Mereka Menolak Rugi sejak Awal
Anjloknya harga buah naga di Banyuwangi dirasakan seluruh petani. Berbagai ekspresi ditunjukkan, mulai dari membuang buah naga ke sungai hingga menunda panen. Sementara, petani buah naga di Dusun Krajan, Desa Jambewangi, Kecamatan Sempu, sejak awal sudah menolak untuk rugi.
November hingga Maret merupakan masa panen raya buah naga, sementara Januari menjadi puncak masa panen raya. Hal inilah yang membuat harga buah naga di Banyuwangi turun drastis dari bulan lalu sekitar Rp 5.000 per kilogram kini menjadi 2.000 per kilogram.
Harga itu merupakan harga terendah dalam sejarah harga buah naga di Banyuwangi. Sejak ditanam 10 tahun lalu, buah naga di Banyuwangi hampir selalu berharga tinggi, bahkan sempat menyentuh Rp 65.000 per kg pada 2013. Namun, kini harganya turun seiring dengan kian luasnya perkebunan buah naga.
Edi Purwanto, seorang petani buah naga di Kecamatan Sobo Banyuwangi, kini bahkan merugi. Edi mempunyai kebun seluas 1 ha. Sekali panen, setiap 40 hari, kebunya menghasilkan 5 ton. Jika kini harga buah naga Rp 5.000, ia mendapat uang Rp 25 juta atau untung bersih Rp 10 juta.
”Kalau harga buah naga Rp 2.000 per kg saya hanya dapat Rp 10 juta, itu artinya saya justru rugi Rp 5 juta,” keluhnya.
Di tempat lain, di Dusun Krajan, Desa Jambewangi, Kecamatan Sempu, Rabu (23/1/2019), keluhan serupa tidak terdengar. Padahal petani di desa tersebut juga memanen buah naga.
Ternyata, petani di Dusun Krajan sejak awal sudah merancang pertanian mereka agar terhindar dari kerugian. Usaha pertanian buah naga yang mereka rintis dilakukan secara organik.
Niat yang kuat untuk menghasilkan produk organik mula-mula dilakukan untuk keluar dari situasi kelangkaan pupuk kimia. Namun, belakangan mereka justru merasakan bahwa pertanian organik menjauhkan mereka dari jurang kerugian.
”Dengan pertanian organik, biaya produksi menjadi rendah, sementara harga jual tinggi. Sejatuh-jatuhnya harga buah naga bahkan hingga Rp 1.000 per kilogram kami tidak rugi,” ujar Sugeng, salah satu petani buah naga organik di Desa Jambewangi.
Sama seperti petani buah naga lainnya, saat ini Sugeng juga merasakan anjloknya harga buah naga organik dari semula Rp 9.000 per kg, menjadi Rp 3.500 per kg. Namun, ia masih dapat tersenyum karena masih ada sedikit keuntungan yang ia raup karena pertanian organik yang ia terapkan menekan biaya produksinya.
Dengan pertanian organik, biaya produksi menjadi rendah, sementara harga jual tinggi. Sejatuh-jatuhnya harga buah naga, bahkan hingga Rp 1.000 per kilogram, kami tidak rugi.
Sugeng mengatakan, pertanian buah naga organik tersebut dimulai pada 2015. Saat itu ia dan sejumlah petani di desanya kesulitan mendapatkan pupuk bersubsidi, sementara jika membeli pupuk secara mandiri ia tidak mampu.
Berbekal mendengar sekilas tentang pupuk kandang, Sugeng mencoba mengumpulkan kotoran kambing atau yang oleh masyarakat setempat disebut srintil. Kotoran kambing tersebut ia taburkan begitu saja di kebunnya.
Srintil memang berhasil menggantikan fungsi pupuk. Namun, hasilnya tidak maksimal. Satu tegakan pohon buah naga saat itu hanya menghasilkan 20 buah. Sugeng sempat pesimistis dan ingin kembali mencari utangan untuk membeli pupuk kimia.
Beruntung ia mendapat penyuluhan pertanian dari Dinas Pertanian Banyuwangi. Dari sana ia sadar, ada proses yang harus dilalui untuk memanfaatkan pupuk kendang. Sejak panen 2015, Sugeng melakukan revolusi pertanian. Ia tak lagi menggunakan pupuk kimia, tetapi menggunakan bahan-bahan organik dengan perlakuan yang tepat.
Hasilnya? Pada tahun 2016, tanamannya berbuah optimal. Setiap tegakan kini bisa menghasilkan minimal 50 buah naga yang totalnya setara dengan 20 kg.
