitar 30-50 ton per hari.
Per 1 Juni 2023, harga solar nonsubsidi di wilayah NTT Rp 12.650 per liter. Semula, pengeluaran perusahaan pembekuan dan pemasaran ikan tersebut untuk membeli solar nonsubsidi senilai total Rp 206.250.000 per bulan. Setelah mendapatkan pasokan daya dari PLN, pengeluaran dapat terpangkas menjadi Rp 12.650.000 per bulan.
Dengan menggunakan sambungan listrik langsung dari PLN, Ruswanto memperkirakan bisa menghemat biaya operasional perusahaan sekitar 50 persen per bulan. Perusahaan dapat mengoptimalkan gudang pendingin berkapasitas 200 ton tersebut dengan menambah serapan ikan tangkapan nelayan sekitar 30-50 ton per hari.
Selain itu, penyimpanan dan pembekuan ikan menjadi lebih stabil sehingga kualitas ikan beku menjadi lebih baik. Oleh karena itu, perusahaan mulai memperluas pasar ikan beku tidak hanya di sejumlah daerah di Indonesia, terutama Jakarta dan Surabaya, tetapi juga luar negeri.
”Untuk pertama kalinya kami bisa mengekspor ikan cakalang beku ke Jepang sebanyak 25 ton,” katanya.