Indonesia ditargetkan memiliki 100 kota cerdas pada 2045. Kendaraan listrik dinilai bisa menjawab tantangan sektor transportasi perkotaan untuk mewujudkan kota cerdas. Karena itu, prosesnya tidak boleh tanggung-tanggung.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·3 menit baca
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Pengunjung melihat stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU) yang dipamerkan pada Periklindo Electric Vehicle Show (PEVS) 2023 di JIExpo Kemayoran, Jakarta, Jumat (19/5/2023). Pameran kendaraan listrik yang diikuti lebih dari 80 peserta ini akan digelar hingga Minggu (21/5/2023.
JAKARTA, KOMPAS — Pemanfaatan kendaraan listrik dalam sistem transportasi perkotaan mampu mendorong implementasi atau penerapan kota cerdas. Hal ini bisa dimulai dari sektor transportasi umum. Selain itu, mulai dari fasilitas hingga kebijakan juga dapat diarahkan untuk mendukung ekosistem kendaraan listrik ke depan.
Kota cerdas (smart city) yang dimaksud adalah kota yang mengedepankan nilai keberlanjutan. Tidak hanya ramah lingkungan, tetapi juga memberikan kenyamanan kepada penduduknya. Pada 2045, pemerintah menargetkan ada 100 kota cerdas di Indonesia.
Merujuk SNI ISO 37120:2018 yang diterbitkan Badan Standardisasi Nasional, ada enam pilar utama dalam implementasi kota cerdas. Pilar tersebut seperti sosial kemasyarakatan, kesehatan, keamanan dan ketertiban, perumahan, tata ruang, serta pendidikan. Adapun kendaraan listrik termasuk dalam bagian tata ruang, yakni transportasi atau mobilitas.
Chief Executive Officer ASECH Center of Excellence on Smart City Erike Malonda mengatakan, kendaraan listrik kian dibutuhkan saat ini untuk menekan tingkat emisi, terutama pada kawasan perkotaan. Peralihan dari kendaraan berbahan bakar fosil ke kendaraan listrik pada saat bersamaan akan mendukung konsep kota cerdas yang selama ini diperjuangkan.
”Kota cerdas ini menghadirkan solusi bagi berbagai permasalahan secara terintegrasi. Dalam hal ini, sektor transportasi menjadi salah satu bagian yang tak terpisahkan,” ujarnya dalam diskusi bertajuk Menuju Indonesia Net Zero Emission Tahun 2060, di Jakarta, Jumat (19/5/2023).
Mengutip data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2022, sektor transportasi menyumbang 23,14 persen emisi gas rumah kaca pada 2021. Penggunaan kendaraan listrik, tutur Erike, dapat mengakselerasi penurunan emisi yang dihasilkan oleh sektor transportasi.
Meskipun demikian, untuk mewujudkan kota cerdas tidak sekadar beralih ke kendaraan listrik. Erike menilai, penerapan kendaraan listrik di perkotaan harus mampu menciptakan suasana nyaman bagi masyarakat. Hal ini dapat didukung dengan fasilitas dan pelayanan publik yang memadai untuk ekosistem kendaraan listrik.
Suatu daerah dapat menginisiasi peralihan ke kendaraan listrik dari sektor transportasi umum. Hal ini dapat terwujud apabila komitmen daerah kuat untuk menciptakan kota cerdas.
”Ekosistem kendaraan listrik tidak bisa berdiri sendiri. Ia juga perlu didukung oleh ekosistem lain sebagai suatu kesatuan dalam konsep kota cerdas,” ujar Erike.
Senada dengan Erike, analis kebijakan Ahli Madya Bidang Kawasan Perkotaan Kementerian Dalam Negeri, Gensly, berpendapat, suatu daerah dapat menginisiasi peralihan ke kendaraan listrik dari sektor transportasi umum. Hal ini dapat terwujud apabila komitmen daerah kuat untuk menciptakan kota cerdas.
Sektor transportasi, kata Gensly, kerap menemui tantangan di kawasan perkotaan. Hal ini seperti kemacetan, polusi, dan integrasi moda transportasi. Tantangan ini dapat dijawab dengan beralih ke kendaraan listrik yang lebih ramah lingkungan.
”Tentu saja, kendaraan listrik ini perlu didukung oleh fasilitas seperti bus dan pelayanan publik yang memadai. Kami berharap, ke depan, kendaraan berbahan bakar fosil sudah tidak ada lagi,” katanya.
Model bus yang dipamerkan dalam acara Periklindo Electric Vehicle Show (PEVS) 2023 di Jakarta, Jumat (19/5/2023).
Seperti di Jawa Tengah, misalnya, sudah memulai membangun konsep transportasi publik yang terintegrasi. Hal ini, kata Gensly, tinggal didorong untuk beralih menggunakan kendaraan listrik.
Sejumlah regulasi juga diterbitkan untuk mendorong penggunaan kendaraan listrik, di antaranya Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai untuk Transportasi Jalan dan Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2022 tentang Perkotaan dalam mendukung implementasi kota cerdas.
Kepala Pusat Kendaraan Listrik Universitas Budi Luhur, Sujono, menilai, dukungan pemerintah dalam pemanfaatan kendaraan listrik baik untuk transportasi umum maupun pribadi tidak perlu tanggung-tanggung atau setengah-setengah. Proyek terkait kendaraan tidak boleh disamakan dengan proyek lainnya yang mengulang tanpa hasil yang jelas.
Selain kendaraan listrik, sistem pendukung atau infrastruktur lainnya juga perlu dipersiapkan. Dalam konteks ini, Sujono menyinggung perihal keamanan dan kepastian untuk penggunanya. ”Masyarakat perlu dijelaskan secara keseluruhan mengenai kendaraan listrik. Misalnya, apa yang harus dilakukan apabila baterai rusak atau habis masa berlakunya dan lain sebagainya,” tuturnya.
Para pemateri diskusi bertajuk Menuju Indonesia Net Zero Emission Tahun 2060 di Jakarta, Jumat (19/5/2023), berfoto bersama usai acara.
Peran kota cerdas dapat diarahkan untuk mendukung ekosistem kendaraan listrik ke depan. Masyarakat pengguna kendaraan listrik dapat diberikan informasi mengenai ketersediaan bengkel, harga, dan pengisian daya. Sementara pengguna transportasi publik diberikan jaminan mengenai ketepatan waktu dan kenyamanan.
Di sisi lain, peralihan dari kendaraan berbahan bakar fosil ke kendaraan listrik tidak serta-merta menurunkan emisi. Sebab, sumber energi yang digunakan kendaraan listrik sebagian besar masih berasal dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Melansir data KLHK 2022, industri di bidang energi menyumbang 50,17 persen emisi gas rumah kaca pada 2021.
”Dalam kondisi saat ini, Indonesia masih memanfaatkan energi kotor untuk mendukung kendaraan listriknya. Hal ini ke depan yang perlu diubah,” kata Sujono.