”Rata-rata, setiap 1 ha kebun buah naga terdapat 1.200 tegakan. Apabila 1 tegakan menghasilkan 20 kg, dalam 1 ha saya mendapat 24 ton. Jika buah naga organik terendah dihargai Rp 3.500, saya masih bisa mendapat Rp 84 juta. Setelah dikurangi biaya produksi sekitar 30 persen, saya bisa mendapat sekitar 60 juta per musim,” ungkapnya.
Sugeng lantas membandingkan dengan pertanian kimia. Dengan hasil panen yang sama 24 ton, tetapi dengan harga jual buah naga non-organik yang lebih rendah yaitu Rp 2.000, petani hanya mendapat Rp 48 juta. Setelah dikurangi biaya produksi, petani akan mendapat sekitar Rp 15 juta.
Rata-rata, setiap 1 ha kebun buah naga terdapat 1.200 tegakan. Bila 1 tegakan menghasilkan 20 kg, dalam 1 ha saya mendapat 24 ton. Bila buah naga organik terendah dihargai Rp 3.500, saya masih bisa mendapat Rp 84 juta. Setelah dikurangi biaya produksi sekitar 30 persen, saya bisa mendapat sekitar 60 juta per musim.
Sugeng pernah membandingkan dan menghitung pengeluaran biaya perawatan buah naga organik dan non-organik. Biaya perawatan lahan organik hanya 5 juta per hektar untuk dua kali musim panen, sementara perawatan lahan non-organic bisa mencapai Rp 10 juta hanya untuk 1 kali musim panen pada Oktober hingga April.
”Biaya perawatan pertanian organik jauh lebih murah karena kami tidak perlu membeli pupuk. Kami mengganti pupuk, pestisida, dan herbisida dengan bahan-bahan yang ada di sekitar. Kuncinya hanya satu, telaten untuk meramu bahan-bahan tersebut,” ujarnya.
Salah satu petani yang telaten dan telah merasakan manfaat pertanian organik ialah Masrul Said. Sudah dua tahun terakhir, Masrul tak lagi menggunakan pupuk kimia untuk bertani.
Ia justru menggunakan limbah rumah tangga dan limbah sawah sebagai ganti pupuk. Beberapa di antaranya ialah penggunaan rajangan akar rebung (bambu muda), bonggol pisang, kecambah, bahkan nasi busuk.
Masrul mengakui, membuat ramuan organik untuk mengganti pupuk kimia memang tidak mudah dan cepat. Butuh kesabaran dan ketelatenan. Hal ini yang kadang menjadi hambatan bagi petani yang masih enggan beralih ke pertanian organik.
Masrul pun mengalami hal itu di awal niatannya beralih menjadi petani organik. Menurut dia, saat ini banyak rekannya yang belum percaya diri dengan pertanian organik dan cenderung ingin instan karena malas meramu.
Menggunakan pupuk kimia memang menjadi hal yang paling mudah. Petani hanya perlu membeli pupuk kimia di kios, mencampurkan dengan media dan langsung mengaplikasikannya.
”Masih banyak teman saya sesama petani yang khawatir hasil dan harga pertanian organik tidak lebih baik daripada pertanian non-organik. Padahal sudah jelas, pertanian organik ini sangat minim biaya sehingga saat harga jatuh, petani tidak akan rugi,” ujarnya.
Masih banyak teman saya sesama petani yang khawatir hasil dan harga pertanian organik tidak lebih baik daripada pertanian non-organik. Padahal sudah jelas, pertanian organik ini sangat minim biaya sehingga saat harga jatuh, petani tidak akan rugi.
Ia juga mengungkapkan bahwa produk pertanian organik lebih tahan lama. Dalam perlakuan yang sama, kesegaran buah naga organik bisa bertahan 15 hari, sementara buah naga non-organik yang lebih dari dua hari sudah berair dan cepat busuk.
Hal itu dibenarkan Eko Prasetyo, penyuluh pertanian Desa Jambewangi. Fungsi pupuk kimia bisa digantikan dengan penggunaan bahan-bahan organik yang lebih murah. Ia mencontohkan penggunaan akar rebung bisa menggantikan zat GA-3 (Gibralin Acid 3) yang biasa digunakan sebagai perangsang tumbuh. Sementara bonggol pisang menggantikan sitokinin yang digunakan sebagai zat perangsang tunas.
”Fungsi Auxin sebagai penguat akar bisa digantikan dengan rajangan taoge. Setiap rajangan tersebut dicampur dengan nasi busuk yang sudah berjamur sebagai mikro organisme lokal (mol),” ungkapnya.
Eko mencontohkan perbandingan mol yang dibuat dari nasi basi dengan mol kimia yang tersedia. Dengan fungsi yang sama, mol kimia dijual Rp 20.000 per liter, sementara mol organik hanya butuh sekitar 5 sendok nasi basi limbah rumah tangga.
