Dari Korea, Beralih Melirik Buah Naga
Budidaya buah naga telah menjadi pilihan bagi sejumlah petani di Banyuwangi, Jawa Timur. Dibanding saat bekerja sebagai pekerja migran, budidaya buah naga lebih menjanjikan.
Edy Purwoko (44) bisa bernapas lega. Dirinya merasa tak sia-sia menjatuhkan pilihan membudidayakan buah naga sepulang dari Korea Selatan sebagai pekerja migran. Berkebun buah naga rupanya memberi hasil yang lebih menjanjikan dibandingkan ”petualangannya” selama enam tahun di ”Negeri Ginseng” itu.
”Dari bertani ini, saya bisa membeli kebutuhan keluarga dan membiayai kebutuhan istri dan tiga anak saya. Jauh bila dibandingkan saat saya memilih kerja sebagai pekerja migran beberapa tahun lalu. Intinya, saya bisa beli apa saja, ya, karena buah naga,” kata pria yang lulus SMA langsung bekerja sebagai pekerja migran di Korea Selatan tersebut saat dijumpai di rumahnya, Rabu (14/6/2023), di Desa Bulurejo, Kecamatan Purwoharjo, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur.
Edy mulai menanam buah naga pada 2010 bermodal nekat dan pengetahuan otodidak. Kendati belum memberi hasil yang melimpah, dirinya tidak menyerah dan tetap menekuni untuk mengembangkan tanaman buah naga di kebun miliknya seluas yang saat itu luasnya hanya 0,25 hektar. Ia pun sudah bulat memutuskan untuk tak kembali menjadi pekerja migran.
Baca juga: Mereka Menolak Rugi sejak Awal
Namun, bertani buah naga tidak semulus yang dibayangkan. Di masa-masa awal budidaya, untuk menjual 1 kuintal buah naga sangatlah sulit. Edy harus menitipkan sedikit demi sedikit kepada pedagang produk hortikultura Banyuwangi, seperti melon, semangka, dan jeruk.
”Saat itu kami hanya bisa berproduksi di bulan Agustus-Februari. Di bulan-bulan itu, matahari ada di khatulistiwa sehingga siang hari menjadi panjang. Saat itulah buah naga lebat-lebatnya berbuah. Namun, setelahnya, sekitar Maret-Juli, saat matahari menjauh dari khatulistiwa, buah naga tidak lagi bisa berproduksi maksimal. Ini karena buah naga sangat senang dengan sinar matahari,” kata Edy.
Siklus tersebut sempat dianut Edy dan teman-teman petani buah naga lainnya di Banyuwangi. Ada masa panen, ada masa paceklik. Namun, tahun 2013, Edy menemukan ada buah naga berbuah di luar musim. Saat itu posisi tanaman berada di bawah tiang lampu penerangan jalan umum (PJU). Sejak itulah, Edy berani mencoba menggunakan lampu pada buah naga.
Sebagai permulaan, Edy mulai menanam buah naga dengan penerangan lampu di malam hari. Rupanya, uji coba itu berhasil dan tanaman buah naga berbuah (di luar musim). Kala itu ia menggunakan lampu pijar 5 watt, dan sumber energinya dari mesin diesel berbahan bakar solar.
”Saat itu saya tidak berani menggunakan listrik PLN, karena takutnya tidak diperbolehkan. Makanya, saya gunakan mesin diesel dengan bahan bakar solar,” kata Edy.
Baca juga: Penyinaran Lampu Bantu Petani Buah Naga di Banyuwangi Panen Sepanjang Tahun
Untuk seperempat hektar lahan, Edy butuh ongkos solar Rp 80.000 per malam. Padahal, listrik harus menyala selama 20 malam. Tidak berhenti di situ, Edy terus berinovasi. Ia terus beruji coba hingga akhirnya menemukan lampu LED yang dinilai cocok untuk menyinari buah naga. Melihat uji cobanya berhasil, petani lain pun mulai mengikuti caranya. Tak segan, Edy membagi ilmunya kepada siapa saja yang bertanya.
Mulai 2015, Edy tak lagi menggunakan mesin diesel berbahan bakar solar untuk menghasilkan listrik. Ia mulai menggunakan listrik dari PLN. Hasilnya, ongkos produksi jauh berkurang. Jika sebelumnya menggunakan diesel ongkos produksi bisa Rp 6 juta-Rp 9 juta setiap bulan per hektar. Dengan menggunakan listrik, ongkos produksi bisa dihemat hingga 50 persen.
”Selain efisien, produktivitas melonjak tajam karena buah naga bisa berbuah sepanjang tahun dari semula yang hanya enam bulan saja dalam setahun,” ucap Edy. Untuk 1 hektar lahan bisa menghasilkan buah naga sebanyak 5-15 ton. Saat ini, ia memiliki 5 hektar kebun buah naga.
Jamin pasokan
Untuk mendukung budidaya buah naga lewat elektrifikasi, General Manager PLN Unit Induk Distribusi Jawa Timur Lasiran mengatakan, PLN memiliki cadangan daya melimpah, yakni sekitar 3.000 megawatt (MW). Di Banyuwangi ada 13.660 petani buah naga yang menggunakan listrik dengan konsumsi daya 32 megavolt ampere (MVA) pada 2022. Tahun ini, konsumsi dayanya diperkirakan bakal naik menjadi 40 MVA.
”Kami terus membina dan mendukung masyarakat, termasuk petani buah naga di Banyuwangi. Selain mendukung dari sisi kelistrikan, kami juga memiliki program pertanggungjawaban sosial (CSR) di setiap daerah dengan tema berbeda-beda. Jika ada petani atau UMKM binaan kesulitan permodalan, akan kami arahkan bekerja sama dengan perbankan,” ucap Lasiran.
Baca juga: Listrik Tingkatkan Produktivitas Pertanian
Selain mendukung budidaya buah naga di Banyuwangi, PLN Jatim juga berkomitmen mengembangkan energi hijau yang ramah lingkungan dengan tingkat produksi karbon nol persen. Hal itu menjadi salah satu bentuk dukungan program pemerintah mencapai target nol emisi (net zero emission) pada 2060.
”Tak hanya mendukung elektrifikasi di sektor pertanian, kami juga berkomitmen menambah jumlah stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU) dari 45 unit menjadi 100 unit di Jatim pada tahun ini,” ujarnya.
Dengan pasokan listrik yang andal dan terjangkau, sektor pertanian di Banyuwangi, khususnya budidaya buah naga, diharapkan terus berkembang dan menjadi penopang utama penghidupan para petani di sana.
Baca juga: Listrik Andal untuk Ketahanan Pangan