Elektrifikasi pertanian membawa berkah bagi para petani lahan pasir, di Bantul, DIY. Teknologi tersebut membuat biaya penyiraman terpangkas besar. Dahulu, biaya itulah yang paling besar setiap masa tanam.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·3 menit baca
Senyum merekah terpancar dari para petani lahan pasir setelah hadirnya elektrifikasi pertanian di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Biaya atau modal tanam mampu dipangkas secara signifikan lewat inovasi elektrifikasi. Kegigihan petani mencari jalan keluar mengantarkan mereka pada efektivitas produksi hasil pertanian.
”Kalau dulu itu sulit sekali. Kami harus pakai gembor (alat penyiram menyerupai ember) dan butuh waktu berjam-jam. Paling tidak kami butuh waktu 3-4 jam untuk menyirami lahan sekitar 1.000 meter persegi,” kata Rujito, salah satu petani di Desa Srigading, Kecamatan Sanden, Kabupaten Bantul, hari Senin (19/6/2023), seusai menyirami lahan pertaniannya.
Rujito mengatakan, kondisi sekarang sudah jauh berbeda. Itu karena penyiraman dilakukannya menggunakan selang, bukan lagi gembor. Adapun sumber air berasal dari sumur. Air diangkat menggunakan mesin pompa listrik. Kini, waktu yang dibutuhkannya untuk menyirami seluruh lahan cukup satu jam saja.
Sebenarnya, kata Rujito, metode penyiraman menggunakan pompa air bukan hal baru. Perbedaannya terletak pada pemanfaatan energi listrik sebagai penggerak pompa air. Sebelumnya, pompa dihidupkan oleh mesin genset. Pemanfaatan tenaga listrik membuat biaya penyiraman lebih murah.
Sebagai contoh, ucap Rujito, ia mesti mengeluarkan biaya setidaknya Rp 22.000 untuk membeli bensin guna mengairi ladangnya setiap hari. Ongkos yang harus dikeluarkan berkurang drastis setelah energi listrik dimanfaatkan menggantikan bensin. Apabila dihitung, biaya penyiraman yang perlu dikeluarkannya cukup Rp 2.000 per hari.
Rujito benar-benar mensyukuri keberadaan listrik di lahan pertaniannya. Sewaktu pertama kali mendengar rencana elektrifikasi, pihaknya sempat meragukan apakah hal tersebut bisa benar-benar terwujud. Itu karena status lahan yang diolahnya tidak bersertifikat hak milik. Lahan itu merupakan milik Keraton Yogyakarta, yang sering disebut dengan istilah ”Sultan Ground”.
Ide elektrifikasi pertanian di desa tersebut pertama kali muncul dari Ketua Kelompok Tani Pasir Makmur Sumarna pada 2012-2013. Ketika itu, bahan bakar minyak (BBM) terasa boros untuk mengairi lahan para petani. Di sisi lain, ketersediaan BBM kerap kali langka. Padahal, para petani membutuhkannya setiap hari.
Sewaktu pertama kali mendengar rencana elektrifikasi, pihaknya sempat meragukan apakah hal tersebut bisa benar-benar terwujud. Itu karena status lahan yang diolahnya tidak bersertifikat hak milik.
Persoalan itu mendorong Sumarna mencari jalan keluar lain. Ia menjajal tenaga listrik untuk menjadi penggerak mesin pompa air. Percobaan dilakukannya pada lahan petani yang letaknya berada di dekat permukiman. Pasalnya, sebagian besar kawasan lahan pasir waktu itu belum tersambung oleh aliran listrik.
”Ternyata, waktu itu percobaan kami berhasil. Dengan bensin bersubsidi, 1 hektar lahan menghabiskan biaya Rp 85.000 sekali siram. Sementara listrik PLN nonsubsidi berdaya 1.300 watt sekali siram hanya butuh Rp 15.000. Perbandingannya jauh sekali,” kata Sumarna.
Masalah teratasi
Sumarna merasa lebih diuntungkan lagi karena tarif listrik yang dikenakan kepada petani cukup rendah. Adapun jenis tarif yang dibebankan ialah tarif bisnis. Dengan skema itu, petani bisa memperoleh 95,5 kilowatt jam (kWh) seharga Rp 100.000 saja.
Menurut dia, permasalahan biaya irigasi yang selama ini cukup besar sudah bisa teratasi. Dahulu, penyiraman bawang merah hingga masa panen memerlukan biaya sedikitnya Rp 900.000. Kini, biaya irigasi hanya membutuhkan Rp 80.000 sampai masa panen.
”Listrik telah menjadi jantung pertanian. Selain ekonomis, juga ramah lingkungan karena tidak ada emisi yang dihasilkan dibandingkan saat kami menggunakan mesin genset. Biaya perawatannya juga sangat murah,” ucap Sumarna.
Permasalahan biaya irigasi yang selama ini cukup besar sudah bisa teratasi. Dahulu, penyiraman bawang merah hingga masa panen memerlukan biaya sedikitnya Rp 900.000. Kini, biaya irigasi hanya membutuhkan Rp 80.000 sampai masa panen.
Manajer Unit Pelaksana Pelayanan Pelanggan PLN Yogyakarta Adi Dwi Laksono mengatakan, program elektrifikasi pertanian merupakan bagian dari semangat transformasi PLN. Menurut dia, program tersebut untuk memberikan pelayanan kelistrikan yang mudah, terjangkau, dan andal bagi para pelaku usaha di bidang agrikultur.
”Program ini bertujuan untuk membantu para petani mengembangkan usahanya sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan. Keberhasilan petani dalam mengelola sawah mereka dengan memakai listrik PLN adalah harapan dan tujuan kami,” ujarnya. (*/APO)