Lagi-lagi, kendati murah, tak banyak petani yang mau bertani secara organik. Eko mencatat, dari 919 ha lahan pertanian di Desa Jambewangi, 150 ha merupakan kebun buah naga dan hanya 2,5 ha kebun buah naga yang sudah bersertifikat organik.
Ketua Asosiasi Petani Buah Naga Banyuwangi Rukyan menuturkan, pertanian buah naga organik merupakan salah satu langkah untuk menghadapi anjloknya harga buah naga di setiap musim panen raya. Saat ini permintaan produk buah naga organik terus meningkat, peluang ini seharusnya dilirik oleh petani buah naga.
”Pertanian buah naga organik itu lebih menguntungkan. Selain memiliki nilai tambah yang selisihnya bisa sampai Rp 5.000 per kg, biaya produksinya juga bisa 50 persen lebih murah dari pertanian buah naga non-organik,” ungkapnya.
Peluang pasar buah naga organik juga masih sangat terbuka lebar. Dari sekitar 1.300 ha luas lahan perkebunan buah naga se-Banyuwagi, hanya 3 ha yang sudah bersertifikat organik dan 10 ha lain yang sedang dalam tahap konversi ke pertanian organik.
Pertanian buah naga organik itu lebih menguntungkan. Selain memiliki nilai tambah yang selisihnya bisa sampai Rp 5.000 per kg, biaya produksinya juga bisa 50 persen lebih murah dari pertanian buah naga non-organik
Tembus ekspor
Asosiasi Petani Buah Naga saat ini gencar mempromosikan peluang bisnis buah naga organik kepada petaninya. Rukyan mengatakan, pasar ekspor China sangat terbuka dan siap menerima buah naga Banyuwangi asal tidak menggunakan bahan kimia GA-3.
Dinas Pertanian Banyuwangi menilai, anjloknya harga buah naga sebagai akibat dari kelebihan produksi buah naga. Kondisi itu tidak dapat dilepaskan dari maraknya alih fungsi komoditas lahan. Setiap tahun jumlah kebun buah naga di Banyuwangi meningkat.
Berdasarkan data Dinas Pertanian Banyuwangi, luasan lahan buah naga pada tahun 2013 sebesar 539 ha, jumlah tersebut meningkat menjadi 1.322 ha pada tahun 2018. Peningkatan luasan lahan diikuti dengan peningkatan produksi dari semula 12.936 ton pada 2013 menjadi 44.140 ton pada 2018.
Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Banyuwangi Arief Setiawan menyebutkan, pada 2015, pihaknya menemukan ada 16.000 ha lahan tanaman pangan yang beralih menjadi lahan tanaman hortikultura. Peralihan komoditas tersebut terjadi di lima kecamatan, yaitu Purwoharjo, Bangorejo, Tegaldlimo, Pesanggaran, dan Silir Agung.
Peralihan komoditas tersebut disinyalir terus terjadi. Hingga 2018, Arief memprediksi ada 2.000 lahan pangan lainnya yang beralih menjadi lahan tanaman hortikultura. Lahan yang semula banyak ditanami padi kini ditanami jeruk dan buah naga.
Upaya melindungi luas sawah dengan menyusun peraturan daerah juga ditempuh Pemerintah Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Dinas Pertanian Banyuwangi berupaya untuk melindungi lahan-lahan pertanian dari alih fungsi.
”Dari total luas lahan pertanian Banyuwangi yang mencapai 65.457 ha, seluas 55.030 ha akan dilindungi dengan peraturan daerah. Hingga kini, program tersebut masih dalam proses program legislasi daerah (prolegda),” ujarnya.
Arief mengatakan, prolegda perlindungan sawah LP2B (lahan pertanian pangan berkelanjutan) ditargetkan selesai pada 2019. Hal itu karena ada beberapa pemetaan lokasi lahan sawah yang harus disempurnakan/diselesaikan sesuai dengan rencana tata ruang wilayah daerah.
Lahan yang masuk dalam program LP2B nantinya hanya dipergunakan untuk pertanian tanaman pangan. Jika akan dilakukan alih komoditas, pemilik lahan harus mengantongi izin alih komoditas kepada Pemkab Banyuwangi.
Upaya menjaga pasokan telah dilakukan pemerintah daerah, upaya mendapat nilai lebih dari pertanian organik juga telah dilakukan petani. Kini tinggal upaya untuk memperluas pasar agar serapan pasokan lancar sehingga tidak ada penumpukan produksi yang menyebabkan harga menjadi anjlok.
Semoga tahun ini menjadi tahun terakhir petani buah naga merasakan anjloknya harga buah naga saat panen raya. Bukankah saat panen mereka harusnya tersenyum, bukan murung akibat harga anjlok.
Baca juga:Petani Buah Naga Organik Masih Untung